Gambar 1, Athaullah sedang menyuluh petani kentang (Doc. Fathan.MT)
“Pengalaman adalah guru yang terbaik”, kata-kata bijak ini cocok rasanya sebgaia gambaran dari seorang penyuluh pertanian yang “dibesarkan” oleh pengalaman. Athaullah, begitu pria kelahiran Rantau, Aceh Tamiang, 25 Juli 1967 ini, dia salah seorang penyuluh pertanian di Kabupaten Aceh Tengah. Penyuluh berperawakan kecil dengan kulit agak kehitaman ini bukanlah sosok yang asing bagi para petani di Dataran Tinggi Gayo.
Sebelum di angkat sebagai penyuluh pertanian, Atha, panggilan penyuluh ini, sudah lama akrab dengan dunia pertanian. Merantau dari Aceh Tamiang ke Tanoh Gayo, Atha kemudian menimba ilmu pertanian di Sekolah Menengah Teknologi (SMT) Pertanian Takengon (sekarang SMK Negeri 2 Takengon), karena memang punya minat yang cukup tinggi di bidang pertanian. Lulus dari SMT Pertanian tahun 1987, Atha tidak lantas kembali ke kampung halamannya, dia ingin mencari pengalaman di daerah yang punya potensi pertanian luar biasa itu.
Atha tidak perlu lama-lama “menganggur”, karena pada saat dia menamatkan jenjang pendidikan SLTAnya, kebetulan di Kabupaten Aceh Tengah sedang dibuka proyek pengembangan hortikultura terpadu atau dikenal dengan nama Integrated Horticultural Project (IHP) yang merupakan proyek kerjasama antara pemerintah Provinsi Aceh dengan Pemerintah Provinsi Antwerpen, Belgia. Proyek yang dikelola oleh BAPPEDA Aceh itu juga sering disebut mesayarakat setempat sebagai Proyek Belgia, berlokasi di Blang Bebangka Kecamatan Pegasing, tak jauh dari komplek SMT Pertanian dimana Atha bersekolah. Proyek yang dibiayai dengan oleh pemerintah Belgia itu kemudian merekrut para tamatan SMT Pertanian Takengon sebagai tenaga teknis lapangan, beruntung Athaullah termasuk salah seorang alumni yang kemudian diterima bekerja di proyek yang dimanajeri oleh bule asal Belgia bernama Patrick dan Kendell yang asal Belanda itu.
Para karyawan baru, termasuk Athaullah kemudian mendapat bimbingan teknis dari para ahli hortikultura dari daratan Eropa itu sebelum “diterjunkan” untuk ikut mengelola proyek tersebut. Sesuai dengan namanya, maka proyek itu kemudian mengembangkan berbagai komoditi hortikultura khususnya sayuran yang berorientasi ekspor, seperti Kentang Granola, Wortel, Broccoli, Petsai, Lobak dan beberapa jenis sayuran yang pada waktu itu pangsa pasarnya sangat bagus. Di areal seluas kurang lebih lima hectare itu, Athaullah kemudian mulai menimba ilmu tentang hortikultura dari orang-orang yang memang ahli di bidang itu. Sebuah pengalaman yang sangat berharga tentunya bagi Atha yang baru menamatkan sekolahnya, selain mendapatkan gaji yang lumayan besar, dia juga mendapat berbagai ilmu tentang budidaya hortikultura, itu yang tidak ternilai harganya.
Awalnya proyek itu berjalan mulus, produksi sayuran perdana yang dihasilkan oleh proyek itu pada tahun pertama, langsung bisa masuk ke pangsa pasar di Malaysia dan Singapura, karena dari awal budidayanya sudah sangat memperhatikan kualitas dari produk yang akan di hasilkan. Memang kalau kita sempat melihat langsung areal pertanaman hortikultura pada proyek IHP waktu itu, kita akan berdecak kagum menyaksikan perpaduan antara penerapan teknologi dengan keahlian para pengelola proyek itu, disamping kondisi agroklimat Dataran Tinggi Gayo yang memang sangat sesuai untuk pengembangan berbagai komoditi hortikultura.
Tapi sayangnya proyek kerjasama itu tidak mampu bertahan lama, entah dengan sebab apa, kemudian pemerintah Belgia menghentikan kerjasama tersebut pada tahun 1998. “lepas” dari bantuan dana dari Pemerintah Belgia, proyek itu kemudian dilanjutkan oleh Bappeda Aceh dan Bappeda Aceh Tengah, tapi itupun hanya bertahan beberapa saat, sebelum akhirnya proyek itu benar-benar “gulung tikar”. Berhentinya operasional proyek tentu saja berdampak kepada karyawan lokal yang selama ini bekerja di proyek itu, termasuk Athaullah. Tanpa PHK dan pesangon, Atha dan kawan-kawan akhirnya keluar sendiri dari tempat kerjanya yang sudah “bubar” itu. Tapi Atha tidak patah semangat kehilangan pekerjaannya, dengan bekal ilmu dan pengalaman yang dia peroleh dari para bule itu, Atha mulai berwirausaha di bidang pertanian dengan meminjam lahan milik almamaternya, kebetulan komplek SMT Pertanian Takengon memang memliki lahan pertanian yang sangat luas, dan pihak sekolah memberi ijin kepada para alumni untuk menggarap lahan tersebut. Usaha tersebut lumayan bisa untuk merangkai masa depan bagi Athaullah yang pada waktu itu beru saja menyunting Dwi Purbayani, yang juga mantan karyawati IHP seagai isterinya.
Kehidupan Athaullah memang penuh dengan keberuntungan, berbekal pengalaman kerja di IHP dengan mengantongi SK dari Kepala Bappeda Aceh, kemudian Athaullah tercatat sebagai tenaga honorer pada Dinas Pertanian setempat, sambil terus menglola lahan hortikulturanya. Lagi-lagi keberuntungan terus berpihak kepadanya, tahun 2006 dia diangkat menjadi CPNS dari jalur honorer. Hanya beberapa saat saja dia bertahan di kantor, jiwanya yang lebih cenderung untuk bekerja di lapangan, membuatnya memilih untuk beralih sebagai penyuluh pertanian.
Seperti menemukan kembali “dunia”nya, Atha kemudian memulai kiprahnya sebagai penyuluh pertanian lapangan. Berbekal pengalamannya selama bekerja di bidang pengembangan hortikultura bersama para bule, Atha tidak mengalami kesulitan ketika harus memberikan penyuluhan kepada para petani di wilayah binaannya. Bahkan ilmu dan pengalamnanya di bidang hortikultura kemudian bisa dia tularkan kepada para petani di daerah itu.
Komoditi kentang yang pada waktu itu belum diminati petani karena petani disini lebih fokus pada tanaman kopi, mulai berkembang berkat bimbingan penyuluh yang satu ini. Sistim budidaya kentang yang dia peroleh dari para ahli hortikultura dari Eropa itu coba dia terpakan di lahan petani, begitu juga varietas-varietas baru kentang juga dia perkenalkan kepda petani dan hasilnya memang sangat memuaskan.
Tak puas dengan ilmu dan pengalaman yang dimilikinya, Athaullah kemudian sempat menimba ilmu ke Pengalengan, Jawa Barat, khusus untuk belajar tentang teknis budidaya Kentang, karena daerah itu memang sudah sejak lama dikenal sebagai sentra produksi Kentang di Jawa Barat. Dengan dukungan teknis dari Dinas Pertanian, kiprah Athaullah dalam mengembangkan komoditi Kentang di daerah ini mulia terlihat hasilnya, puluhan bahkan ratusan hektar tanaman kentang yang kemudian berkembang di daerah Atu Lintang saat ini, tidak terlepas dari pengenalan terhadap komoditi ini kepada petani oleh Athaullah dan rekan-rekan penyuluh lainnya. Ilmu yang dia peroleh dari Pengalengan kemudian dia “transfer” kepada para petani di Dataran Tinggi Gayo, sampai akhirnya komoditi ini “menjelma” sebagai salah satu komoditi pertanian unggulan di daerah ini.
Sebagai seorang penyuluh tentu saja Athaullah tidak boleh berhenti pada satu komoditi saja dalam aktifitas kepenyuluhannya, dia juga mulai “merambah” komodti lainnya seperti Tomat, Cabe, Padi, Jagung dan komoditi dominan lainnya di wilayah binaannya. Dia juga memperkenalkan budidaya Jamur Tiram kepada petani setelah memperoleh ilmu tentang budidaya komoditi tersebut dari Balai Pelatihan Pertanian (Bapeltan) Jambi. Sambil terus menekuni profesinya sebagai penyuluh, Atha yang hanya bermodal ijazah SLTA ketika diangkat sebagai pegawai negeri sipil, kemudian juga berupaya meningkatkan karirnya dengan mengikuti kuliah di fakultas Pertanian Universitas Gajah Putih yang akhirnya mampu dia selesaikan pada tahun 2012 yang lalu.
Melihat potensi dan kapasitas Athaullah yang boleh dibilang “memuaskan”, kemudian Kepala Badan Penyuluhan setempat mempercayakan jabatan Koordinator Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Bebesen kepadanya pada tahun 2014 yang lalu. Meski beban dan tanggung jawabnya bertambah dengan jabatan itu, tapi itu tidak mengurangi aktifitas Atha ke lapangan. Kebetulan salah satu wilayah kerja BP3K Bebesen yaitu kawasan Pantan Terong, beberapa tahun yang lalu sudah ditetapkan sebagai kawasan agrowisata, maka kedudukannya sebagai Koordinator BP3K dianggapnya sebagai “kendaraan” untuk ikut berpartisipasi aktif dalam membangun dan mengembangkan kawasan agrowisata andalan pemerintah kabupaten Aceh Tengah itu. Melalui beberapa kelompok tani di wilayah itu, Atha kemudian mulai mengembangkan komoditi kentang, komoditi yang memang sudah jadi “spesialisasi”nya itu di daerah yang agrokilimatnya mirip dengan daerah Dieng di Wonosobo itu.
Hanya dalam beberapa bulan saja, areal yang selama ini terlantar sudah berubah menjadi hamparan kebun kentang yang menghijau. Kiprah Atha kebetulan juga mendapat dukungan dari instansi teknis Dinas pertanian yang kemudian mengalokasikan bantuan bibit dan sarana produksi lainnya kepada kelompok tani di wilayah itu. Ibarat “pucuk dicinta ulampun tiba”, kiprah Atha dan jajaran penyuluhnya di kecamatan Bebesen, tidak sia-sia. Kalau sekarang para wiasatawan mengunjungi kawasan puncak Pantan Terong, selain bisa memandang keindahan Danau laut tawar dari kejauhan, juga akan disuguhi pemandangan hijaunya hamparan tanaman kentang di atas bukit itu, sebuah pemandangan yang menakjubkan tentunya bagi para pecinta wisata agro. Bukan itu saja, sepanjang jalan menuju daerah mirip kawasan Puncak, Bogor itu, berbagai tanaman hortikultura seperti Kol, Wortel, Tomat dan Cabe juga “menghiasi” kebun petani disana. Semangat petani di kawasan itu untu mengembangkan berbagai komoditi hortikultura itu juga tidak terlepas dari motivasi yang dilakukan oleh Athaullah dan teman-temannya.
Perkembangan teknologi pertanian yang selalu bergerak dinamis, menuntuk seorang penyuluh pertanian untuk terus belajar dan menimba pengalaman. Dan itulah yang dilakukan oleh Athaullah, meski ilmu dan pengalamannya sudah lumayan “mumpuni”, tapi dia tidak pernah berhenti untuk belajar, itulah sebabnya dia terlihat bersemangat ketika diberi peluang untuk mengikuti diklat, seperti yang baru-baru ini dia ikuti di Balai Pelatihan Pertanian (Bapeltan) Jambi selama hampir tiga minggu. Meski melelahkan, tapi Atha tetap terlihat antusias menyimak pembelajaran dari para Widya Iswara dib alai pelatihan milik Kementerian Pertanian itu.
Baru dua hari kembali dari Jambi, Atha kembali harus berangkat mengikuti Diklat Manajemen BP3K yang diselenggarakan oleh Pusat Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Pertanian (PPMKP) Ciawi. Karena Diklat itu “wajib” dikuti oleh semua Koordinator BP3K, maka Athaullah harus mengesampingkan kelelahannya, bersama beberapa koordinator BP3K lainnya, dia kemudian mengikuti Diklat selama seminggu itu di Balai Diklat Pertanian Saree. Meski harus “melawan” rasa lelahnya, Atha merasa bersyukur dapat mengikuti Diklat terebut, karena banyak manfaat yang dia peroleh dari kegiatan itu untuk mendukung aktifitasnya mengelola BP3K dan memenej para penyuluh yang berada di wilayah kerjanya. Untuk urusan menimba ilmu, Atha memang penyuluh yang nyaris tidak mengenal waktu, karena dia sadar bahwa perkembangan teknologi pertanian bergerak secara dinamis, dan sebagai seorang penyuluh dia harus siap untuk mengantisipasinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H