[caption caption="Gambar 4, "idang Meulapieh", hidangan spesial bagi keluarga inti mempelai (Doc. FMT)"]
Usai mengantar mempelai pria, bukan berarti urusan selesai, masih ada satu prosesi lagi yang juga harus dipersiapkan, yang tentu saja juga butuh budget yang tidak sedikit. Sesuai adat setempat, beberapa hari atau bisa juga beberapa bulan setelah mempelai pria diantarkan ke rumah mempelai perempuan, maka pihak mempelai perempuan juga “wajib” membalas mengantarkan mempelai ke rumah keluarga mempelai pria, acara balasan itu dikenal sebagai “Tueng Dara Baroe”, atau mengantar mempelai perempuan. Hampir sama dengan saat menerima mempelai pria, keluarga mempelai perempuan juga harus mempersiapkan hantaran, meski tidak “semahal” hantaran mempelai pria, karena biasanya hantaran alasan itu hanya berupa kue-kue dan penganan khas saja.
Giliran keluarga mempelai pria yang kemudian harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, selain harus mempersiapkan “Idang Meulapieh” untuk keluarga inti keluarga mempelai perempuan, juga harus dipersipakan hidangan untuk para pengantar lainnya yang jumlahnya biasanya juga ratusan orang, karena mealibatkan orang sekampung. Usai rombongan mempelai perempuan pulang, acara masih berlanjut dengan resepsi bagi para undangan yang terdiri dari sanak saudara, kerabat, relasi dan para tetangga tentunya. Untuk menggelar acara terseut, lagi-lagi, pihak keluarga harus rela “membobol” tabungan sampai puluhan juta rupiah.
Usai ikut mengantar mempelai pria yang tidak lain adik kandung dari isteriku itu, iseng aku mencoba meng”kalkulasi” pengeluaran untuk menggelar rangkaian ritual dan prosesi pernikahan adat Aceh di daerah Pidie jaya itu. Untuk keluarga biasa saja, mulai dari acara lamaran, akad nikah, mengantar pengantin sampai menerima pengantin dan resepsi pernikahan, tidak kurang dari 100 juta harus disiapkan, wow mahal amat!, tapi itulah adat dan budaya, yang mau tidak mau harus diikuti, kalau kita masih mengingingkan dianggap sebagai bagian dari masyarakat adat setempat.
Tapi, meski semua prosesi pernikahan tersebut mengatas namakan adat, tidak semua keluarga di daerah itu bisa mengikuti “tuntutan” tersebut, semua kemabli kepada kemampuan ekonomi masing-masing. Pun demikian, karena pernikahan sampai saat ini masih dianggap sebuah prosesi sakral, tetap saja masyarakat “memaksakan diri” untuk mengikuti adat tersebut, meski tidak dipungkiri bahwa itu sangat memberatkan.
Khasanah adat dan budaya daerah menag sangat unik, tapi itulah realita dari kekayaan khasanah budaya negeri kita, yang tentu saja harus tetap dilestarikan. Kultur masyarakat yang masih lekat dengan adat dan budaya nenek moyang mereka, membuat mereka harus tetap “larut” dalam rangkaian adat yang sebenarnya memang sangat meberatkan itu.
Meski semua orang tau, bahwa adat pernikahan Aceh begitu “mahal”, tapi adat itu masih tetap bertahan sampai sekarang. Sebagian orang di daerah lain mungkin menganggap itu sebagai sebuah pemborosan, tapi bagi masyarakat Aceh, khususnya seperti yang aku lihat di Pidie Jaya, adat pernikahan itu adalah bagian dari marwah dan harga diri mereka. Terkadang tuntutan adat dan budaya memang tidak harus dicerna dengan kacamata ekonomi saja tapi harus dimaknai secara kultural.
Meski adat pernikahan di Aceh tergolong “mahal”, tapi dari referensi yang kudapat dari berbagai media, Etnis Aceh tidak sendirian, masih ada etnis lain yang juga memiliki adat pernikahan yang mahal seperti Nias, Sasak, Banjar dan Bugis. Bukan sekedar gengsi, tapi itulah harga diri, sesuatu yang tidak dapat dinilai harganya dengan apapun., karena pernikahan sebenarnya juga sebuah ajang pertaruhan harga diri. Kalau pembaca punya keinginan untuk mempersunting dara Aceh, mungkin tulisan ini bisa jadi sebuah referensi untuk “mempersiapkan diri”, hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H