Adzan jum’at sudah berkumandang di masjid di desa itu, kami segera break untuk sholat Jum’at, dan usai sholat Jum’at, aku mengajak rombongan untuk menikmati makan siang di lsehan ikan bakar tak jauh dari lokasi syuting, hidangan khas ikan mujahir bakar, ikan “masam jing” (ikan asam pedas, masakan khas Gayo), sayur daun jipang ditambah sambal terong belanda begitu menggugah selera kami, apalagi setelah berpanas-panasan di lokasi syuting beberapa jam, membuat kami seperti “kelaparan”, semua hidangan nyaris ludes. Seperti kebiasaan di daerah Gayo, makan siang terasa tidak sempurnya tanpa kehadiran segelas kopi, maka usai menyantap hidangan makan siang, segelas kopi gayo segera “membuai” kami.
Usai menikmati makan siang plus menyeruput kopi gayo yang begitu nikmat, kami nggak bisa bersantai-santai, karena masih banyak agenda syuting yang harus diselesaikan, kami segera meluncur ke lokasi lainnya, tujuan kami adalah desa Bies, sekitar 10 kilometer dari kota Takengon, adegan yang akan di ambil di lokasi itu adalah adegan pertemuan penyuluh dan petani dilanjutkan dengan adegan aplikasi pupuk organik buatan edi di kebun kopi. Beruntung, koordinasiku dengan teman-teman di lapangan sangat lancar, nggak perlu pake nunggu, sekitar tiga puluhan penyuluh dan puluhan petani sudah bersiap disana. Kembali aku didaulat jadi “sutradara” untuk mengarahkan mereka sebelum pengambilan gambar, dan lagi-lagi komunikasiku dala bahasa Gayo membuat semuanya jadi lancar-lancar saja.
Acara pertemuan terlihat begitu wajar tanpa rekayasa, begitu juga ketika pengambilan gambar di kebun kopi, semuanya tanpa pengulangan. Sesi wawancara dengan kepala Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan, Sabilul Rasyid, juga lancar-lancar saja setelah sedikit kuberikan arahan, begitu juga wawancara dengan Masna Manurung, penyuluh yang banyak tau tentang seluk beluk kandungan pupuk organik juga tanpa kendala. Kulihat wajah mas pri dan kru SCTV lainnya berbinar, sepertinya mereka puas dengan kerja hari ini, sampai menjelang maghrib, kami baru meninggalkan lokasi.
Jum’at malam tidak ada agenda apapun, akupun bisa memanfaatkannya untuk beristirahat memulihkan tenaga untuk menyimpan “energi’ sebagai persiapan syuting hari kedua. Paginya aku sudah merasa fit kembali, meski badan masih agak tersa pegal-pegal juga, kembali aku meluncur ke hotel untuk “menyatroni” mas Pri dan krunya. Kulihat mas Pri sudah selesai mandi dan nampak “fresh” meski terlihat kedinginan karena memang dia belum terbiasa dengan hawa dingin yang selalu menyelimuti kota Takengon. Agenda hari kedua adalah syuting adegan Edi mengumpulkan limbah buah-buahan yang banyak berserakan di pasar Paya Ilang, pasar sayur dan buah terbesar di kota Takengon. Kami segera meluncur ke rumah Edi yang hanya bebberapa ratus meter dari hotel, disana Edi sudah stand by dengan becak motornya untuk memungut “sampah” buah di pasar. Tanpa buang waktu mas pri yang sudah siap dengan kameranya segera nangkring di becak mengikuti Edi, sementara aku bersama kru SCTV lainnya “membututi” mereka dengan mobil.
Menjelang sore, saat break terakhir, kami kedatangan Winiardi, seorang penyuluh pertanian di kabupaten Bener Meriah, kabupaten tetangga Aceh Tengah. Winiardi yang sosoknya juga pernah ku angkat dalam tulisanku di Kompasiana itu sengaja datang untuk memberikan oleh-oleh buat kru SCTV berupa bubuk kopi Gayo Specialty hasil olahannya sendiri, kebetulan dia tahu kalo aku lagi ada kegiatan syuting dari gambar yang ku upload di akun facebookku. Win, begitu dia akrab disapa, selain seorang penyuluh pertanian, juga punya usaha sampingan yaitu memproduksi bubuk kopi arabika Gayo dengan merk dagang “John Coffee”, dia memasarkan produksinya tidak hanya dengan cara konvensional tapi juga memasarkannya secara online (baca Kompasiana “Winiardi, Penyuluh Pertanian Yang Komit Mempromosikan Kopi Gayo”). Mas Pri dan kru SCTV terlihat antusiasmendapat oleh-oleh itu, dia juga berjanji kepada Winiardi untuk ikut mempromosikan kopi gayo yang diproduksi oleh temanku itu.
Melepaskan lelah sambil menikmati kopi malamku di rumah, aku berucap syukur padaNya, karena diluar dugaanku, aku yang masih “hijau” dalam dunia tulis menulis, ternyata sudah mendapat respons yang menurutku sangat luar biasa ini. Bayangkan, belum genap setahun aku bergabung dengan teman-teman di Kompasiana, sudah ada broadcast yang tertarik untuk mengangkat tulisanku ke layar kaca, padahal aku sendiri menyadari kalo tulisan-tulisanku di kompasiana masih “biasa-biasa” saja, karena ku akui kalo aku ini masih belajar dari para kompasianer senior. Aku benar-benar nggak menyangka kalo tulisanku akhirnya bisa nangkring di televisi secepat ini, semua ini tidak terlepas dari eksistensi Kompasiana yang sudah mendapat pengakuan dari publik.
Aku merasa bangga bisa menjadi bagian dari Kompasiana, meski kua akui kontribusiku masih sangat kecil, tapi pengalaman dua hari kemarin bersama SCTV telah membuktikan, karena Kompasiana, tulisanku terangkat di layar kaca, terima kasih Kompasianaku, terima kasih “guru”ku Syukri Muhammad Syukri, terima kasih SCTV, terima kasih teman-teman wartawan dan terima kasih juga teman-teman penyuluh dan petani Gayo tercinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H