Permasalahan klasik tapi cukup krusial yang selalu dihadapi oleh para petani sampai dengan saat ini adalah persoalan pemasaran produk pertanian yang telah mereka hasilkan melalui kegiatan usaha tani. Terus meningkatnya pengetahuan dan keterampilan petani di bidang teknis budidaya sebagai dampak interaksi petani dengan teknologi informasi ditambah pembinaan intensif yang dilakukan oleh para penyuluh pertanian, akhirnya berdampak positif pada peningkatanan produktivitas hasil pertanian mereka.
Namun sayangnya, peningkatan produktivitas belum tentu bisa sejalan dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, salah satunya disebabkan masih lemahnya “bargaining position” petani daam mata rantai pemasaran produk pertanian. Akibatnya harga produk pertanian sering mengalami fluktuasi yang cukup tajam, pada saat panen raya misalnya, harga komoditi pertanian bisa anjlok ke titik terendah, sementara pada saat saat produksi berkurang, harganya akan melonjak drastis.
Sebenarnya kondisi seperti itu bukan hal yang aneh, karena teori supply and demand dalam prinsip ekonomi memang begitu, namun demikian fluktuasi harga yang terlalu tajam sangat berdampak pada tingkat pendapatan dan kesejahteraan petani. Terjadinya fluktuasi harga produk-produk pertanian memang sangat terkait dengan kontinuitas produksi, dimana pada waktu tertenu produksi berlimpah (over product) sementara di waktu lainnya produk pertanian tertentu langka di pasaran.
Kontinuitas produk pertanian ini tentu saja terkait erat dengan prilaku petani itu sendiri, dimana sebagian besar dari petani masih menganut pola bertani secara “latah”, misalnya satu petani menanam cabe, kemudian petani lainnya juga ikut-ikutan menanam karena pada saat itu harga cabe cukup baik. Akibatnya, ketika masa panen tiba, produk yang dihasilkan berlebih dan tidak semuanya bisa tereserap pasar, kalaupun kemudian ada yang menampungnya, harganya relatif rendah.
Menjaga kontinuitas produksi kemudian menjadi hal yang niscaya dilakukan oleh para petani yaitu dengan menerapkan pola dan jadwal tanam bertingkat atau bergilir. Misalnya, pada area sentra produksi cabe atau bawang merah, penanaman dilakukan secara bertingkat aau bergilir, contohnya pada minggu pertama bulan Januari dilakukan penanaman 100 hektar oleh 5 kelompok tani, kemudian minggu berikutnya juga 100 hektar juga dengan 5 kelompok tani lainnya, dan seterusnya.
Pada saat kelompok terakhir melakukan penanaman, kelompok pertama sudah mulai panen, sehingga kontinuitas dan kuantitas produk tetap terjaga, karena setiap minggunya ada kelompok yang panen. Dengan demikian tidak ada kekosongan atau kelangkaan produk di pasaran, sehingga harga komoditi pertanian tersebut akan relatif stabil.
Namun selain kontinuitas produksi, fluktuasi harga juga bisa terjadi akibat para petani belum memiliki akses pemasaran yang baik, salah satunya mereka belum memilki pasar sendiri untuk memasarkan produk pertanian yang mereka hasilnya, sehingga kendali harga masih tetap dipegang oleh para pedagang bahkan mash bisa dipermainkan oleh para spekulan.
Karena kendali harga masih tetap dipegang oleh para pedagang, secara otomatis posisi tawar petani menjadi lemah, harga yang ditetapkan oleh para pedagang itulah yang kemudian mau tidak mau harus diikuti oleh petani, meskipun dalam kondisi tertentu bisa saja sangat merugikan mereka.
Kementerian Pertanian yang merupakan institusi yang dianggap paling bertanggung jawab dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, kemudia mulai mencari cara agar posisi tawar petani dalam akses pemasaran produk pertanian semakin meningkat. Tahun 1992 yang lalu, Kementerian Pertanian (waktu itu masih bernama Departemen Pertanian) kemudian meluncurkan program “Pasar Petani”, dengan cara memberi akses dan fasilitas bagi para petani untuk bisa memasarkan produk pertanian secara langsung di pasar yang disediakan khusus untuk mereka.
Dengan konsep pasar petani ini, para petani diberikan “lapak” khusus untuk bisa memasarkan langsung hasil pertanian mereka dan bertransaksi langsung dengan konsumen. Konsep ini sebenarnya sangat bagus, karena bisa memutus mata rantai perdagangan hasil pertanian, sehingga profit margin yang diterima petani bisa lebih besar.
Namun sepertinya konsep pasar petani ini kemudian berjalan nyaris tanpa pembinaan lanjutan, lemahnya manajemen pemasaran yang dimiliki oleh para petani, membuat pasar petani tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Demikian juga dengan jangkauan pasar yang hanya bersifat lokal dengan konsumen terbatas, membuat para petani hanya bisa memasarkan hasil pertanian mereka di tingkat lokal, sedangkan produk pertanian yang mereka hasilkan tidak semuanya bisa terserap oleh konsumen lokal.