Gambar 1, Pengolahan Pupuk Organik Oleh Para Penyuluh di BP3K Celala (Doc. Forum Penyuluh)
Regulasi bersama antara negara-negara Asia Tenggara yang kemudian tertuang dalam kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEANEconomic Community (AEC), membuka peluang terjadinya persaingan yang sangat ketat dalam perdagangan komoditi atau produk yang dihasilkan oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk produk pertanian. Persaingan yang ketat dan semakin bebasnya produk suatu negara beredar di negara lainnya kemudian menuntut kompetensi dalam bidang kualitas atau mutu produk. Untuk produk pertanian sendiri, kompetensi mutu itu juga mengharuskan setiap produk pertanian khususnya komoditi tanaman pangan dan hortikultura yang dihasilkan adalah produk organik yang aman untuk dikonsumsi. Karena tren “back to nature” memang saat ini sudah menjadi sebuah keniscayaan, sehingga produk-produk pertanian yang masih menggunakan bahan anorganik secara berlebihan, sudah bisa dipastikan akan “kalah” di pasar MEA. Seperti kita ketahui bahwa Negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Thailand, Vietnam dan Philipina, saat ini juga sedang memacu usaha pertanian organik mereka, kalau kita lalai, maka produk pertanian kita bukan tidak mungkin akan “tergilas” oleh mereka di pasar MEA.
Fenomena seperti ini kemudian mendorong semua pelaku tama dan pelaku usaha di sektor pertanian berlomba untuk menghasilkan produk-produk pertanian organik yang bebas dari kandungan unsure kimia yang meabahayakan baik bagi manusia maupun lingkungan. Salah satu upaya untuk menghasilkan produk pertanian organic yang kemudian banyak digalakkan oleh para pelaku utama dan pelaku usaha, adalah memasyarakatkan kembali penggunaan pupuk organik dalam menjalankan usaha tani.
Gerakan “kembali ke alam” yang ramah lingkungan inilah yang kemudian juga “disahuti” oleh para penyuluh pertanian yang selama ini memang terkait erat dengan pembinaan petani atau yang sering disebut dengan pelaku utama sector pertanian. Peran penyuluh untuk mensosialisaskan penggunaan bahan-bahan organic dalam usaha tani, menjadi sangat penting, karena para petani di perdesaan umumnya kan mengikuti apa yang disarankan oleh penyuluh-penyuluh pertanian di wilayah mereka, apalagi kalo sosialisasi itu juga diiringi dengan gerakan konkrit, bukan sekedar omdo (omong doang).
Di dataran tinggi Gayo sendiri, gerakan back to nature sudah cukup lama diterapkan, pada komoditi kopi misalnya, para petani sekarang cenderung untuk memproduksi kopi organik. Selain harganya di pasaran bisa lebih tinggi dan tentunya sangat menguntungkan petani, kopi organik yang dihasilkan oleh para petani gayo, akhirnya mampu “melambungkan” kopi Gayo sebagai kopi terbaik dan termahal di dunia. Demikian juga dalam budidaya atau usaha tani tanaman pangan dan hortikultura, para petani secara perlahan juga sudah mulai mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia dalam aktifitas usaha tani mereka.
Menyahuti fenomena yang sekarang memang sudah jadi tuntutan pasar itu, para penyuluh pertanian di Kabupaten Aceh Tengah juga tidak tinggal diam, mereka mulai mensosialisasikan penggunaan pupuk organik kepada petani. Bukan sekedar himbauan, tapi para penyuluh itu kemudian “terjun langsung” untuk mengajari petani membuata pupuk organik sendiri, selain biaya pembuatannya yang sangat mudah karena bahan baku pembuatan pupuk organik itu bisa didapatkan disekitar lahan pertanian, penggunaan pupuk organik juga bisa menekan biasa produksi para petani, karena pupuk organik jauh lebih murah dibandingkan dengan pupuk kimia buatan pabrik. Penggunaan pupuk organik juga bisa menjadi solusi untuk mengatasi kelangkaan pupuk yang belakangan sering terjadi di daerah ini.
Seperti yang dilakukan oleh Sudarmi, SP, Koordinator Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Celala baru-baru ini. Sudarmi bersama jajaran penyuluh di wilayah kerjanya, “mendemonstrasikan” cara pembuatan pupuk organic jenis bokashi di areal BP3K Celala, proses pembuatan pupuk bokashi yang menggunakan bahan baku utama berupa sekam padi, limbah kulit kopi atau limbah pertanian lainnya dan limbah kotoran ternak itu diharapkan akan dicontoh dan dilakukan oleh para petani di kacamatan Celala dan sekitarnya.
Pembuatan pupuk organik bokashi ini prosesnya sebenarnya sangat sederhana, bahan baku berupa sekam padi, kulit kopi dicampur dengan limbah atau kotoran ternak kemudian ditambahkan sedikit gula pasir atau gula merah dan activator berupa EM4 yang mengandung mikroba laktogen agar proses penguraian limbah menjadi pupuk bisa lebih cepat.
Setelah semua bahan tercampur dengan baik, kemudian difermentasikan dengan cara dibungkus atau ditutup dengan plastik, terpal atau dimasukkan ke dalam drum yang kemudian ditutup rapat, jika proses fermentasi berjalan dengan baik, maka 10 – 12 hari hari atau paling lama dua minggu kemudian, pupuk tersebut sudah jadi dan siap digunakan untuk memupuk tanaman.
Wilayah kecamatan Celala merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Aceh Tengah dengan potensi lahan pertanian yang cukup luas dengan beragam komoditi pertanian yang bisa dikembangkan disini. Lahan sawah di wilayah kecamatan ini mencapai hampir 1000 hektar, ditambah lagi lahan perkebunan kopi dan hortikultura yang juga tidak sedikit. Luasnya lahan pertanian milik petani itu, tentu membutuhkan penggunaan pupuk dalam jumlah yang banyak juga, jika petani hanya menggunakan pupuk kimia buatan pabrik, biaya produksi akan meningkat dan berarti mengurangi profit margin, Maka penggunaan pupuk oragnik seperti yang dicontohakan oleh Sudarmi dan kawan-kawan, adalah solusi tepat untuk menekan biaya produksi bagi petani, selain akan melipat gandakan keuntungan petani, penggunaan pupuk organik juga ramah lingkungan dan akan menjamin bahwa produk pertanian yang dihasilkan juga akan aman dikonsumsi. Tentu ini akan menjadi kengggulan kompettitif, ketika produk pertanian itu harus bersaing di pasaran dengan produk dari daerah bahkan negara lain, seiring dengan berlakunya MEA tahun 2016 yang sudah diambang pintu.