Penulis menamatkan Sekolah Dasar dengan nama yang sangat kental dengan ke-Bugis-annya. La Sennang adalah hadiah pemberian kedua orang tua. Memiliki arti orang yang tenang, dan senang. Selain alasan tersebut, Haji Sennang adalah sosok pengusaha terpandang di kampung. Menjadikan nama tersebut favorit. Terhitung ada 3 orang murid seusia dan satu sekolah yang bernama sama dengan penulis.
Banggakah penulis dengan nama tersebut? Waktu itu penulis merasa tidak. Namaku hanya menjadi bahan olokan sebagian teman sekelas yang jahil. Mereka biasa memplesetkan nama itu., dengan, maaf, la se’na (kelamin pria). Apa yang penulis alami, juga dialami oleh beberapa anak didik ditempat penulis mengabdi. Nama yang bernuansa etnis, bisa saja sangat terhormat di daerah asalnya, tentu lain cerita bila berada di daerah atau etnis lain. Inilah yang biasa menjadi bahan candaan dan ejekan.
Guru yang baik adalah mereka yang mampu mencium keresahan anak didiknya. Akhirnya penulis berganti nama atas inisiatif wali kelas, dengan tetap mengikutkan nama orang tua yang kental dengan ke-Bugis-annya. Pergantian nama pada masyarakat Indonesia adalah hal yang lumrah. Mereka yang sakit menahun biasanya disarankan untuk berganti nama. Ganti nama tidak hanya terjadi pada masyarakat biasa, artis dan selebriti papan atas pun melakukannya untuk tujuan komersil. Betapa berartinya sebuah nama.
Peran Pendidik dan Orang Tua dalam Pelestarian Budaya Lokal
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kota Layak Anak. Kabar baik bagi dunia pendidikan untuk membumikan sekolah ramah anak. Sekolah yang jauh dari bentuk korupsi, pungli, kekerasan, intimidasi, dan lisan yang tidak memuliakan anak. Peran pendidik dalam pelestarian nama lokal sangat dibutuhkan. Menjelaskan tentang arti penting pelestarian budaya lokal, bukan untuk menumbuhkan fanatisme kedaerahan, kesukuan yang sempit.
Cinta budaya lokal tidak cukup dengan pelajaran muatan lokal. Harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran muatan lokal selayaknya bukan menghasilkan produk lokal, lebih dari itu. Bahasa daerah, kearifan lokal, nama lokal, minimal peserta didik harus tahu. Kita berharap, peserta didik paham pentingnya penyelamatan budaya sendiri. Bila ini terwujud, dengan senang hati mereka akan memberi warna etnis di setiap nama anak-anak mereka kelak.
Meredakan dan mengantisipasi terjadinya konflik antarpeserta didik, yang bersumber dari ‘keunikan’ atau ‘keanehan’ nama lokal. Menuntut pendekatan yang humanis dari seorang pendidik. Bangga akan produk sendiri, hidup lebih berwarna oleh keberagaman, nama unik teman-temanmu ikut mewarnai lukisan masa depanmu, adalah sedikit alasan yang bisa dijadikan referensi oleh pendidik dalam mendukung pelestarian nama lokal.
Peran orang tua dalam pelestarian nama lokal sangatlah sentral. Dalam pandangan Islam, orang tua harus memberikan nama yang baik pada anak-anaknya. Nama yang baik, tidak selamanya harus berbau Jawa, Arab, dan Barat. Nama yang bernuansa etnis salah satu alternatif pilihan bagi orang tua. Syarifah Bulan Daeng Cora, Muhammad Izzul Masagena Dalle’ (anak didik penulis), adalah nama yang meninggalkan kesan mendalam bagi penulis. Dari nama tersebut, terwakili agama, masa kini, dan ciri etnis. Orang tua yang bersangkutan patut diberi apresiasi atas kreativitas, kepedulian, serta kebanggaannya pada budaya sendiri.
Nama yang cantik, komersil, dan mendunia tak selamanya menanggalkan ciri agama, etnisitas, simbol dan harapan masa depan. Dibutuhkan kreativitas orang tua dalam melestarikan romantisme masa lalu dan warna-warni masa kini.
Salam rindu buat teman sekolah penulis dimanapun berada. Lauwing, Lajumaini, Lajumangka. Laupe, Icenning, Daeng Gassing, Daeng Te’ne, yang turut memberi warna hidupku.