Gambar 1, Tengku Haji Khaliluddin alias Aman Aidi di pinggir kolam ikannya (Doc. FMT)
Di dataran tinggi Gayo, pria dewasa yang sudah menikah jarang sekali dikenali atau dipanggil dengana nama aslinya, di daerah ini, orang merasa lebih dihormati jika dipanggil dengan “peraman”nya yaitu panggilan bapak untuk nama anak pertamanya. Contohnya, orang yang bernama Salihin, kebetulan dia punya anak pertama bernama Fikri, maka dia akan lebih sering dipanggil dengan sebutan Pak Fikri atau Aman Fikri. Nama asli terkadang hanya dipakai untuk keperluan resmi seperti mebuat kartu tanda penduduk, kartu keluarga atau urusan administrasi kepemerintahan saja.
Demikian juga dengan sosok pria 70 tahun ini, nama asli pemberian orang tuanya adalah Khaliluddin, namun tidak banyak orang yang mengenal nama Haji Khaliluddin, meskipun sering melihat atau bertemu dengan sosok pria berjenggot putih ini. Masyarakat di dataran tinggi Gayo, khususnya yang tinggal di daerah Kebayakan dan sekitarnya, lebih mengenal pria ini dengan panggilan Aman Aidi atau Pak Aidi, karena kebetulan putra pertama pak haji ini memang bernama Aidi Fitra.
Kebanyakan urang Gayo dan masyarakat di seputaran kota Takengon dan Kebayakan, mengenal Aman Aidi sebagai Imam di masjid terbesar di kecamatan Kebayakan yaitu Masjid Abrar. Memang sudah puluhan tahun, “jabatan” sebagai imam di masjid itu sudah disandangnya, karena kemampuan ilmu agamanya yang cukup mumpuni dan beliau juga seorang hafidz Alqur’an 30 juz, sehingga tidak diragukan lagi kapasitas ilmu agamnanya, bahkan sampai saat ini belum ada yang mampu menggantikan kedudukan beliau sebagai imam masjid tersebut.
Imam masjid tentu saja hanya jabatan amal yang beliau sandang karena kepercayaan yang diberikan masyarakat karena melihat kapasitas keilmuan beliau di bidang agama, menjadi imam masjid tentu juga bukan sebuah profesi yang bisa menghidupi beliau dan keluarganya, karena jabatan sebagai imam masjid yang telah beliau sandang puluhan tahun itu tidak lebih dari sebuah amanah dan amal ibadah yang berdasar kepada keikhlasan.
Sebagai seorang kepala keluarga yang memiliki seorang isteri dan 8 orang putra putri, Aman Aidi juga punya beban dan tanggung jawab ekonomi yang harus dia pikul sebagai konsekwensi atas statusnya sebagai kepala keluarga. Dan menjadi imam masjid tentu tidak bisa dijadikan sandaran untuk menghidupi keluarga. Itulah sebabnya, selain terus memgang amanah sebagai imam masjid, Aman Aidi juga mesti bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga beliau. Menjadi petani, mungkin pilihan yang paling mudah, karena beliau memang terlahir dari keluarga petani, apalagi beliau juga mempunyai beberapa lahan kebun dan sawah yang bisa beliau kelola untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan bagi putra putri beliau.
Ketika usia beliau masih dibawah 50 tahun dengan fisik yang masih tegap, berkebun kopi dan menggarap sawah menjadi pilihan profesinya. Dari hasil kebun kopi dan sawahnya, beliaupun berhasil mengentaskan beberapa orang putranya menjadi sarjana dan kehidupan keluarganyapun berkecukupan meski tidak sampai berlimpah materi. Namun seiring dengan berjalannya waktu, tubuh Aman Aidi pun secara perlahan beranjak renta, meski masih menampakkan kekekarannya akibat tempaan pekerjaan berat yang selama ini dilakoninya.
Untuk menggarap kebun kopi, dirasakannya sudah tidak sanggup lagi, maka kebun kopi miliknyapun diserahkan pengelolaannya kepada anak laki-lakinya. Ada beberapa petak sawah yang luasnya lebih dari setengah hektar yang masih dia kelola, namun setelah dihitung-hitung dengan analisa usaha tani, budidaya padi yang dia lakukan di sawah miliknya itu nyaris tidak memberikan untung, hanya cukup untuk memnuhi kebutuhan pangan keluarganya saja. Aman Aidi yang punya hobi membaca inipun, mulai tertarik untuk “menyulap” petak-petak sawah miliknya menjadi kolam ikan.
Berbekal referensi dari buku-buku yang pernah dibacanya, Aman Aidi mulai “merukah” sawahnya menjadi kolam sekitar 15 tahun yang lalu. Dan ternyata feelingnya tidak meleset, dengan mebudidayakan ikan mujahir dan ikan mas di kolamnya, ternyata hasil yang beliau dapatkan jauh melebihi hasil padi sebelumnya. Ada keuntungan lain pula, beliau masih bisa menanam padi pada saat musim bersawah tiba, kolam-kolamnya agak dikeringkan kemudian ditanami padi dengan pola mina padi, tanaman padi tumbuh dengan baik, sementara ikan-ikan yang ada disitu juga beranjak besar, ada keuntungan ganda yang beliau peroleh ari usahanya ini.
Berbeda dengan petani atau petambak ikan lainnya yang bekerja dari pagi sampai sore, Aman Aidi terlihat santai dalam bekerja, namun tetap serius dalam usahanya. Pagi buta, sebelum adzan Subuh, beliau sudah meninggalkan rumahnya menuju masjid, melaksanakan amanah yang disandangnya sebagai imam masjid. Begitu matahari menampakkan cahayanya, Aman Aidi pun bergegas menuju kolamnya, ada saja yang dilakukan di sana, mulai dari membersihkan kolam, mencangkuli pinggiran kolam dan menanaminya dengan berbagai tanaman, sampai melayani pembeli yang membutuhkan ikan segar atau bibit ikan. Aktifitas di kolam dilakukannya sampai menjelang tiba waktu Dzuhur, karena sebelum adzan berkumandang, beliau sudah harus berada di masjid untuk memimpin sholat berjamaah.