Sosok kepala desa kreatif yang pernah saya angkat lewat Kompasiana beberapa waktu yang lalu (baca “Kepala Desa Ini Ingin Warganya Cerdas dan Sejahtera”) tidak pernah berhenti bergeliat dengan kreativitasnya. Setelah sukses mengelola Bank Sampah, Kurnia Gading, Kepala Desa Lot Kala Kebayakan, Aceh Tengah ini mulai dengan gebrakan barunya dengan membuka 'Kios Sampah' yang dia launching dua hari yang lalu. Sekilas nama kios ini terdengar aneh, karena biasanya orang membuka kios dengan nama-nama 'umum' seperti kios rokok, kios sembako, kios buku dan sebagainya, tapi Kurina sengaja memberi nama usaha baru di desanya ini dengan nama yang sedikit unik. Lalu apa sih bedanya kios ini dengan kios-kios lainnya?
Kalau kita hanya melihatnya sekilas, sepertinya nggak ada yang beda antara kios ini dengan kios-kios lainnya, sebuah kios yang menyediakan aneka kebutuhan sehari-hari atau lebih dikenal dengan sembilan bahan pokok (sembako) mulai dari beras, gula, minyak, dan bahan pangan lainnya, ada juga barang-barang kebutuhan harian seperti sabun, shampoo, odol dan lain-lainnya. Tapi keunikan akan terlihat ketika kita memperhatikan transaksi di kios ini. Kalau di kios lain, pembeli akan membayar tunai barang-barang yang sudah dibelinya, tapi di kios ini beda banget. Pembeli nggak perlu membawa uang tunai untuk bisa berbelanja di kios ini, tapi cukup membayarnya dengan sampah, ya, benar-benar sampah. Karena si empunya ide memang ingin mengintegrasikan antara bank sampah yang sudah dia kelola sebelumnya dengan kios sampah ini, tentu tujuannya untuk memberi kemudahan bagi warga desanya.
Kalau selama ini warga yang menyetorkan sampah ke bank sampah akan menerima pembayaran tunai, dan kalau kepingin membelanjakan uang hasil penjualan sampah itu harus pergi ke kios yang agak jauh dari bank sampah itu, kali ini sang kepala desa ingin memudahkan warganya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Caranya juga sangat gampang, warga cukup membawa sekarung sampah berupa botol plastik bekas, kardus bekas, ember bolong, atau sampah anorganik lainnya yang bisa didaur ulang ke kios ini, dan mereka sudah bisa membawa pulang beras, gula, minyak dan berbagai kebutuhan lainnya tanpa harus mengeluarkan duit sepeser pun. Praktis dan sangat membantu tentunya.
Berbekal pengalaman mengelola bank sampah, dia tahu dan paham jenis-jenis sampah mana saja yang punya nilai jual, lagi pula dia juga sudah membuka akses pasar dan kerjasama untuk memasarkan sampah-sampah yang dia kumpulkan dari warga desanya maupun warga desa di sekitarnya itu. Dalam kondisi normal saja, dia bisa 'memberangkatkan' tidak kurang dari 1,8 ton sampah ke Medan, kota terbesar di Sumatera utara itu memang memiliki banyak unit daur ulang sampah dan siap menerima pasokan sampah seberapa pun banyaknya. Jumlah itu bisa meningkat sesuai dengan hasil pasokan sampah dari warga selama seminggu. Dan selama ini nyaris tidak ada kendala baginya untuk menjual sampah-sampah itu, karena dia sudah menjalin kerjasama dengan pengusaha di Medan, itulah sebabnya kemudian dia berani menggagas untuk membuka kios sampah ini. Selain bisa membantu warganya, keberadaan kios sampah ini juga akhirnya akan mampu memberi kontribusi bagi pendapatan desanya.
Tentu saja gagasan brilian sang kepala desa ini mendapat sambutan antusias dari warga, dari amatan penulis selama dua hari sejak dibukanya kios sampah ini, sudah ada ratusan kilogram sampah terkumpul di kios ini untuk ditukar dengan berbagai kebutuhan sehari-hari warga. Warga pun merasa senang dan terbantu, karena sampah yang selama ini hanya jadi sumber kotoran dan mengganggu kebersihan serta kenyamanan lingkungan, ternyata sekarang bisa ditukar dengan berbagai kebutuhan rumah tangga mereka, tentu ini bisa menghemat pengeluaran mereka. Dengan penghematan pengeluaran ini, Kurnia juga berharap warganya bisa menabung sedikit demi sedikit untuk cadangan biaya pendidikan bagi anak-anak mereka, sebuah gagasan cerdas yang berorientasi jauh kedepan.
Kerja Kurnia memang tidak setengah-setengah, semua karyanya yang sudah dia 'launching' segera dia sosialisasikan dan dipublikasikan kepada seluruh warga, tak cukup melalui aparat desa yang dipimpinnya, dia juga memasang baliho di beberapa lokasi trategis di desanya untuk menginformasikan pembukaan kios sampah ini agar diketahui oleh semua warganya. Dengan dibukanya kios ini, bank sampah yang dia kelola pun tidak perlu lagi menyediakan banyak uang tunai lagi untuk membayar sampah yang disetorkan warga, karena sekarang warga lebih senang langsung menukar sampah mereka dengan berbagai kebutuhan sehari-hari yang mereka butuhkan tanpa harus pergi ke toko atau kios lainnya, sebuah langkah efektif dan efisien, baik bagi pengelola maupun warga.
Baru satu dua ide saja yang dia implementasikan, sudah banyak warga yang merasa terbantu, sementara berbagai ide masih berkecamuk di benaknya untuk terus memajukan desanya.
“Hidup ini adalah ladang untuk beramal, kalau kita tidak memanfaatkannya untuk melakukan kebaikan bagi sesama, alangkah ruginya kita.” Begitulah motto dan falsafah hidup yang selalu dipegangnya, wajar kalau dia begitu dicintai warganya.
Kalau saja semua kepala desa bisa meniru apa yang dilakukan oleh Kurnia Gading ini, tentu semua desa akan maju dan warga desa akan sejahtera, dan tidak berpikir untuk berurbanisasi ke kota sekedar untuk mendapatkan pekerjaan, karena potensi di desa masih mampu memberi ruang bagi warga untuk mendapatkan penghasilan. Beruntung Gayo punya sosok inspiratif seperti kepala desa Lot Kala ini, sosok peramah dan murah senyum ini mampu menggerakkan desanya ke arah yang lebih maju dan yang jelas mampu membuat warganya menjadi lebih sejahtera. Acungan dua jempol pun rasanya belum cukup untuk mengapresiasi sosok kepala desa kreatif dan inovatif ini.