Walau tak berpeluh, walau napasmu tak memburu, saya melihat lelah di wajahmu. Lelah berjoget dan bernyanyi. Kembali, Engkau diam membisu, padahal saya sudah membisikmu dengan lembut, “inilah Pantai Losari yang terkenal itu”, Restoran Terpanjang Dunia dengan menu khasnya BANANA PRESS (Pisang Epe’). Di Pantai inilah warga Makassar dan sekitarnya berkumpul menumpahkan keresahan, kepenatan dan tekanan dunia kerja. Pantai ini merupakan katup pengaman, hiburan, dan pengharapan bagi masyarakat kota yang rentan terhadap gesekan. Engkau tetap diam, ada protes di wajahmu, karena memang tak pernah mengajakmu menikmati indahnya sunset dan desiran ombak yang menghantam bibir-bibir pantai yang tak berpasir.
Protesmu berlanjut hingga di Lapangan Karebosi, lapangan yang menjadi ciri dan kebanggaan warga Makassar dan Sulawesi Selatan pada umumnya. Engkau sama sekali tak bergeming dengan rumput hijaunya. Rumputnya yang kelihatannya selalu lebih hijau daripada rumputnya tetangga kita. Engkau baru beringsut dari protesmu saat mendengar nama PSM, Pasukan Ramang (di eranya Ramang PSM dan Timnas mencapai prestasi yang membanggakan), atau Juku Eja (ikan merah). PSM adalah kebanggan kita bersama, walau gagal mempersembahkan mahkota juara pada satu dasawarsa terakhir, Juku Eja tetaplah kebanggaan dan kehormatan masyarakat Sulawesi Selatan. Klub sepak bola tertua di Indonesia, yang tetap mampu mempersatukan keempat etnis besar yang mendiami wilayah ini, yakni Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja.
Kebanggaan Si Putih berlanjut akan kota ini, saat dia tahu bahwa di bawah rerumputan hijau itu ada aktivitas ekonomi yang menggeliat. Berbagai kebutuhan sekunder dan tersier disediakan para pemilik modal tempat itu. Tapi maaf Putih, Kita harus taat dengan janji, tak ada schedule untuk membawamu menjelajahi setiap sudut Karebosi Link. Sabar putih, kita masih ada beberapa obyek menarik yang dapat kita lihat di sepanjang jalan kita hari ini.
Di Jalan Urip Sumiharjo, motor yang melaju pelan, kuarahkan masuk pomp bensin yang berada tepat di depan Taman Makam Pahlawan. “Mari kita kirimkan doa sebagai ucapan terima kasih kita atas kerja keras dan pengorbanannya. Jangan biarkan mereka terlupakan”. “Putih, banyak temanku yang biasa mangkal di malam-malam seperti ini. Mereka juga pejuang, berjuang untuk bertahan hidup di kota yang keras ini”. Engkau menggeleng, senyummu seakan berkata saya tak suka dengan kepalsuan, saya tak butuh yang “abal-abal”.
Banyak sekali keheranan dan ketakjuban Si Putih pada perjalanan ini, termasuk keheranannya saat kuputuskan mengisi tangki bensin motorku padahal masih jarum penunjuk masih berada di tengah. “sabar Putih, tak jauh dari tempat ini kamu aakan mendapatkan kejutan berikutnya”. Tiba di traffic light berikutnya, Engkau terpana menyaksikan kesabaran pengguna jalan yang semakin menipis. “Putih….., ini lampu merah, itu bukan perayaan tahun baru yang identik dengan bunyi terompet yang bersahutan, itu klakson kendaraan yang saling berlomba”, begitu penjelasanku pada Si Putih tentang karakter berlalu-lintas yang sudah membudaya dan mengakar.
Satu jam kemudian, perjanan kita akhiri. Setelah berpeluh melewati iring-iringan kendaraan yang menyemut tak teratur, para pengendara yang tak punya kesabaran, manusia-manusia pencipta simbol, namun menabrak semua simbol yang diciptakannya sendiri.
Engkau lompat dari motor begitu tali pengaman dibuka. Engkau begitu lega dan plong. Engkau pipis dengan nikmatnya di balik rimbun bunga taman tetangga. Sekali lagi sepertinya Engkau mau berpesan:
“jagalah kemaluanmu”
“buanglah sampah pada tempatnya”
“sampahmu tanggungjawabmu”
Kita Merindukan: