Harapan akan terwujudnya persatuan tertuang dalam Deklarisi Somba Opu, oleh Pemangku Adat Lembaga Adat Kerajaan yang tergabung dalam Komunitas Adat Se-Kabupaten Takalar. Deklarasi yang diperdengarkan kepada majelis dan jamaah maulid, adalah simbol pengakuan Pancasila dan UUD 1945 yang menghendaki persatuan dan kesatuan.
Maulid dan Pelestarian Nilai Luhur
Rasulullah Muhammad SAW adalah tauladan terbaik bagi seluruh ummat manusia. Gelar Al-Amin yang disandangnya selagi masih belia menggambarkan keluhuran budi Rasulullah Muhammad SAW. Keluhuran budi tersebut telah diwariskan dan diteruskan oleh wali-wali Allah di muka bumi. Kerajaan-kerajaan Islam yang tersebar di Nusantara, kaya dengan nilai luhur. Maudu Adaka Ri Sanrobone adalah salah satu cara untuk membumikan kembali sipakainga’ sipakatau, sipakalabbiri’, sipassiriki dan sipaccei. Nilai yang mulai langka, tergerus oleh modernisasi, globalisasi media dan kepentingan politik sesaat.
Perbedaan pilihan, tekanan kebutuhan hidup yang semakin meningkat, biasanya menjadi pemicu gesekan dan konflik horizontal. Budaya sipakatau semakin menipis. Kebebasan berpendapat, atas nama hak azas, penggunaan bahasa dalam berinteraksi dan berkomunikasi tak jarang menanggalkan keluhuran lokalitas. Ini sudah menjangkiti hampir seluruh tingkatan umur, stara ekonomi, serta pangkat dan jabatan.
Korupsi berjamaah merupakan sinyal hilangnya nilai luhur saling mengingatkan. Tawuran antara kelompok, peredaran Narkotika , PSK, adalah patologi sosial yang kian marak di masyarakat, dari kota sampai ke pelosok desa. ini menjadi sinyal dan bukti budaya permisif masyarakat dan menurunnya budaya sipakainga’. Kesemrautan berlalulintas dalam wujud kemacetan di jalanan merupakan fotret hilangnya nilai sipakatau atau saling menghormati. Sipakalebbi tidak sekadar cium tangan, membungkuk, tabe’ yang membudaya dalam hubungan antar-individu, tapi perlu dimasyarakatkan dalam kehidupan bermasyarakat, di jalan, di kantor, dan kehidupan bermasyarakat lainnya.
Hubungan antara anak dan orang tua, antara pemimpin dan yang dipimpin, antara atasan dan bawahan, dan sebaliknya. Atas nama kebebaasan berpendapat, hak azasi untuk berpendapat, banyak di antara kita yang melupakan nilai sipakatau. Penggunaan bahasa yang tidak memuliakan sesame sudah menjadi pemandangan biasa di negeri ini.
Sipaccei dan sipassiriki tergambar dari rasa simpati dan empati terhadap penderitaan sesama. Keadilan sosial baru sebatas slogan. Berbagi untuk Indonesia yang berkeadilan, masih sebatas angan yang belum bisa diwujudkan. Kemiskinan dan kemelaratan adalah fenomena sosial yang sering dieksploitasi oleh media hanya sebagai pencitraan kalangan tertentu untuk meraih dukungan massa.
Sipakalebbi dan sipakatau adalah dua nilai luhur yang penulis saksikan selama kegiatan Maudu Adaka berlansung. Selaku tuan rumah, Raja ke-24 Sanrobone yang tampil dengan pakaian adat kebesaran raja, menerima berbagai kalangan yang datang dengan penuh kelembutan. Penulis yang datang dengan bekal undangan tak resmi, lewat pesan di media sosial mendapat perlakuan yang sama dengan undangan kehormatan lainnya. Apa yang beliau kemukakan pada sambutannya di podium kehormatan dipraktekkan langsung di depan penulis pada kesempatan wawancara empat mata di istananya yang sederhana untuk ukuran istana kerajaan.
Dukungan Pemerintah
Tahun 2009 adalah titik balik bagi eksistensi Kekaraengan Sanrobone. Diprakarsai oleh 5 Galarrang, 1 Paddaengan dan 1 Anrong Guru, yang tergabung dalam Angrong Tau, mengembalikan peran Kekaraengan dalam pelestarian budaya Kerajaan Sanrobone. Anrong Tau membentuk Lembaga adat yang diketuai langsung oleh raja ke-24 Kerajaan Sanrobone, H. Ali Mallombassi Karaeng Nyengka, dari tahun 2009 sampai sekarang. Lembaga tersebut menjadikan Maudu (maulid) sebagai program tahunan. Tahun 2010 adalah Maudu pertama yang berskala kerajaan, setelah vakum sejak tahun 1956 akibat kekacauan dan gangguan keamanan waktu ini.
Lembaga Adat Kerajaan Sanrobone dan bersama tiga lembaga adat kerajaan lainnya yang tergabung dalam Komunitas Lembaga Adat Se-Kabupaten Takalar, selayaknya mendapat apresiasi bukan hanya dari pemerhati budaya. Mereka membutuhkan kehadiran dan dukungan penuh pemerintah setempat, pemerintah propinsi, bahkan Pusat. Dukungan dan legalitas sangat dibutuhkan untuk menggelar berbagai kegiatan tidak saja pengenalan adat dan budaya lokal yang sudah mulai ditinggalkan akibat penetrasi budaya luar. Karakter bangsa yang bersumber dari keluhuran lokal, harus diangkat kembali. Karakter yang oleh pakar dan sosiolog setempat, dianggap dapat menjadi kemudi bagi generasi dalam membangun bangsa dan negara.