Agak terkejut juga aku ketika mas Bambang Prihandoyo, kru program “Multi Talenta” SCTV menghubungiku via telepon seminggu yang lalu, rupanya dia mendapatkan nomor hapeku dari seorang temanku yang kebetulan seorang wartawan di salah satu media lokal. Setelah memperkenalkan dirinya, mas Pri, panggilan akrab awak senior di SCTV itu menyatakan akan mengangkat salah satu tulisanku di Kompasiana, aku agak bingung juga tulisan yang mana.
Akhirnya mas Pri menjelaskan bahwa tulisanku yang akan di angkat ke layar kaca itu adalah sebuah tulisan yang ku upload di Kompasiana pada bulan Juni 2015 lalu yang bertajuk “ Kreativitas Penyuluh Pertanian Menyulap Limbah Buah Menjadi Pupuk Organik Cair”, salah satu tulisanku yang sempat HL di Kompasiana. Agak “ngeh” juga aku mendengar permintaan mas Pri, aku nggak nyangka sama sekali kalo tulisanku bakal di angkat ke layar kaca, karena belum genap setahun aku bergabung di Kompasiana dan belum begitu banyak tulisanku yang nangkring di media warga ini.
Rupanya di “mata” mas Pri, sosok Edi Wahyuni yang aku angkat dalam tulisanku itu dianggap sosok inspiratif yang layak untuk dipublikasikan melalui media lektronik, dan SCTV yang memang konsens menayangkan sosok-sosok inspriratif dari seluruh pelosok negeri ini melalui tayangan “Multi Talenta” itu, menganggap tulisanku “layak tayang”. Selanjutnya mas Pri memberi aba-aba kalo sekitar dua minggu lagi kru SCTV akan melakukan syuting sekaligus memintaku untuk membantu pelaksanaan syuting untuk tayangan “bergengsi” itu, tanpa pikir panjang lagi aku segera mengiyakan permintaan mas Pri. Segera ku hubungi Edi Wahyuni, sosok yang ku angkat dalam tulisan yang “dilirik” salah satu stasiun televisi nasional itu, dan Edi menyambutnya dengan sangat antusias, ada raut kebanggaan di wajahnya ketika kusampaikan permintaan mas Pri.
Tiga hari setelah mas Pri menelponku, kesibukanku di kantor benar-benar padat, sampai-sampai aku nggak ingat “janjiku’ sama mas Pri, toh masih dua minggu lagi kru televisi itu akan datang ke kotaku Takengon, pikirku, masih ada waktu beberapa hari lagi untuk menyiapkan segala sesuatunya. Akupun segera “tenggelam” dalam kesibukanku menggelar dua pelatihan bagi 60 orang petani dari seluruh wilayah kabupaten Aceh Tengah selama 5 hari full, selama lima hari itu aku nyaris tidak punya kesempatan untuk melakukan aktifitas lain, semua energiku nyaris terkuras untuk mengurusi kegiatan yang memang jadi tugas pokokku itu, berangkat pagi-pagi sekali dan pulang menjelang malam, seluruh rangkaian kegiatan pelatihan mulai dari menghubungi nara sumber dan pemateri, menyiapkan perlengkapan peserta, mengurus konsumsi sampai menyelesaikan administrasi pelatihan harus aku “handle”, beruntung beberapa stafku membantu all out kegiatan ini. Semua aku lakukan, karena sebagai “pelayan” petani, aku tidak ingin para petani yang ikut pelatihan kecewa dengan pelayanan pelatihan yang aku berikan.
Baru saja usai acara penutupan pelatihan Kamis sore (17/09/2015) yang lalu, mas Pri menghubungiku kembali, dia bilang kalo dia bersama kru sudah dalam perjalanan menuju Takengon. Meski agak terkejut mendengar kedatangan kru SCTV yang tiba-tiba dimajukan itu, aku tetap ingin menunjukkan keproesionalanku, tanpa ragu kunyatakan kesiapanku membantu kelancaran syuting. Untungnya aku sudah sempat menghubungi beberapa teman penyuluh di lapangan untuk menyiapkan lokasi syuting sesuai perintaan kru SCTV, jadi aku nggak perlu pusing-pusing untuk hunting lokasi, karena semua lokasi yang ditunjukkan oleh teman-teman sudah aku ketahui secara detil.
Rasa letih dan penat masih sangat kurasakan usai melaksanakan dua pelatihan bagi para petani itu selama lima hari, tapi nampaknya “tugas berat” baru sudah menunggu. Dan benar saja, baru saja kuhempaskan badanku ke kursi ruang keluargaku, mas Pri yang ternyata sudah nyampe di kota dingin memintaku untuk datang ke hotel untuk bincang-bincang persiapan syuting keesokan harinya. Hanya sempat berganti pakaian , sholat magrib dan menyeruput beberapa teguk kopi, aku segera “meluncur” ke hotel tempat mas Pri dan kru SCTV menginap, sampai disana Edi Wahyuni ternyata sudah bergabung bersama mereka. Biar suasana lebih santai dan akrab, aku mengajak mereka ke sebuah kafe tidak jauh dari hotel.
Benar saja, suasana pertemuan perdanaku dengan awak broadcast itu menjadi lebih rilek dan akrab, apalagi expresso gayo coffee yang dihidangkan oleh pelayan kafe itu terasa begitu luar biasa, mas Pri yang baru pertama kali menikmati kopi gayo terbaik itu terlihat begitu menikmati sensasi ngopi malam itu. Suasana bertambah hangat ketika beberapa rekan wartawan juga ikut bergabung bersama kami, apalagi “guru”ku di Kompasiana, pak Syukri Muhammad Syukri, kemudian juga ikut bergabung setelah ku hubungi melalui hapenya.
Begitu asyiknya perbincangan malam itu, tidak terasa waktu merambat begitu cepat, hampir jam 00.00 tapi sepertinya topik pembicaraan belum usai, selain membicarakan persiapan lokasi dan responden, pembicaraan pun “melebar” kemana-mana, dan sambil berbincang aku terus “memonitor” kesiapan lokasi kepada teman-teman di lapangan melalui telepon seluler, cukup lega karena teman-teman sudah menyiapkan segala sesuatunya di lapangan. Mas Pri yang baru nyampe dari perjalanan jauh dari Jakarta pun tidak terlihat capek, dia masih bersemangat melanjutkan obrolan tengah malam itu, kami baru bubar dari kafe sekitar jam 01.00 dini hari.
Jum’at pagi (18/09/2015) jam 08.00 aku sudah stand by di hotel bersama pimpnan kantorku, mas Pri dan krunya cuga sudah siap dengan perlengkapan syutingnya, hanya Edi yang hari itu bakalan jadi “aktor” lapngan yang nampak sedikit nerveus. Kami segera meluncur ke lokasi pertama di desa Pedemun, sebuah desa yag terletak di pinggiran danau Laut Tawar, disana pak Husaini, coordinator penyuluh bersama beberapa orang penyuluh sudah menunggu di lokasi, beberapa orang petani juga sudah stand by menunggu kedatangan kami. Tanpa buang waktu, kamipun segera menuju lokasi syuting yang tidak lain lahan pertanian milik petani setempat, sebuah keberuntungan lagi di lahan pertanian itu sedang dibudidayakan beberapa jenis tanaman seperti bawang merah, kol, tomat, mentimun dan beberapa jenis tanaman lainnya, ada juga lahan yang baru selesai di olah dan siap untuk ditanami. Mas Pri terlihat puas dengan “property” lahan yang telah disiapkan teman-teman,
“Perfect mas Fathan” kata mas Pri,
Adzan jum’at sudah berkumandang di masjid di desa itu, kami segera break untuk sholat Jum’at, dan usai sholat Jum’at, aku mengajak rombongan untuk menikmati makan siang di lsehan ikan bakar tak jauh dari lokasi syuting, hidangan khas ikan mujahir bakar, ikan “masam jing” (ikan asam pedas, masakan khas Gayo), sayur daun jipang ditambah sambal terong belanda begitu menggugah selera kami, apalagi setelah berpanas-panasan di lokasi syuting beberapa jam, membuat kami seperti “kelaparan”, semua hidangan nyaris ludes. Seperti kebiasaan di daerah Gayo, makan siang terasa tidak sempurnya tanpa kehadiran segelas kopi, maka usai menyantap hidangan makan siang, segelas kopi gayo segera “membuai” kami.
Usai menikmati makan siang plus menyeruput kopi gayo yang begitu nikmat, kami nggak bisa bersantai-santai, karena masih banyak agenda syuting yang harus diselesaikan, kami segera meluncur ke lokasi lainnya, tujuan kami adalah desa Bies, sekitar 10 kilometer dari kota Takengon, adegan yang akan di ambil di lokasi itu adalah adegan pertemuan penyuluh dan petani dilanjutkan dengan adegan aplikasi pupuk organik buatan edi di kebun kopi. Beruntung, koordinasiku dengan teman-teman di lapangan sangat lancar, nggak perlu pake nunggu, sekitar tiga puluhan penyuluh dan puluhan petani sudah bersiap disana. Kembali aku didaulat jadi “sutradara” untuk mengarahkan mereka sebelum pengambilan gambar, dan lagi-lagi komunikasiku dala bahasa Gayo membuat semuanya jadi lancar-lancar saja.
Acara pertemuan terlihat begitu wajar tanpa rekayasa, begitu juga ketika pengambilan gambar di kebun kopi, semuanya tanpa pengulangan. Sesi wawancara dengan kepala Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan, Sabilul Rasyid, juga lancar-lancar saja setelah sedikit kuberikan arahan, begitu juga wawancara dengan Masna Manurung, penyuluh yang banyak tau tentang seluk beluk kandungan pupuk organik juga tanpa kendala. Kulihat wajah mas pri dan kru SCTV lainnya berbinar, sepertinya mereka puas dengan kerja hari ini, sampai menjelang maghrib, kami baru meninggalkan lokasi.
Jum’at malam tidak ada agenda apapun, akupun bisa memanfaatkannya untuk beristirahat memulihkan tenaga untuk menyimpan “energi’ sebagai persiapan syuting hari kedua. Paginya aku sudah merasa fit kembali, meski badan masih agak tersa pegal-pegal juga, kembali aku meluncur ke hotel untuk “menyatroni” mas Pri dan krunya. Kulihat mas Pri sudah selesai mandi dan nampak “fresh” meski terlihat kedinginan karena memang dia belum terbiasa dengan hawa dingin yang selalu menyelimuti kota Takengon. Agenda hari kedua adalah syuting adegan Edi mengumpulkan limbah buah-buahan yang banyak berserakan di pasar Paya Ilang, pasar sayur dan buah terbesar di kota Takengon. Kami segera meluncur ke rumah Edi yang hanya bebberapa ratus meter dari hotel, disana Edi sudah stand by dengan becak motornya untuk memungut “sampah” buah di pasar. Tanpa buang waktu mas pri yang sudah siap dengan kameranya segera nangkring di becak mengikuti Edi, sementara aku bersama kru SCTV lainnya “membututi” mereka dengan mobil.
Menjelang sore, saat break terakhir, kami kedatangan Winiardi, seorang penyuluh pertanian di kabupaten Bener Meriah, kabupaten tetangga Aceh Tengah. Winiardi yang sosoknya juga pernah ku angkat dalam tulisanku di Kompasiana itu sengaja datang untuk memberikan oleh-oleh buat kru SCTV berupa bubuk kopi Gayo Specialty hasil olahannya sendiri, kebetulan dia tahu kalo aku lagi ada kegiatan syuting dari gambar yang ku upload di akun facebookku. Win, begitu dia akrab disapa, selain seorang penyuluh pertanian, juga punya usaha sampingan yaitu memproduksi bubuk kopi arabika Gayo dengan merk dagang “John Coffee”, dia memasarkan produksinya tidak hanya dengan cara konvensional tapi juga memasarkannya secara online (baca Kompasiana “Winiardi, Penyuluh Pertanian Yang Komit Mempromosikan Kopi Gayo”). Mas Pri dan kru SCTV terlihat antusiasmendapat oleh-oleh itu, dia juga berjanji kepada Winiardi untuk ikut mempromosikan kopi gayo yang diproduksi oleh temanku itu.
Melepaskan lelah sambil menikmati kopi malamku di rumah, aku berucap syukur padaNya, karena diluar dugaanku, aku yang masih “hijau” dalam dunia tulis menulis, ternyata sudah mendapat respons yang menurutku sangat luar biasa ini. Bayangkan, belum genap setahun aku bergabung dengan teman-teman di Kompasiana, sudah ada broadcast yang tertarik untuk mengangkat tulisanku ke layar kaca, padahal aku sendiri menyadari kalo tulisan-tulisanku di kompasiana masih “biasa-biasa” saja, karena ku akui kalo aku ini masih belajar dari para kompasianer senior. Aku benar-benar nggak menyangka kalo tulisanku akhirnya bisa nangkring di televisi secepat ini, semua ini tidak terlepas dari eksistensi Kompasiana yang sudah mendapat pengakuan dari publik.
Aku merasa bangga bisa menjadi bagian dari Kompasiana, meski kua akui kontribusiku masih sangat kecil, tapi pengalaman dua hari kemarin bersama SCTV telah membuktikan, karena Kompasiana, tulisanku terangkat di layar kaca, terima kasih Kompasianaku, terima kasih “guru”ku Syukri Muhammad Syukri, terima kasih SCTV, terima kasih teman-teman wartawan dan terima kasih juga teman-teman penyuluh dan petani Gayo tercinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H