Sebulan setelah acara lamaran, dan sudah ada “deal” antara kedua belah pihak tentang besaran mahar, maka acara berlanjut kepada “legal formal” yaitu akad nikah di Kantor Urusan Agama setempat. Usai akad nikah, sebenarnya kedia mempelai sudah sah menjadi suami istri, baik secara agama maupun pemerintahan. Namun karena ritual adat belum dilaksanakan, maka pernikahan itu seperti masih “tergantung”.
[caption caption="Gambar 2, "Hantaran" Mempelai pria yang nilainya bisa belasan juta rupiah (Doc. FMT)"]
Budget 20 jutaan untuk keperluan mahar, yang bagi keluarga kami sudah cukup memberatkan, ternyata belum “apa-apa”, karena pengeluaran yang lebih besar masih menunggu, mengiringi prosesi adat pernikahan selanjutnya. Seperti yang kami laksanakan beberapa hari yang lalu, dimana mempelai pria daintarkan secara adat ke rumah mempelai perempuat atau yang dalam adat Aceh disebut “Intat Lintoe Baroe”.
Tak sekedar mengajak kerapat dan tetangga untuk mengantar sang “raja sehari”, banyak yang harus disiapkan oleh keluarga mempelai pria, khususnya seserahan atau hantaran yang bagi masayarakat di derah lain mungkin tergolong “wah”.
Lagi-lagi, keluarga mempelai pria harus meroh kocek lebih dalam lagi, karena nilai hantaran untuk mengiringi “intat lintoe”, lumayan besar juga. Tiga belas talam bertutup tudung saji berhias itu berisi 7 set pakaian lengkap mulai dari kebaya, kain panjang, baju gamis, jilbab, selop/sandal, handuk sampai “properti dalaman” perempuan plus perangkat kecantikan mulai dari bedak, lipstick, lulur, eye shadow dan lain-lainnya, beberapa jenis penganan khas yang dipesan secara khusus seperti “Meusukat” (jenang atau dodol khas Aceh), “Halua” (jenang krasikan), bolu aceh, kue bintang, “Keukarah” (penganan khas yang hanya ada di Aceh, terbuat dari tepung beras dan terigu yang dicetak secara unik menyerupai sarang semut kemudian digoreng) dan beberapa penganan spesifik lainnya, tidak ketinggalan susuan sirih (ranub) dengan hiasan bunga melati yang disusun sedemikian rupa menyerupai gunungan kecil, ikut melengkapi hantaran ini.
Setelah disusun, hantaran itu sudah memenuhi bak mobil pick up, itupun masih ditambah lagi dengan amplop berisi “uang tali kasih” yang jumlahnya bisa jutaan rupiah. Aku coba bertanya kepada pihak keluarga mempelai pria, berapa kira-kira “nilai” hantaran tersebut, agak terhenyak juga ketika keluarga mertuaku menyebut angka 15 jutaan rupiah, wow.
[caption caption="Gambar 3, "Gunungan" Sirih berhias melati, "properti" wajib pelangkap hantaran mempelai (Doc. FMT)"]
Tak hanya keluarga mempelai pria yang harus rela “berkorban”, keluarga mempelai perempuan pun juga harus mempersiapkan acara penyambuatan mempelai pria yang juga harus dengan pengeluaran “ekstra”. Untuk menyambut rombongan mempelai yang jumlahnya bisa mencapai ratusan orang itu, keluarga mempelai perempuan juga harus menyediakan hidangan istimewa, katanya untuk menjaga “maewah’ keluarga didepan masyarakat sekitarnya.
Kalau sebagian besar pengantar pengantin kemudian dipersilahkan menuju meja prasmanan untuk menikmati hidangan yang sudah disediakan, maka khusus untuk keluarga “inti” mempelai pria disediakan ruangan khusus, disitu sudah dihidangkan aneka menu “wah” dan spesial sebagai bentuk penghargaan kepada keluarga besan. Hidangan spesial itu biasa disebut “Idang Meulapieh” atau hidangan berlapis, karena diruangan itu ratusan piring kecil berisi berbagai hiadngan tersusun secara berlapis, untuk menghemat tempat mungkin.
Aku yang juga masuk sebagai keluarga inti mempelai pria juga dipersilahkan masuk ke ruangan khusus itu. Meski kan yang pertama kalinya, tetap saja aku menggelang-gelangkan kepala melihat hidangan berlapis itu, hampir semua menu kuliner khas Aceh “bertumpuk” disitu, mulai dari gulai daging, ayam, itik, aneka masakan ikan laut seperti tongkol, kakap, kerapu, udang dan beberapa jenis ikan lainnya, lengkap terhidang disitu, begitu juga bermacam kue dan penganan khas tidak ketinggalan, uniknya lagi jenis minuman yang dihidangkan juga terdiri dari beberapa macam, mulai dari susu, air kelapa muda, cendol, air mentimun, dan sari buah, belum mulai menyantap saja, sudang terasa “kenyang” melihat banyaknya hidangan itu.
Kalau aku taksir, biaya untuk menyediakan “idang meulapieh” itu nggak kurang dari lima jutaan, belum lagi hidangan prasmanan yang disediakan untuk para pengantar lainnya dan juga untuk tamu undangan, rata-rata mereka harus memotong seekor lembu untuk menggelar hajatan itu. Ditambah dengan segala pernik hajatan lainnya, mungkin biaya yang dikeluarkan oleh keluarga mempelai perempuan nggak kurang dari 40 jutaan.