Bagi kalangan petani kopi dan siapa saja yang terkait dengan kopi arabika Gayo, Zainitentu bukan nama yang asing lagi. Sepak terjang laki-laki 48 tahun berperawakan tegap dan berkulit coklat kehitaman ini sudah lama dikenal di Dataran Tinggi Gayo dalam urusan seluk beluk kopi, bahkan namanya juga sudah dikenal oleh para petani kopi di Sumatera Utara, karena dia sering di undang oleh pemerintah provinsi Sumatera Utara untuk memebrikan pelatihan kepada petani disana. Menjelajah Kabupaten Simalungun, Dairi, Pakpak Bharat, Mandailing Natal, Tapanuli Selatan sudah biasa dia lakukan. Bersama relasinya Tovan Marhennata dari Conservation International Indonesia (CII), Zaini sering memberikan pelatihan bagi petani kopi di beberapa daerah di Sumatera Uatara tersebut.
Tak hanya kelinling berbagai daerah, Zaini juga menyediakan tempat pelatihan kopi di areal perkebunan kopi arabika miliknya di Desa Merah Mege, Kecamatan atu Lintang, Kabupaten Aceh Tengah. Ditengah kebun seluas lebih dari 4 hektar tersebut, Zaini sudah membangun rumah panggung berukuran 8 x 20 meter yang khusus dia sediakan sebagai tempat pelatihan kopi bagi siapa saja yang ingin belajar tentang kopi Gayo. Tak hanya para petani kopi dari berbagai daerah yang kemudian silih berganti mendatangi tempat ini untuk belajar tentang teknis budidaya kopi dari Zaini. Disekeliling tempat pelatihan miliknya, terhampar yang terlihat tumbuh subur dan terawatt dengan baik yang juga sering dijadikan sebagai tempat penelitian bagi para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dan para peneliti dari berbagai lembaga penelitian.
Selain sebagai petani, Zaini juga dikenal aktif untuk membina dan membimbing petani di daerahnya, karena dia sangat menyadari jumlah penyuluh pertanian di daerahnya sangat terbatas, itulah sebabnya dia merasa terpanggil untuk ikut berperan sebagai penyuluh pertanian swadaya. Meski tidak mendapat gaji atau honor dari pemerintah, namun aktifitas penyuluhan yang dilakukan oleh Zaini sangat padat, semua wilayah di Dataran Tinggi Gayo ini sudah pernah dia kunjungi untuk memberikan motivasi kepada para petani lainnya untuk mampu menghasilkan kopi berkualitas seperti yang ada di kebunnya. Menurut Zaini, keunggulan kopi Gayo terletak pada kualitasnya, dan itu yang harus tetap dipertahankan agar kopi Gayo bisa terus eksis sebagai kpi arabika terbaik di dunia. Kiprah Zaini sebagai penyuluh pertanian swadaya juga sudah mendapat pengakuan sampai di tingkat nasional. Tahun 2015 yang lalu Zaini mampu “melenggang” ke Istana Negara untuk menerima penghargaan dari Bapak Presiden Jokowi sebagai Penyuluh Pertanian Sawdaya Terbaik Kedua Tingkat Nasional, sebuah prestasi yang sangat membanggakan.
Aku sendiri sudah sangat lama mengenal petani kopi ini, karena aktifitasnya sebagai Ketua Forum Pusat Pelatihan Penyuluh Pertanian Swadaya (P4S) Kabupaten Aceh Tengah memang membuat Zaini sering berhubungan dengan instansi dimana aku bekerja, karena intansi tempatku bekerja memang merupakan intansi pembina P4S. Adakalanya aku mengunjungi Zaini di kebun yang sekaligus menjadi tempat tinggal dan tempat pelatihan kopi itu, tak jarang juga Zaini yang menyambangiku di kantor untuk sekedar bincang-bincang, karena Zaini juga salah seorang teman yang cukup dekat denganku, saking akrabnya dia memanggilku dengan panggilan “abang”.
Seperti yang terjadi beberapa hari yang lalu, ditengah aktifitas rutinku ,tiba-tiba Zaini sudah muncul di kantorku, sepertinya dia kepingin “curhat” tentang sesuatu yang actual, karena setiap kali dia habis melakukan aktifitas penting di luar daerah, dia sering menyampaikan informasinya kepadaku.. Meski tanpa suguhan kopi, tapi aku tetap berusaha menyambut hangat kedatangan tamu istimewa ini, karena ini memang bagian dari tugasku sebagai pelayan masyarakat.
“Saya baru pulang dari Bondowoso Bang” katanya dengan antusias ”Kami mewakili Aceh dalam Festival Kopi Nusantara, Alhamdulillah kita dapat Juara 2 dalam festival ini” lanjutnya sambil menyerahkan cuplikan berita dari sebuah media cetak yang terbit di Jawa Timur, ada raut kebanggaan ketika dia memulai “curhat”nya, sepontan aku menyalaminya sambil mengucapkaj selamat.
Sekilas saya dapat membaca bahwa Festival Kopi Nusantara yang baru saja di ikuti oleh Zaini adalah sebuah festival tahunan yang diselenggarakan oleh Komunitas Bondowoso Republik Kopi dan diikuti oleh 84 peserta yang berasal dari daerah-daerah penghasil kopi arabika di seluruh Indonesia, seperti Gayo, Toraja, Mandailing, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali dan Jawa Timur sendiri sebagai tuan rumah. Festival kopi yang digelar selama tiga hari dari tanggal 22 sampai 24 Juli 2016 ini mejadi terasa unik karena di gelar di kawasan Gunung Ijen, Kabupataen Bondowoso, Jawa timur yang belakangan memang mulai dikenal sebagai daerah penghasil kopi dengan kualitas baik. Bahkan sebuah film yang bercerita tentang kopi berjudul “Filosofi Kopi” hasil garapan Sutradara Angga Dwimas Sasongko juga mengambil setting kawasan Gunung Ijen ini.
Sejak dipopulerkan lewan film tersebut, popularitas Gunung Ijen sebagai penghasil kopi berkualitas baik mulai tersebar kemana-mana, apalagi peran media juga sangat efektif sebegar penyebar berita, membuat Kawasan Gunung Ijen yang berada di Kabupaten Bondowoso itu semakin dikenal masyarakat luas. Padahal kalu dilihat dekat, kopi Ijen itu belum ada apa-apanya dibandingkan dengan daerah penghasil kopi arabika lainnya. Luas areal perkebunan kopi arabika di kawasan Ijen tidak seberapa luas dibandingkan dengan areal pertanaman Kopi Gayo dan termasuk belum lama dikembangkan, yaitu baru dimulai sekitar tahun 1986. Tapi karena gencarnya promosi dan publikasi melalui beragai media, sehingga kopi Ijen menjadi begitu sangat terkenal, seakan mengalahkan daerah penghasil kopi yang lebih dulu eksis.
Kembali kepada tamuku, Zaini, meski tersirat rasa bangga telah berhasil meraih juara dua dalam festifal kopi paling bergengsi tersebut, tapi ada sedikit raut kekecewaan terpancar di wajah Zaini,
“Harusnya kita yang menang Bang, karena selisih nilainyapun hanya sedikit sekali dengan juara pertama, lagipula dari segi aroma dan rasa serta kualitas, sebenarnya kopi kita jauh lebih baik” ungkap Zaini “Tapi saya tetap bersyukur, setidaknya melalui festival ini, kopi Gayo semakin dikenal oleh masyarakat luas, karena selama ini kita memang kalah dari segi promosi dan publikasi” lanjutnya sedikit mengeluh.
Ketika aku bertanya siapa yang menjadi juara dalam Festival Kopi Nusantara 2016 ini, Zaini kemudian membuka catatanya, dari catatan itu saya dapat melihat bahwa Juara I dalam festival ini diraih oleh tuan rumah Bondowoso, yang diwakili oleh Suyitno, petani kopi arabika di kawasan gunung Ijen, Sementara kopi Gayo yang diwakili oleh Zaini dengan kopi arabika organiknya, meraih juara 2, sedangkan posisi ketiga diraih oleh pendatang baru yaitu Pengalengan, Jawa Barat yang diwakili oleh CV Frinsa Agrilestari, sedangkan kopi Toraja dan kopi Mandailing yang sudah cukup punya nama, bahkan tidak meraih gelar juara.
Meski predikat juara 2 itupun sudah cukup membanggakan bagi para petani kopi Gayo, namun kekecewaan Zaini yang sudah bertahun-tahun berkecimpung dalam budidaya kopi Gayo ini bisa dimaklumi karena kulaitas kopi arabika Gayo memang sudah diakui dunia, tapi ini juga perlu menjadi bahan pemikiran bagi kita semua. Ketika kita di Gayo, seakan terlena dengan euforia specialty coffee yang sudah mendapat pengakuan dari Eropa dan Amerika, diam-diam daerah lain juga mulai membenahi kualitas kopi arabika mereka, lihat saja kabupaten Bondowoso yang kini terkenal dengan kopi Ijen nya, atau kabupaten Bandung yang kini mulai memperluas areal perkebunan kopinya, serta daerah penghasil kopi lainnya yang memang sudah ada sejak dulu seperti Toraja, Mandailing dan Bali. Jika kita terus terlena, bukan tidak mungkin kendali kopi arabika yang selama ini kita pegang, akan lepas dari tangan kita.
Sebelum berpamitan, Zaini sempat menitip pesan kepadaku untuk sering-sering menulis tentang kopi Gayo di media,
“Aabang kan sering menulis di media, tolong usahakan abang sering nulis tentang kopi di media, saya semakin menyadari peran media dalam publikasi dan promosi kopi setelah mengikuti festival kopi nusantara ini, kalao kita kalah di bidang publikasi, kita juga akan kalah di bidang lainnya” ungkapnya sedikit menggebu ”Coba abang bayangkan, Gunung Ijen di Bondowoso itu cuma punya lahan kopi 40 hektar, tapi mereka bisa begitu terkenal, itu kenapa? Semua karena mereka menguasai media” lanjutnya.
Apa yang disampaikan zaini ada benarnya, kita tidak boleh hanya terpaku pada proses budidaya, pengolahan dan pemasaran, tapi kita juga harus mampu menguasai media untuk mempromosikan dan mempublikasikan produk unggulan kita ini, karena tanpa media, kopi kita tidak mungkin akan dikenal kemana-mana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H