Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Haru Biru Mengantar Si Bungsu Masuk Pertama ke Pesantren Terpadu

18 Juli 2016   10:36 Diperbarui: 19 Juli 2016   06:44 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1, Putri Bungsuku (baju biru) tetap ceria saat pertama di antar ke Pesantren Terpadu (Doc. FMT)

Hari Senin, tanggal 18 Juli 2016 adalah hari pertama dimulainya tahun ajaran 2016/2017, tentu ini jadi “kesibukan” baru bagi para orang tua yang kebetulan punya putra atau putri yang pada tahun ini pertama kali masuk ke lembaga pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke sekolah menengah atas. Karena hari pertama sekolah  tentu merupakan pengalaman baru bagi para murid atau siswa baru yang pastinya juga akan melibatkan secara aktif peran pendampingan dari para orang tua, khususnya ketika mengntarkan putra putri mereka untuk memasuki “dunia baru” mereka..

Yang agak rumit tentu saja para orang tua yang anaknya masuk di kelas satu sekolah dasar atau yang sederajat, karena hari-hari pertama mereka di sekolah baru tentu akan memberi efek kejutan yang bisa jadi merupakan tekanan psikologis bagi anak, seperti belum punya teman, nerveus dengan sikap guru, harus mematuhi peraturan ini itu. Nah disitulah peran utama para orang tua menjadi kunci keberhasilan bagi anak untuk melewati masa “transisi” mereka. Mengantar dan mendampingi mereka pada hari-hari pertama mereka di sekolah baru, tentu menjadi hal niscaya yang tidak bisa diabaikan oleh para orang tua, terlepas dari kesibukan apapun sang orang tua.

Bagi kalangan pegawai negeri sipil atau Aparatur Sipil Negara, pekerjaan tentu bukan alasan untuk tidak mengantar anak untuk pertama kalinya memasuki sekolah baru, karena Pemerintah telah memberikan izin dan kelonggaran kepada para Abdi Negara itu untuk mengantar anak-anak mereka ke sekolah pada hari pertama sekolah, yang mungkin akan jadi pengecualian adalah mereka yang bekerja di instansi swasta, apalagi jika pimpinan mereka tidak begitu “peduli” dengan pendidikan anak, meski bisa mengalihkan peran tersebut kepada supir atau asisten rumah tangga, tapi itu bukan tindakan bjak, karena anak adalah asset orang tua bukan asset supir atau asisten rumah tangga.

Mengantar anak untuk sekolah pertama mereka, ternyata bukan monopoli para orang tua yang pertama kali memasukkan anak-anak mereka ke jenjang pendidikan dasar, hal yang sama juga dialami oleh para orang tua yang memasukkan anak-anak mereka ke jenjang pendidikan menengah baik setingkat SMP maupun SMA, karena yang namanya anak yang kondisi emosional dan psikologisnya relative masih labil, meski usianya mulai menginjak usia remaja, tetap butuh perhatian dan pendampingan orang tua pada masa-masa adaptasi di lembaga pendidikan barunya.

Jika pada anak-anak yang dimasukkan oleh orang tua mereka pada sekolah umum, tentu hari pertama sekolah merupakan “tugas tambahan” yang mau tidak mau harus mereka lakukan, kalau tidak ingin anak-anak mereka menemui masalah di sekolah baru mereka. Tapi berbeda dengan para orang tua yang memilih pesantren terpadu sebagai tempat pendidikan bagi putra putri mereka, kesibukan sudah akan dimulai dua atau tiga hari sebelum hari pertama masuk sekolah, karena mereka yang belajar di pesantren terpadu akan masuk ke asrama dan untuk sementara harus berpisah dengan orang tua mereka, tentu butuh persiapan lebih spesifik. Berbagai persiapan mulai dari pakaian, peralatan tidur, perkakas belajar, dan “property” kamar seperti lemari, meja belajar, tempat tidur dan sebagainya, harus dipersiapkan jauh-jauh hari.

Tak sekedar mengikuti “tren” kalau aku dan iisteriku kemudian memilih pesantren terpadu sebagai tempat pendidikan bagi putra putri kami. Putra pertama dan putri kedua kami, sudah terlebih dulu mengenyam pendidikan pesantren di tingkat menengah pertama dan menengah atas selama enam tahun penuh. Dan selama kurun waktu tersebut, kami harus rela “berpisah” dengan putra putri kami untuk sementara, hanya sesekali saja kami bertemu dengan si buah hati, yaitu pada saat libur atau pada saat kami menjenguknya di pesantren. Dan pengalaman mengantar anak untuk pertama kalinya memasuki pendidikan di pesantren tentu menjadi pengalaman berharga bagi kami.

Kali ini pengalaman tahun 2005 dan tahun 2008 yang lalu, saat kami mengantarkan putra pertama dan putri kedua kami untuk memasuki pendidikan di pesantren terpadu, kembali terulang. Kali ini “giliran” putri bungsu kami yang harus kami antarkan juga untuk memperoleh pendidikan di pesantren yang sama dengan kakak-kakaknya. Alhamdulillah, tahun ini putri bungsu kami telah berhasil menyelesaikan pendidikan dasarnya, dan bersiap untuk memasuki jenjang pendidikan berikutnya, dan kami tetap pada komitmen awal untuk memasukkan si bungsu ke pesantren terpadu, karena untuk saat ini menurut kami, pendidikan pesantren yang dikelola dengan manajemen modern adalah pilihan terbaik bagi putri kami itu, Selain bisa memperoleh pendidikan umum seperti disekolah lainnya, di tempat ini putrid kami bisa memperoleh pendidikan akhlak yang akan sangat berguna bagi kehidupannya kelak.

Dan hari Minggu kemarin adalah saat kami harus “menyerahkan” putri bungsu kami ke pesantren terpadu Nurul Islam yang berjarak sekitar 60 kilometer dari kediaman kami, karena hari Senin ini, dia harus sudah memulai aktifitas pendidikan di sekolah barunya. Kesibukan kami sebagai orang tua sebenarnya bukan cuma hari Minggu kemarin, karena beberapa bulan sebelumnya kami juga sudah terlibat langsung untuk bisa memasukkan putri kami ke lembaga pendidikan Islami itu. Dimulai dengan pendaftaran santri baru pada bulan Maret yang lalu, diikuti dengan tes dan seleksi sampai proses daftar ulang pada bulan Mei lalu. Apalagi proses seleksinya juga lumayan ketat, jadi pendampingan kami selaku orang tua selama proses seleksi juga sangat dibutuhkannya.

Gambar 2, Suasana penyerahan santri kepada pengelola Pesantren Terpadu Nurul Islam (Doc. FMT)
Gambar 2, Suasana penyerahan santri kepada pengelola Pesantren Terpadu Nurul Islam (Doc. FMT)
Meki bukan untuk pertama kalinya, tapi suasana haru biru tetap saja terasa saat kami mengantarkan putri bungsu kami memasuki lembaga pendidikan barunya, karena selain harus beradaptasi dengan lingkungan barunya, dia juga harus berpisah dengan kami untuk waktu yang cukup lama. Putri kami sendiri terlihat “enjoy” saja saat kami antarkan ke pesantren itu, tapi banyangan keharuan jelas terpancar dari raut muka isteriku, bahkan aku sempat melihat ketika mata isteriku mulai berkaca-kaca ketika akan “melepaskan” si bungsu, maklum saja selama ini kami nyaris tidak pernah berpisah dengannya untuk waktu yang lama. Tapi aku berusaha meyakinkan isteriku, bahwa ini pilihan terbaik bagi si bungsu, dan itu ternyata terbukti efektif untuk menetralisir kesedihan isteriku.

Pagi buta di hari Minggu (17/7/2016) kami sudah mempersiapkan segalanya untuk mengantar si bungsu, nenek dan bibinya juga kepingin ikut mengantar, jadilah kendaraan kami penuh sesak, karena di bagasi sudah dipenuhi dengan berbagai pernik kebutuhan si bungsu dan di jok tengah, si bungsu harus berhimpit dengan nenek dan bibinya. Ya, meski sudah dikuat-kuatkan, tapi air mata isteriku akhirnya tumpah juga, apalagi sang nenek sudah lebih dulu memulainya. Sebagai kepala keluarga, akhirnya harus “turun tangan’ untuk menenangkan para orang tua yang hari itu kelihatan agak-agak “lebay” itu.

Tapi yang membuatku salut adalah “ketegaran” si bungsu, seperti tanpa beban, dia begitu santai saat kami memasuki komplek pesantren, begitu juga ketika panitia penerimaan santri baru menunjukan kamar bagi anakku itu, nyaris tidak ada ekspresi kesedihan terpancar di wajahnya, entah karena dia pandai menyembunyikannya, atau dia memang sudah siap mental untuk menjalani pendidikan jauh dari orang tuanya, tapi setidaknya aku bisa bersyukur dan bernafas lega, karena keinginan kami sepertinya sejalan dengan keinginannya. Yang membuat aku semakin terharu adalah ketika si bungsu malah melarang ibu dan neneknya untuk menangis,

“Ibu sama nenek jangan nangis dong, nanti adik kan jadi ikut sedih” begitu ujarnya nyaris tanpa beban, sekuat-kuatnya lelaki, aku sebagai ayahnya merasa terharu juga, meski nggak sampai meneterkan air mata.

Alhamdulillah, sifat periang dan mudah bergaul dari si bungsu sangat membantunya untuk cepat beradaptasi dengan lingkungan barunya. Di saat ibu dan neneknya sibuk membantu membereskan kamar asramanya, si bungsu sudah menunjukkan keaktifannya bersosialisasi. Hanya dalam beberapa menit saja, sudah beberapa teman baru di dapatkan, bahkan dalam sekejap mereka sudah terlihat mulai akrab, itu yang membuat isak tangis ibu dan neneknya tidak berkelanjutan, sepertinya dia begitu menikmati tempat belajarnya yang baru itu, itu yang membuat sesak di dada ini terasa terurai.

Suasana haru biru terasa kembali saat kami harus meninggalkan komplek pesantren, kulihat air mata kembali meleleh di pipi isteri dan mertua perempuanku ketika berpamitan dan memeluk si bungsu, tapi haru biru itu terasa pupus saat melihat ketenangan si bungsu ketika kami akan meninggalkankanya di asrama putri pesantren itu, malah sambil senyum-senyum bersama teman-teman barunya, si bungsu terlihat melambai-lambaikan tangnnya ketika aku mulai menghidupkan mesin mobil untuk kembali ke rumah.

Ada keharuan, ada tanggung jawab terhadap masa depan anak, itulah yang bercampur aduk saat mengantarkan si bungsu memasuki jenjang pendidikan barunya, tapi perhatian lebih dari kami sebagai orang tua, tentunya bisa jadi motivasi baginya untuk giat belajar, dan yang pasti dia tidak pernah mersa “terbuang”, karena pada awal-awal masa transisinya itu, kami masih boleh sering-sering untuk menjenguknya, lagian pesantren tempat belajar baru bagi si bingsu tidak jauh-jauh amat dari dari tempat tinggal kami, hanya sekitar satu setengah jam perjalanan saja.

Itulah sekelumit pengalaman mengantar anak sekolah si bungsu, seperti fragmen yang terulang beberapa kali dengan frame suasana yang berbeda. Tentu saja pengalaman kami itu tidak sama dengan para orang tua lain yang memasukkan putra putri mereka ke sekolah umum, karena pendidikan di pesanten terpadu memang beda. Tak sekedar mengikuti tren, tapi lebih dari kepedulian kami terhadap masa depan bagi putra putri kami ditengah gejolak global yang penuh tantangan dan perlu disikapi dengan arif ini, semoga bermanfaat bagi pembaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun