MUHALIS BEBANG (Guru SMP Negeri 36 Makassar)
Putih…..aku memilihmu menemani perjalanku sore ini bukan karena selera dan citra. Putih memang mencitrakan keanggunan dan kebersihan, Putih. Selera masyarakat kita sekarang dominan warna putih. Di jalan-jalan mobil dan motor banyak yang berwarna putih, handphone warna putih, para pememimpin kita juga suka mengenakan baju warna putih. Putih, aku belum mampu memanjakanmu dengan roda empat yang berwarna putih, saat ini kita akan menembus cuaca yang sepertinya kurang bersahabat, hanya dengan roda dua yang sesaui dengan kemampuan kita.
Begitu sabuk pengaman dikencangkan, Engkau rebahkan tubuh dengan manja di kedua pahaku. Engkau begitu bersemangat saat kubisikkan padamu, bahwa kita akan melewati tempat yang eksotik di pesisir selatan Sulawesi selatan. Sepertinya Engkau telah siap dengan perjalanan kita sore ini menembus mendung yang sedari tadi menggelayut. Aku tahu engkau begitu takut dengan hujan. Saya juga tahu engkau lebih takut dengan banjir yang senantiasa datang setiap musim hujan. Banjir yang setia menyapa ketidakpedulian manusia pada lingkungannya. Seperti ketidakpedulian warga untuk membersihkan, menjaga drainasenya masing-masing.
Sesaat sebelum kendaraan yang akan membawa kita ke Makassar melaju, engkau berteriak dengan kencang seakan memproklamirkan pada sekitarmu, pada teman-temanmu, pada rerumputan yang mulai menghijau, pada pucuk-pucuk lamtoro, bahwa kita akan berpisah. Sepertinya engkau mau berpesan pada mereka yang telah menemanimu melukis waktu, “jaga kebersihan Sanrobone, jaga kerukunan dan keamanan, meskipun selama ini kita beda pilihan”.
Putih, semangat kedaerahanmu begitu tinggi, Engkau begitu cinta dengan budaya lokal warisan leluhurmu. Mungkinkah semangat juang yang engkau tunjukkan dalam kebersamaan kita warisan tokoh besar daerah ini Karaeng Galesong. Beliau adalah kebanggaan masyarakat Kabupaten Takalar dan Sulawesi Selatan pada umumnya. Karaeng Galesong Nasionalis sejati, tidak hanya memikirkan dan mementingkan etnisitas dan kesukuannya.
I Mannindori I Karaeng Tojeng adalah sebutan lain untuk Karaeng Galesong. Ia putera pejuang dan pahlawan nasional, Sultan Hasanuddin, Ayam Jantan dari Timur. Karaeng Galesong yang lahir 29 Maret 1655, “memberikan bukti bahwa orang Sulawesi Selatan bisa jadi pejuang dan sukses dimana saja” (Jusuf Kalla). Karaeng Galesong berjuang hingga ke Pulau Jawa. Bersama dengan Sultan Ageng Tirtayasa dan Trunojoyo melakukan perlawan yang gagah berani terhadap kaum penjajah.
Putih……, ronamu drastis berubah dipenghujung kebanggaanmu pada tokoh yang sama kita banggakan. Aku tahu putih, Engkau resah dengan ego etnis, ego kelompok, dan ego individu yang semakin menganga membentangkan jurang yang semakin lebar antara kita. Sekali lagi Engkau mendesah pilu.
Putih…., Engkau lebih banyak diam di awal perjalanan. Sepertinya ada resah yang menusuk. Senyum bekumu meronakan kegelisahan akan perpisahanmu dengan kerukunanan di Sanrobone. Kerukunan yang mengantarkannya menjadi daerah utama penghasil hewan ternak yang masyur di bagian selatan Sulawesi Selatan. Sepertinya engkau tidak rela berpisah dengan predikat tersebut. Sanrobone masyhur sebagai daerah penghasil ternak kambing di Kabupaten Takalar. Memang baru sekali ini saya menginjakkan kaki di Sanrobone yang terkenal dengan keramahan warganya. Keramahannya mengajak singgah melihat pesona dan daya tarik teman-teman sepermainan Si Putih.
Engkau masih tetap diam membisu Putih, berbagai cara sudah kulakuan untuk mengusir kebekuan di antara kita. Hamparan areal sawah yang sudah mulai digarap untuk menanam padi, hamparan tanaman jagung, kangkung, bayam, kacang panjang, sawi, kemangi, serta buah buahan lainnya seperti mangga, nangka yang siap panen, yang sekali lagi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Makassar. Sungguh besar partsipasi dan sumbangan desamu dalam memenuhi kebutuhan masyarakat kota.
Putih, sengaja saya memilih jalan ini, bukan hanya menghindarkan kita pada kemacetan yang sudah jadi menu sehari-hari. Saya ingin menunjukkanmu betapa suburnya negerimu, betapa indahnya Takalar. Sebentar lagi Putih, kita akan melewati beberapa tempat wisata yang memanfaatkan bibir-bibir pantai sepanjang Galesong yang seksinya luar biasa. Masyarakat Kabupaten Takalar harus mensyukuri itu, dengan mengolahnya sedemikian rupa tanpa melupakan lestarinya lingkungan, Putih.
Senyum si Putih perlahan bangkit, menyaksikan para pedagang ikan berbondong menuju Beba’, dan Sampulungan. Dua tempat utama yang menjadi tempat berlabuh terakhir ikan-ikan yang dijaring para nelayan Galesong yang terkenal itu. Tiba di Lampu merah Engkau meronta hebat. Saya menduga, Engkaupun menduga bahwa inilah lampu disko yang disenangi oleh kaula muda. Sebagai temanmu yang baru, saya berusaha menyenangkanmu, mengapresiasi kegundahan, keresahan dan usahamu untuk memulihkan diri dari perpisahan dengan kumunitasmu.
Walau tak berpeluh, walau napasmu tak memburu, saya melihat lelah di wajahmu. Lelah berjoget dan bernyanyi. Kembali, Engkau diam membisu, padahal saya sudah membisikmu dengan lembut, “inilah Pantai Losari yang terkenal itu”, Restoran Terpanjang Dunia dengan menu khasnya BANANA PRESS (Pisang Epe’). Di Pantai inilah warga Makassar dan sekitarnya berkumpul menumpahkan keresahan, kepenatan dan tekanan dunia kerja. Pantai ini merupakan katup pengaman, hiburan, dan pengharapan bagi masyarakat kota yang rentan terhadap gesekan. Engkau tetap diam, ada protes di wajahmu, karena memang tak pernah mengajakmu menikmati indahnya sunset dan desiran ombak yang menghantam bibir-bibir pantai yang tak berpasir.
Protesmu berlanjut hingga di Lapangan Karebosi, lapangan yang menjadi ciri dan kebanggaan warga Makassar dan Sulawesi Selatan pada umumnya. Engkau sama sekali tak bergeming dengan rumput hijaunya. Rumputnya yang kelihatannya selalu lebih hijau daripada rumputnya tetangga kita. Engkau baru beringsut dari protesmu saat mendengar nama PSM, Pasukan Ramang (di eranya Ramang PSM dan Timnas mencapai prestasi yang membanggakan), atau Juku Eja (ikan merah). PSM adalah kebanggan kita bersama, walau gagal mempersembahkan mahkota juara pada satu dasawarsa terakhir, Juku Eja tetaplah kebanggaan dan kehormatan masyarakat Sulawesi Selatan. Klub sepak bola tertua di Indonesia, yang tetap mampu mempersatukan keempat etnis besar yang mendiami wilayah ini, yakni Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja.
Kebanggaan Si Putih berlanjut akan kota ini, saat dia tahu bahwa di bawah rerumputan hijau itu ada aktivitas ekonomi yang menggeliat. Berbagai kebutuhan sekunder dan tersier disediakan para pemilik modal tempat itu. Tapi maaf Putih, Kita harus taat dengan janji, tak ada schedule untuk membawamu menjelajahi setiap sudut Karebosi Link. Sabar putih, kita masih ada beberapa obyek menarik yang dapat kita lihat di sepanjang jalan kita hari ini.
Di Jalan Urip Sumiharjo, motor yang melaju pelan, kuarahkan masuk pomp bensin yang berada tepat di depan Taman Makam Pahlawan. “Mari kita kirimkan doa sebagai ucapan terima kasih kita atas kerja keras dan pengorbanannya. Jangan biarkan mereka terlupakan”. “Putih, banyak temanku yang biasa mangkal di malam-malam seperti ini. Mereka juga pejuang, berjuang untuk bertahan hidup di kota yang keras ini”. Engkau menggeleng, senyummu seakan berkata saya tak suka dengan kepalsuan, saya tak butuh yang “abal-abal”.
Banyak sekali keheranan dan ketakjuban Si Putih pada perjalanan ini, termasuk keheranannya saat kuputuskan mengisi tangki bensin motorku padahal masih jarum penunjuk masih berada di tengah. “sabar Putih, tak jauh dari tempat ini kamu aakan mendapatkan kejutan berikutnya”. Tiba di traffic light berikutnya, Engkau terpana menyaksikan kesabaran pengguna jalan yang semakin menipis. “Putih….., ini lampu merah, itu bukan perayaan tahun baru yang identik dengan bunyi terompet yang bersahutan, itu klakson kendaraan yang saling berlomba”, begitu penjelasanku pada Si Putih tentang karakter berlalu-lintas yang sudah membudaya dan mengakar.
Satu jam kemudian, perjanan kita akhiri. Setelah berpeluh melewati iring-iringan kendaraan yang menyemut tak teratur, para pengendara yang tak punya kesabaran, manusia-manusia pencipta simbol, namun menabrak semua simbol yang diciptakannya sendiri.
Engkau lompat dari motor begitu tali pengaman dibuka. Engkau begitu lega dan plong. Engkau pipis dengan nikmatnya di balik rimbun bunga taman tetangga. Sekali lagi sepertinya Engkau mau berpesan:
“jagalah kemaluanmu”
“buanglah sampah pada tempatnya”
“sampahmu tanggungjawabmu”
Kita Merindukan:
MAKASSARTA’ TIDAK RANTASA’ , semangat Adipura membumi di hati masyarakat Kota Makassar.
“Ayahhhh Mandii, Ayah bau Kambing”, terikan lantang menggema dari dalam istanaku. Seorang perempuan yang masih terlihat cantik, walau tak lagi muda, keluar menyambut kedatangan kami dengan penuh pengharapan. Pengharapan seorang istri akan usaha halal suaminya.
“iya, sayang, saya ikat dulu kambing pesanan tetangga untuk acara aqiqahannya besok”
“Putih……, Selamat beristirahat, persiapkan diri karena esok adalah hari yang Engkau tunggu-tunggu, pertemuan dengan PenciptaMu”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H