Mohon tunggu...
Fathan Muhammad Taufiq
Fathan Muhammad Taufiq Mohon Tunggu... Administrasi - PNS yang punya hobi menulis

Pengabdi petani di Dataran Tinggi Gayo, peminat bidang Pertanian, Ketahanan Pangan dan Agroklimatologi

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Talas Jepang Satoimo, Komoditi Pangan Bernilai Ekspor

23 Desember 2015   12:40 Diperbarui: 4 April 2017   18:04 6588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Ilustrasi - talas (Shutterstock)

Salah satu jenis komoditi pangan non beras yang saat ini mulai “ngetren” dan digalakkan di berbagai daerah karena memiliki nilai dan prospek ekonomi yang cukup bagus adalah Talas Jepang Satoimo (Colocasia esculenta var antiquorum) atau yang dikenal sebagai Taro Potato. Bahan pangan yang satu ini sekarang sudah menjadi salah satu bahan pangan utama bagi sebagian besar penduduk Jepang sebagai pengganti beras dan kentang, karena mereka menganggap beras dan kentang terlalu banyak mengandung karbohidrat dan gula, sehingga banyak warga Jepang yang mengalihkan konsumsi mereka pada jenis talas ini.

Talas Jepang sebenarnya sudah masuk ke Indonesia sejak lama, yaitu pada masa pendudukan Jepang antara tahun 1942 – 1945. Keadaan rawan pangan yang melanda hampir seluruh wilayah Indonesia pada waktu itu, memaksa pemerintah pendudukan Jepang mendatangkan komoditi pangan asli negeri sakura itu ke negara kita, penduduk yang waktu itu masih terjajah kemudian dipaksa untuk menanam talas ini, bukan untuk memenuhi kebutuhan pangan bangsa yang dijajahnya, tapi untuk cadangan pangan bagi penduduk Jepang di negaranya, hanya talas dengan kualitas rendah saja yang kemudian bisa dikonsumsi oleh bangsa Indonesia.

Gambar 1, drh Ahdar, MP, dengan latar belakang lahan ujicoba talas jepang di BDP Saree, Aceh (Doc. Ahdar)

Setelah masa kemerdekaan, talas jepang kemudian dilupakan orang, karena memang bukan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia dan prospek pasarnyapun waktu itu tidak jelas, begitu juga di negara asalnya, tanaman penghasil bahan pangan ini juga tidak menjadi prioritas dalam pengembangan pertanian mereka. Baru pada era delapan puluhan, pemerintah Jepang kembali menggalakkan penanaman komoditi ini setelah adanya berbagai penelitian yang membuktikan bahwa talas jepang tidak saja bisa menjadi bahan pangan alternatif yang mengandung protein dan kalori tinggi tapi memiliki kandungan karbohidrat dan gula yang rendah, sehingga aman dikonsumsi oleh penderita atau mereka yang berpotensi diabetes, disamping memiliki manfaat selain sekedar sebagai bahan pangan.

Gambar 2, Talas jepang Satoimo dapat dikonsumsi dalam keadaan mentah (Doc. Ahdar)

Berbeda dengan jenis talas lainnya, talas jepang satoimo selain bisa diolah menjadi pangan olahan pengganti kentang dan terigu seperti tart, kue kering, pie atau makanan ringan, talas jenis ini bisa dikonsumsi langsung dalam keadaan mentah, rasanya yang mirip-mirip dengan salak pondoh membuat sebagian orang menyebutnya keladi salak. Kalau anda pernah mencicipi oleh-oleh dari Jepang berupa Taro Snack atau pie Genji Taro, itu merupakan contoh dari pangan olahan yang berbahan dasar talas jepang satoimo.

Disamping menjadi bahan pangan alternatif bahkan pangan utama warga Jepang, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa talas jepang memiliki kandungan Hyalitrotic Acid yang merupakan senyawa pembentuk Collagen, salah satu jenis protein yang diyakini bisa memperlambat proses penuaan kulit. Tepung talas jepang juga banyak dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan berbagai kosmetik, terutama kosmetik untuk perawatan kulit.  

Awalnya, produksi talas yang dihasilkan oleh pertanian di Jepang mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri mereka, tapi seiring dengan meningkatnya permintaaan dan semakin menyempitnya lahan pertanian di Negara itu, mereka mulai kekurangan pasokan talas jepang ini. Dari data Economic Review (2010), kebutuhan talas jepang di negeri sakura pada tahun 2010 mencapai 380.000 ton, sementara lahan pertanian meea hanya mampu menghasilkan sekitar 250.000 ton per tahun, masih ada kekurangan 130.000 ton. China adalah negara pertama yang kemudian melirik peluang ini, merekapun mulai mengembangkan komoditi ini pada tahun 2006 yang lalu, dan pada tahun ini mereka sudah berhasil mengekspor tidak kurang dari 60.000 talas ke Jepang. Namun demikian produk dari negeri tirai bambu itu belum juga mampu memenuhi permintaan pasar di Jepang.

Konsorsium Satoimo dibawah koordinasi Japan Fonundation, yang selama ini mengendalikan pasar talas jepang, kemudian melirik Indonesia yang memiliki potensi lahan yang sangat luas untuk mengembangkan komoditi ini di Indonesia. Uji coba penanaman talas jepang kemudian dilakukan di berberapa daerah seperti Buleleng dan Tabanan di Provinsi Bali, Bantul di Yogyakarta dan beberapa daerah lainnya. Di provinsi Aceh, pengembangan talas jepang dimulai pada tahun 2014 yang lalu di daerah Aceh Besar, meski dengan luas tanam yang masih terbatas. Salah satu sosok yang gigih memasyarakatkan penanaman talas jepang ini di provinsi Aceh adalah drh. Ahdar, MP yang juga Kepala Balai diklat Pertanian Aceh di Saree. Areal lahan praktek BDP Saree yang cukup luas itu kemudaian dijadikan sebagai lahan ujicoba pengembangan talas jepang ini. Selain di Saree, menurut Ahdar, talas jepang juga sudah mulai dibudidayakan di beberapa kecamatan di kabupaten Aceh Besar bahkan beberapa diantaranya sudah panen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun