Pesantren Terpadu Nurul Islam yang berlokasi Blang Rakal, Pintu Rime Gayo, Bener Meriah, Aceh. memang benar-benar sebuah lembaga pendidikan berbasis pesantren yang memiliki kompetensi yang sangat bagus. Selain menerapkan pola seimbang antara pendidikan umum dengan pengetahuan agama dan pendidikan akhlak, serta program pengembangan bakan seni dan olah raga, pesantren ini juga memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan lembaga pendidikan umum lainnya. Salah satu keunggulan dari pesantren ini, sebagian besar alumninya menguasai dengan baik dua bahasa asing yaitu bahasa Inggris dan bahasa Arab.
Bukan hal aneh, karena kedua bahasa tersebut merupakan bahasa “wajib” bagi para santri ketika berada di lingkungan pesantren dan diterapkan sejak para santri mulai memasuki pendidikan di tempat ini. Dari hari Sabtu sampai Kamis, para santri diwajibkan untuk menggunakan kedua bahasa ini dalam berkomunikasi baik sesama santri maupun dengan para ustadz dan ustadzah, hanya pada hari Jum’at yang merupakan hari libur di pesantren itu, para santri boleh menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa daerah.
Peraturan yang kemudian berubah menjadi kebiasaan yang diterapkan di Pesantren Nurul Islam ini, ternyata akhirnya mampu memberi dampak positif bagi para santri sendiri. Rata-rata para alumni dari pesantren ini sangat fasih bertutur maupun berkomunikasi menggunakan kedua bahasa asing tersebut. Ini sangat membantu ketika kemudian para santri itu memasuki pendidikan di perguruan tinggi, kemampuan berbahasa asing sangat membantu saat menelaah bahan-bahan belajar dari buku-buku berbahasa asing. Begitu juga dalam kegiatan ekstra kulikuler di kampus, kemampuan berbahasa Ingrris dan Arab ini juga sangat berpengaruh pada prestasi sang mahasiswa dalam kegiatan non akademis.
Seperti yang ditunjukkan oleh salah seorang alumni Pesantren Nurul Islam, Ifa Rizqi Sakina yang saat ini sedang menempuh pendidikan pada Program Study Bahasa Inggris di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Gajah Putih Takengon. Alumni Pesantren Nurul Islam tahun 2014 ini juga cukup mahir menggunakan bahasa Inggris dan Bahasa Arab, sehingga beberapa waktu yang lalu pimpinan lembaga bimbingan belajar Saufa Center, Azza Afri Saufa sempat mengajaknya bergabung untuk menjadi salah seorang Tentor Bahasa Arab di lembaga kursus yang memiliki siswa ratusan itu. Selama lebih 6 bulan, dia bergabung di Shaufa Center, tapi kemudian seiring dengan semakin padatnya kegiatan perkuliahan di kampusnya, akhirnya dia memilih non aktif sementara dari lembaga kursus tersebut.
Kemampuannya berbahasa inggris, juga sering dia gunakan untuk membantu para turis asing yang butuh bantuan informasi, yang kebetulan ditemuainya di seputaran kota Takengon. Adakalanya ketika dia sedang jalan-jalan di pasar atau pusat keramaian di seputaran kota, dia melihat beberapa turis asing yang terlihat kebingungan untuk mendapatkan informasi karena tidak didampingi guide, dan dengan sukarela Ifa sering menjadi “jembatan informasi” bagi para turis itu. Dengan kemampuannya itu, sebenarnya bisa saja dia bekerja sampingan sebagai seorang guide, tapi saat ini dia lebih fokus pada kuliahnya.
Kemampuan bahasa ingris dari Ifa, gadis berkulit kuning langsat kelahiran Takengon 9 Oktober 1996 ini juga cukup handal. Ini dia buktikan ketika mengikuti lomba Debat Bahasa Inggris yang digelar oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STAIN Gajah Putih, Takengon beberapa hari yang lalu. Tampil sebagai juru bicara kelompok bersama dua temannya Salwa dan Herawati, Ifa tampil cukup menyakinkan. Tanpa banyak kesulitan Ifa dan dua rekannya mapu menyisihkan lawan-lawannya dalam babak penyisihan dan akhirnya mampu menembus final. Di babak final, Ifa juga mampu menunjukkan “kelas”nya, melalui penjurian yang cukup alot dari dewan juri yang terdiri dari dosen-dosen berpengalaman, akhirnya Ifa dan kedua rekannya mampu menggondol gelar juara Debat Bahasa Inggris STAIN Gajah Putih Takengon di penghujung tahun 2016 ini.
Dengan gaya khasnya yang santai dan tetap menebar senyum, Ifa sama sekali tidak terlihat tegang saat melayani sanggahan dari lawan debatnya yang tidak lain merupakan seniornya di STAIN Gajah Putih di final. Terlihat mampu mengendalikan emosinya dalam debat yang berlangsung cukup seru itu, Ifa akhirnya dinyatakan berhak menggondol predikat jawara dalam debat yang diadakan setiap tahun itu.
Tamat dari Pesantren Nurul Islam tahun 2014 yang lalu, sebenarnya Ifa diterima tanpa tes di Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Medan, namun karena berbagai pertimbangan, akhirnya peluang itu dia kesampingkan. Cita-citanya ingin menjadi guru bahasa Inggris, membuatnya “terdampar” di STAIN Gajah Putih. Dia berfikir, dengan mengambil Prodi Bahasa Inggris ini, akan lebih mudah baginya mewujudkan cita-citanya. Di kampus ini, Ifa juga aktif dalam berbagai kegiatan organisasi seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
“Kedepan kita akan menghadapi era global di semua bidang, pengusaan bahasa asing terutama bahasa Inggris sangat penting untuk menjawab tantangan global tersebut, ementara masih banyak sekolah-sekolah di daerah terpencil yang butuh guru bahasa Inggris, itu yang kemudian seperti menjadi sebuah tantangan bagi saya, saya punya obsesi, semua generasi muda di Gayo sampai ke daerah pelosok, mampu mengusai bahasa asing dengan baik, sehingga mereka mampu beradaptasi dan bersaing dalam era global seperti sekarang ini” ungkapnya usai mengikuti final loba debat, Selasa (6/12/2016) yang lalu “Itulah sebabnya saya memilih prodi Bahasa Inggris di STAIN ini, karena saya memang bercita-cita untuk mengabdikan diri sebagai guru, sama seperti ibu dan abang saya, karena menjadi guru itu menurut saya merupakan profesi mulia” pungkasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H