Mohon tunggu...
Masennang Masagena Community
Masennang Masagena Community Mohon Tunggu... Pegawai Negeri Sipil (PNS) -

Berawal dari keresahan dan kegelisahan penulis, pada awan kelabu yang membayangi dunia pendidikan Indonesia. Angka putus sekolah yang masih tinggi, kenakalan jalanan yang melibatkan anak usia sekolah, kebocoran soal yang sistematik pada pelaksanaan Ujian nasional, pendekatan kekerasan dalam mendisiplinkan anak didik masih sering terjadi. Sekolah yang harusnya menjadi rumah besar bagi seluruh peserta didik, yang mampu mengakomodasi keragaman bakat, minat dan karakter, masih jauh panggang dari api. Kelas dan lingkungan sekolah pada umumnya masih dirasakan oleh peserta didik sebagai penjara yang pengap dan membosankan. Warnet, warkop, dan rental play station lebih menarik dan menantang bagi mereka walau harus bolos sekolah. Pendidik dalam hal ini guru sebagai ujung tombak dalam membentuk generasi yang unggul harusnya lebih terbuka dengan perubahan. Kondisi sosial dan budaya masyarakat yang senantiasa berubah harus disikapi dengan bijak oleh para guru dengan segera “move on” dan meninggalkan zona nyaman yang selama ini memanjakannya. Pendekatan kekerasan, bahasa yang tidak memuliakan harus ditanggalkan sesegera mungkin. Saatnya guru yang melayani anak didiknya bukan sebaliknya. Saatnya guru yang menyesuaikan diri dengan anak didiknya, bukan sebaliknya. Menyesuaikan diri dengan mereka, mengikuti gaya belajar mereka, mengikuti gaya dan kehidupan sosial mereka, tidak akan mengurangi kewibawaan, kehormatan dan kemulian guru. Karena profesi guru merupakan pekerjaan terhormat dan mulia, maka muliakanlah anak didikmu sebagai manusia yang berhak untuk tertawa, berhak untuk bahagia. Masennang, berasal dari bahasa Bugis yang intinya adalah senang. Membuat peserta didik senang dengan kegiatan pembelajaran yang me-merdeka-kan, tanpa paksaan, tanpa tekanan dan tanpa intimidasi. Masennang Masagena sejatinya adalah mimpi dari penulis untuk memiliki yayasan pendidikan/sekolah dengan kriteria tersebut di atas. Masagena, dalam bahasa Bugis bermakna lapang, selalu merasa cukup. Orang yang bersyukur dan merasa cukup adalah mereka yang rela berbagi untuk Indonesia yang berkeadilan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah cita-cita luhur pendiri bangsa yang baru sekedar slogan dan gincu pencitraan. Kemiskinan dan kemelaratan adalah fenomena biasa yang ada di sekitar kita. Penderitaan mereka kaum miskin tak jarang dijadikan sebagai bahan pencitraan kalangan atas. Kepedulian sosial dan ke-shaleh-an sosial hendaknya mampu kita bumikan dalam kehidupan dan keseharian kita semua. Berbagi tak melulu harta dan uang. Ide-ide kreatif dalam bentuk pemberdayaan masyarakat adalah kekayaan yang harusnya kita bagi dan budayakan. Masennang Masagena hadir dengan ide dan gagasan untuk berbagi, merangkum potensi-potensi yang ada untuk digunakan pada pemberdayaan masyarakat. Semoga cita-cita untuk membumikan sekolah yang memuliakan anak didik direspon oleh teman-teman yang dipilih oleh Tuhan untuk jadi dermawan. Sumbangan yang masuk dari teman-teman akan kami gunakan sebaik-baiknya untuk Indonesia yang berkeadilan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Untuk Sebuah Nama

12 Desember 2015   15:10 Diperbarui: 12 Desember 2015   15:24 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penulis menamatkan Sekolah Dasar dengan nama yang sangat kental dengan ke-Bugis-annya. La Sennang adalah hadiah pemberian kedua orang tua.  Memiliki arti orang yang tenang, dan senang. Selain alasan tersebut,  Haji Sennang adalah sosok pengusaha terpandang di kampung. Menjadikan nama tersebut favorit. Terhitung ada 3 orang murid seusia dan satu sekolah  yang bernama sama dengan penulis.

Banggakah penulis dengan nama tersebut? Waktu itu penulis merasa tidak. Namaku hanya menjadi bahan olokan sebagian teman sekelas yang jahil. Mereka biasa memplesetkan nama itu., dengan, maaf, la se’na (kelamin pria). Apa yang penulis alami, juga dialami oleh beberapa anak didik ditempat penulis mengabdi. Nama yang bernuansa etnis, bisa saja sangat terhormat di daerah asalnya, tentu lain cerita bila berada di daerah atau etnis lain. Inilah yang biasa menjadi bahan candaan dan ejekan.

Guru yang baik adalah mereka yang mampu mencium keresahan anak didiknya. Akhirnya penulis berganti nama atas inisiatif wali kelas, dengan tetap mengikutkan nama orang tua yang kental dengan ke-Bugis-annya. Pergantian nama pada masyarakat Indonesia adalah hal yang lumrah. Mereka yang sakit menahun biasanya disarankan untuk berganti nama. Ganti nama tidak hanya terjadi pada masyarakat biasa, artis dan selebriti papan atas pun melakukannya untuk tujuan komersil. Betapa berartinya sebuah nama.

Peran Pendidik dan Orang Tua dalam Pelestarian Budaya Lokal

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kota Layak Anak. Kabar baik bagi dunia pendidikan untuk membumikan sekolah ramah anak. Sekolah yang jauh dari bentuk korupsi, pungli, kekerasan, intimidasi, dan lisan yang tidak memuliakan anak. Peran pendidik dalam pelestarian nama lokal sangat dibutuhkan. Menjelaskan tentang arti penting pelestarian budaya lokal, bukan untuk menumbuhkan fanatisme kedaerahan, kesukuan yang sempit.

Cinta budaya lokal tidak cukup dengan pelajaran muatan lokal. Harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran muatan lokal selayaknya bukan menghasilkan produk lokal, lebih dari itu. Bahasa daerah, kearifan lokal, nama lokal, minimal peserta didik harus tahu. Kita berharap, peserta didik paham pentingnya penyelamatan budaya sendiri. Bila ini terwujud, dengan senang hati mereka akan memberi warna etnis  di setiap nama anak-anak mereka kelak.

Meredakan dan mengantisipasi terjadinya konflik antarpeserta didik, yang bersumber dari ‘keunikan’ atau ‘keanehan’ nama lokal. Menuntut pendekatan yang humanis dari seorang pendidik. Bangga akan produk sendiri, hidup lebih berwarna oleh keberagaman, nama unik teman-temanmu ikut mewarnai lukisan masa depanmu, adalah sedikit alasan yang bisa dijadikan referensi oleh pendidik dalam mendukung pelestarian nama lokal.

Peran orang tua dalam pelestarian nama lokal sangatlah sentral. Dalam pandangan Islam, orang tua harus memberikan nama yang baik pada anak-anaknya. Nama yang baik, tidak selamanya harus berbau Jawa, Arab, dan Barat. Nama yang bernuansa etnis salah satu alternatif pilihan bagi orang tua. Syarifah Bulan Daeng Cora, Muhammad Izzul Masagena Dalle’ (anak didik penulis), adalah nama yang meninggalkan kesan mendalam bagi penulis. Dari nama tersebut, terwakili agama, masa kini, dan ciri etnis. Orang tua yang bersangkutan patut diberi apresiasi atas kreativitas, kepedulian, serta kebanggaannya pada budaya sendiri.

Nama yang cantik, komersil, dan mendunia tak selamanya menanggalkan ciri agama, etnisitas, simbol dan harapan masa depan. Dibutuhkan kreativitas orang tua dalam melestarikan romantisme masa lalu dan warna-warni masa kini.

Salam rindu buat teman sekolah penulis dimanapun berada. Lauwing, Lajumaini, Lajumangka. Laupe, Icenning, Daeng Gassing, Daeng Te’ne, yang turut memberi warna hidupku.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun