‘Ayah, siapa yang mendampingi kami menerima rapor?” Tanya La Upe’ mewakili adiknya La Zule’
“Sabar nak, ayah dan ibu juga wali kelas. Kami ditunggu oleh anak didik beserta orang tuanya.” Pa’ Bolong berusaha memberikan alasan yang bisa diterima oleh kedua anak yang butuh didampingi menerima rapornya di sekolah.
“Tapi ayah, ibu wali kelas biasanya tak membagikan rapor pada murid yang tidak ada orang tua atau wali yang mendampinginya. ” La Upe’setengah merengek pada ayahnya.
“Begini Upe’, barusan ayah sudah menghubungi ibu guru wali kelasmu, demikian juga wali kelasnya Zule’ keduanya mengerti dan menerima kalian tanpa pendamping, berangkatlah nak. Begitu urusan ayah dan ibu cepat kelar, kami akan menyusulmu.” Pa’ Bolong menyemangati kedua anaknya dihari penghakiman yang mereka tunggu-tunggu.
Berangkatlah La Upe’ bersama adiknya La Zule’ ke sekolah dengan tentengannya masing-masing. Dengan berjalan kaki, mereka menunju ke sekolah yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Semangat mereka tergambar dari raut muka keduanya. La Upe membawa bungkusan yang isinya sokkoo bolong dan Pao Banjara’. Walaupun La Upe’ enggan dan agak aneh dengan menu tersebut, Ia menerima untuk menyenangkan hati ayahnya. Sementara La Zule’ membawa bingkisan yang berisi sokkoo bolong yang dipadu kelapa parut sangra, ikan teri kering plus cobe’cobe, khas buatan I Cenning. Menu yang dibawa La Zule’ adalah makanan khas Bugis.
Sekolah sudah ramai dengan murid dengan pendampingnya masing-masing. Mereka sudah berkumpul di kelas masing-masing. La Zule’ rautnya menampakkan keresahan. Ada kegelisahan dan kehawatiran yang mendalam, begitu ibu wali kelas membacakan peraih peringkat tiga besar. Kekecewaan tak dapat lagi dibendungnya begitu namanya yang unik tak tersebut lagi. Sedih, kecewa, takut, dan menangis mengiringi langkahnya pulang. Ia tak mempedulikan lagi La Zule’ yang tetap tersenyum walau dapat peringkat nomor sepatu. Ia sedih karena tak dapat mempertahankan prestasi sebelumnya. La Upe’ takut karena tak dapat memenuhi janjinya pada ayah dan ibunya untuk meningkatkan prestasi. La Upe’ menangis karena merasa diolok-olok temannya yang lain. “Ayah dan Ibunya guru, tapi tak dapat rangking”. La Upe’ kecewa karena kesempatan untuk mendapatkan hendphone layar sentuh merek gambar markisa, seperti janji ibunya bila tunjangan sertifikasi cair.
Sebelum siang berada di puncak, Pa’ Bolong dengan I Cenning sudah berkumpul kembali ke rumahnya yang sederhana. Hanya La Zule’ menyambut kedatangan keduanya. Ucapan terima kasih terlontar dari bibir La Zule’ akan beberapa bingkisan yang dibawa pulang oleh I Cenning.
“Sudahlah Upe’, semester ini boleh gagal, boleh kecewa, dan menangis, semester depan adalah milik kita nak. Nilaimu sudah bagus, bahkan jauh lebih bagus dari nilai ayah waktu sekolah dulu. Biarkan saja teman-temanmu yang perempuan berprestasi sekarang. Saat mereka berada di titik jenuh, saat kamu menemukan guru dengan metode yang tepat, ayah sangat yakin engkau semakin bersinar. Kamu mendapat juara harapan pertama di sekolahmu, itu berarti Upe’ adalah harapan kami, harapan guru-gurumu, dan harapan bangsa.” Pa’ Bolong menyemangati La Upe’ dan La Zule’, sambil mendekap keduanya. Ia berbisik pada keduanya “kalian adalah juara, juara dalam mengisi hari-hari kami.”
Pa’ Bolong memang tak memaksakan kedua jagoannya untuk juara atau ranking di sekolah. Memaksakan mereka juara, sama dengan merenggut kebebasan masa kecil mereka, kebebasan untuk bermain dan mengembangkan bakat-bakat terpendam lainnya. Kebebasan bermain bola, bersosialisasi di media sosial online, dan berkumpul dengan teman-teman sebaya menikmati masa muda, masa remaja yang penuh warna dan dinamika. Kebebasan terbatas yang tak pernah dirasakannya semasa kecil.
Pa’ Bolong begitu percaya, bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Pada masanya nanti, kedua anak laki-lakinya akan menggeser dominasi prestasi murid perempuan di kelasnya. Pa, Bolong tetap kukuh dengan pendiriannya, bahwa tidak ada anak yang dilahirkan dalam keadaan bodoh, semua dibekali dengan potensi. Tidak ada anak yang nakal, yang ada adalah mereka yang belajar menjadi berani, belajar menanggung risiko. Berani menanggung risiko adalah karakter yang dibutuhkan dunia nyata. Pa’ Bolong sudah melihat, menyaksikan begitu banyak anak yang sarat dengan prestasi di bangku sekolah, tapi tak bersinar di dunia nyata. Begitu banyak yang bersinar di sekolah, tapi kemudian meredup karena proses yang membuatnya jenuh.
“Hadiahku hangus ayah?” Tanya La Upe’ pada ayahnya yang sementara merapikan dompetnya.