Itulah sebabnya banyak petani yang menjadi langganan menjual hasil pertanian mereka kepada ibu> Satu hal lagi ibu yang membuat para petani lebih senang menjal hasil pertanian mereka kepada ibu, ternyata ibu selalu menjaga kejujuran dalam menimbang, sehingga tidak pernah sekalipun beliau mendapat komplain dari penjual. Kejujuran itu memang sudah tertanam sejak ibu masih membantu kakek berjualan dulu, karena menurut kakek, kejujuran merupakan modal utama dalam berjualan kalau tidak ingin ditinggalkan pelanggan, dan pesan kakek itulah yang selalu diingat oleh ibuku. Pulang dari pasar, ibu tidak pernah dengan “tangan kosong”, bakul yang dibawanya selalu penuh dengan belanjaan dan jajan pasar untuk anak-anaknya, itu semua beliau dapatkan dari keuntungan berjualan. Waktu itu hampir tidak pernah terpikir oleh ibu buat menyimpan uang untuk kesenangan dirinya, yang terpikir oleh ibu hanyalah bagaimana kebutuhan suami dan anak-anaknya terpenuhi.
Aktifitas berjualan ibu baru terhenti ketika adik bungsuku lahir, dengan pertimbangan usia yang semakin tua, bapak akhirnya menyarankan ibu untuk berhenti berjualan. Dan sebagai isteri yang patuh pada suami, ibu hanya menurut saja apa kata bapakku, apalagi penghasilan bapakku sebagai pegawai sudah ada sedikit peningkatan, sehingga “periuk” keluarga kami tidak sempat goyang, meski ibu sudah tidak lagi membantu mencari nafkah. Kalau sekedar untuk makan dan pakaian, kami nyaris tidak pernah kekurangan, bahkan kecukupan gizi keluarga juga sangat memadai, sehingga aku dan adik-adikku bisa tumbuh sehat.
Tapi kebutuhan sekolah anak-anak yang semakin besar, kemudian menjadi pertimbangan bapak dan ibu untuk mencoba “merubah nasib”. Meski dengan perasaan berat, pada akhir tahun 1982 yang lalu, kami sekeluarga akhirnya kami memutuskan untuk “hijrah” ke Tanah Serambi Mekkah. Dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah, adalah tempat tujuan kami, karena surat keputusan kepindahan bapak memang ke daerah ini. Meninggalkan tanah kelahiran untuk menggapai masa depan yang lebih baik, itu salah satu “misi” kepindahan keluarga kami ke tempat perantauan nun jauh di pedalaman Gayo.
Tahun-tahun pertama kepindahan kami, adalah masa-masa paling sulit dan berat bagi bapak dan ibu. Sambil terus menjalankan tugas sebagai pegawai negeri, bapak dan ibu, mulai membuka lahan untuk bertani. Aku sebagai anak tertua juga merasa berkewajiban untuk membantu mereka, karena adik-adikku memang masih kecil-kecil. Tapi meski kehidupan baru itu begitu berat, tak pernah sekalipun kudengar keluhan dari ibu, beliau seperti “pasrah” menjalani hidup yang mungkin tidak pernah beliau bayangkan ketika masih tinggal di Jawa. Bertani merupakan hal baru bagi ibu, karena sebelumnya memang nyaris tidak pernah melakukannya, yang ibu tau hanyalah ilmu berdagang. Tapi itu tidak membuat ibu patah semangat, ikut membuka lahan baru untuk bertani, justru seperti pengalaman baru yang menyenangkan beliau. Apalagi ketika usaha tani kami mulai menunjukkan hasil, ada raut kegembiraan terlihat di wajah ibu saat berbagai tanaman semusim yang kami tanam mulai bisa dipanen..
Akses jalan menuju tempat tinggal baru kami yang waktu itu bisa dibilang parah, membuat kami tidak bisa memasarkan hasil panen kami. Meski agak kecewa, tapi ibu tidak pernah terlihat putus asa, sebagian hasil panen bahkan beliau simpan sebagai cadangan pangan keluarga. Aku baru menyadari sekarang, bahwa apa yang dilakukan ibuku itu ternyata merupakan salah satu prinsip ketahanan pangan, khususnya di bidang ketersediaan pangan dan diversifikasi pangan. Lagi-lagi aku merasa kagum pada ibuku, meski menjalani masa-masa sulit, ibu tetap tegar dan tidak pernah terdengar sekalipun beliau mengeluh.
Tahun demi tahun terus berlalu, kehidupan keluarga kamipun semakin membaik seiring mulai berhasilnya usaha pertanian kami, Akses jalan yang sudah semakin baik juga membuat kami tidak lagi kesulitan memasarkan hasil pertanian kami, sehingga kehidupan kami pun boleh dibilang sudah sejahtera. Anak-anak ibu pun mulai beranjak dewasa dan semuanya bisa mengenyam pendidikan yang memadai. Itu yang kemudian membuat ibu tidak pernah berhenti bersyukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kini, memasuki usianya yang ke 70, “beban” ibu nyaris sudah tidak ada, kami semua anak-anak beliau sudah bisa hidup mapan dengan keluarga masing. Meski kami sebenarnya menginginkan ibu dan bapak mau tinggal bersama kami, tapi ibu tetap bersikukuh untuk tetap tinggal di rumah sendiri meski hanya berdua dengan bapak. Untungnya ke empat adikku tinggal tidak jauh dari rumah ibu, jadi masih bisa terus dekat dan memperhatikan ibu dan bapak di usia senja mereka. Menikmati masa tua di desa dengan uang pensiun dari bapak ditambah hasil kebun kopi yang terus “mengalir”, seperti menjadi kebahagian tersendiri bagi ibuku, tanpa keinginan sedikitpun untuk membebani anak-anaknya.
Satu lagi sifat ibuku yang juga sangat aku kagumi adalah sifat kedermawanan beliau, gaji pensiun bapak setiap bulannya nyaris habis untuk aktifitas sosial membantu sesama. Kebetulan disamping rumah ibu, berdiri sebuah musholla dan sebuah Taman Pengajian Alqur’an (TPA), di mosholla yang merupakan wakaf keluarga kami itu selalu ramai dikunjungi jama’ah, karena selain menjadi tempat sholat berjama’ah, juga menjadi tempat pengajian bagi bapak-bapak dan ibu-ibu disana. Setiap ada pengajian rutin, tanpa diminta, ibu sudah menyediakan minuman dan makanan ringan untuk jama’ah pengajian, dan itu sudah beliau lakukan selama ber tahun-tahun. Begitu juga ketika datang bulan Ramadhan, dimana musholla itu jadi tempat shalat tarawih, ibu juga setiap malam menyediakan minuman dan takjil untuk para jama’ah.
Buah-buahan seperti jeruk dan jambu yang banyak tumbuh di pekarangan rumah ibu, juga mejadi sarana sedekah bagi beliau, setiap hari pohon buah-buahan itu selalu menjadi “sasaran” anak-anak yang mengaji di TPA. Beliau justru sangat bersyukur bisa bebgai kepada siapa saja denga apa yang dimilikinya. Begitu juga cucu-cucu beliau yang tinggal tidak jauh dari rumah ibu, hampir setiap hari ibu “ditodong” uang jajan oleh cucu-cucunya yang tidak lain dari anak-anak dari adik-adikku, tapi ibu selau “melayani” merek dengan senyum dan keceriaan, nyaris tidak pernah kudengar ibu memarahi cucu-cucunya. Kehadiran para cucu, justru menjadi hiburan bagi beliau, terkadang beliau terlihat tertawa terkekeh ketika cucu-cucunya “menggoda” nenek mereka dengan hape atau gadget, melihat gambar sanak family yang ada di Jawa melalui layar Gadget, seakan mampu mengobati kerinduan beliau pada tanah kelahirannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H