Tak puas dengan ilmu dan pengalaman yang dimilikinya, Athaullah kemudian sempat menimba ilmu ke Pengalengan, Jawa Barat, khusus untuk belajar tentang teknis budidaya Kentang, karena daerah itu memang sudah sejak lama dikenal sebagai sentra produksi Kentang di Jawa Barat. Dengan dukungan teknis dari Dinas Pertanian, kiprah Athaullah dalam mengembangkan komoditi Kentang di daerah ini mulia terlihat hasilnya, puluhan bahkan ratusan hektar tanaman kentang yang kemudian berkembang di daerah Atu Lintang saat ini, tidak terlepas dari pengenalan terhadap komoditi ini kepada petani oleh Athaullah dan rekan-rekan penyuluh lainnya. Ilmu yang dia peroleh dari Pengalengan kemudian dia “transfer” kepada para petani di Dataran Tinggi Gayo, sampai akhirnya komoditi ini “menjelma” sebagai salah satu komoditi pertanian unggulan di daerah ini.
Sebagai seorang penyuluh tentu saja Athaullah tidak boleh berhenti pada satu komoditi saja dalam aktifitas kepenyuluhannya, dia juga mulai “merambah” komodti lainnya seperti Tomat, Cabe, Padi, Jagung dan komoditi dominan lainnya di wilayah binaannya. Dia juga memperkenalkan budidaya Jamur Tiram kepada petani setelah memperoleh ilmu tentang budidaya komoditi tersebut dari Balai Pelatihan Pertanian (Bapeltan) Jambi. Sambil terus menekuni profesinya sebagai penyuluh, Atha yang hanya bermodal ijazah SLTA ketika diangkat sebagai pegawai negeri sipil, kemudian juga berupaya meningkatkan karirnya dengan mengikuti kuliah di fakultas Pertanian Universitas Gajah Putih yang akhirnya mampu dia selesaikan pada tahun 2012 yang lalu.
Melihat potensi dan kapasitas Athaullah yang boleh dibilang “memuaskan”, kemudian Kepala Badan Penyuluhan setempat mempercayakan jabatan Koordinator Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Bebesen kepadanya pada tahun 2014 yang lalu. Meski beban dan tanggung jawabnya bertambah dengan jabatan itu, tapi itu tidak mengurangi aktifitas Atha ke lapangan. Kebetulan salah satu wilayah kerja BP3K Bebesen yaitu kawasan Pantan Terong, beberapa tahun yang lalu sudah ditetapkan sebagai kawasan agrowisata, maka kedudukannya sebagai Koordinator BP3K dianggapnya sebagai “kendaraan” untuk ikut berpartisipasi aktif dalam membangun dan mengembangkan kawasan agrowisata andalan pemerintah kabupaten Aceh Tengah itu. Melalui beberapa kelompok tani di wilayah itu, Atha kemudian mulai mengembangkan komoditi kentang, komoditi yang memang sudah jadi “spesialisasi”nya itu di daerah yang agrokilimatnya mirip dengan daerah Dieng di Wonosobo itu.
Hanya dalam beberapa bulan saja, areal yang selama ini terlantar sudah berubah menjadi hamparan kebun kentang yang menghijau. Kiprah Atha kebetulan juga mendapat dukungan dari instansi teknis Dinas pertanian yang kemudian mengalokasikan bantuan bibit dan sarana produksi lainnya kepada kelompok tani di wilayah itu. Ibarat “pucuk dicinta ulampun tiba”, kiprah Atha dan jajaran penyuluhnya di kecamatan Bebesen, tidak sia-sia. Kalau sekarang para wiasatawan mengunjungi kawasan puncak Pantan Terong, selain bisa memandang keindahan Danau laut tawar dari kejauhan, juga akan disuguhi pemandangan hijaunya hamparan tanaman kentang di atas bukit itu, sebuah pemandangan yang menakjubkan tentunya bagi para pecinta wisata agro. Bukan itu saja, sepanjang jalan menuju daerah mirip kawasan Puncak, Bogor itu, berbagai tanaman hortikultura seperti Kol, Wortel, Tomat dan Cabe juga “menghiasi” kebun petani disana. Semangat petani di kawasan itu untu mengembangkan berbagai komoditi hortikultura itu juga tidak terlepas dari motivasi yang dilakukan oleh Athaullah dan teman-temannya.
Perkembangan teknologi pertanian yang selalu bergerak dinamis, menuntuk seorang penyuluh pertanian untuk terus belajar dan menimba pengalaman. Dan itulah yang dilakukan oleh Athaullah, meski ilmu dan pengalamannya sudah lumayan “mumpuni”, tapi dia tidak pernah berhenti untuk belajar, itulah sebabnya dia terlihat bersemangat ketika diberi peluang untuk mengikuti diklat, seperti yang baru-baru ini dia ikuti di Balai Pelatihan Pertanian (Bapeltan) Jambi selama hampir tiga minggu. Meski melelahkan, tapi Atha tetap terlihat antusias menyimak pembelajaran dari para Widya Iswara dib alai pelatihan milik Kementerian Pertanian itu.
Baru dua hari kembali dari Jambi, Atha kembali harus berangkat mengikuti Diklat Manajemen BP3K yang diselenggarakan oleh Pusat Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Pertanian (PPMKP) Ciawi. Karena Diklat itu “wajib” dikuti oleh semua Koordinator BP3K, maka Athaullah harus mengesampingkan kelelahannya, bersama beberapa koordinator BP3K lainnya, dia kemudian mengikuti Diklat selama seminggu itu di Balai Diklat Pertanian Saree. Meski harus “melawan” rasa lelahnya, Atha merasa bersyukur dapat mengikuti Diklat terebut, karena banyak manfaat yang dia peroleh dari kegiatan itu untuk mendukung aktifitasnya mengelola BP3K dan memenej para penyuluh yang berada di wilayah kerjanya. Untuk urusan menimba ilmu, Atha memang penyuluh yang nyaris tidak mengenal waktu, karena dia sadar bahwa perkembangan teknologi pertanian bergerak secara dinamis, dan sebagai seorang penyuluh dia harus siap untuk mengantisipasinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H