Membaca segelintir kisah sukses Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan (PKH) membuat saya merasa optimis bahwa program yang dibentuk sejak tahun 2007 ini dapat mencapai tujuan utamanya, yaitu mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Optimisme ini juga didukung oleh data terbaru dari BPS pada Maret 2018 yang menunjukkan adanya penurunan tingkat kemiskinan sebesar 1,04% dibandingkan pada tahun 2016, meski angka tersebut masih sangat jauh dari target yang dibuat oleh pemerintah untuk tahun 2019, yaitu 7-8%.
Untuk menggenjot keberhasilan PKH pada tahun ini pemerintah pun menggelontorkan dana yang jauh lebih besar yaitu Rp32,65 triliun atau naik hampir 100% dari tahun sebelumnya. Ini otomatis juga meningkatkan indeks bantuan sosial untuk program yang dikelola Kementrian Sosial. Jumlah KPM pada tahun ini juga meningkat menjadi 10 juta jiwa sehingga diharapkan inklusi keuangan juga meningkat, hal ini cukup menunjukkan bagaimana komitmen pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mewujudkan kemandirian ekonomi sehingga tingkat kemiskinan yang tinggi bisa diatasi.
Program yang berfokus pada keluarga miskin terutama ibu hamil/menyusui, anak umur 0-6 tahun, anak usia sekolah dasar dan menengah, penyandang disabilitas, dan usia lanjut, telah menentukan perhitungan komponen beban keluarga untuk bansos yang akan diberikan pada tiap KPM PKH. Jika tahun lalu pemerintah memberikan bantuan uang yang flat dan tanpa melihat beban tanggungan keluarga, tahun ini penyaluran bansos akan memperhatikan beban tanggungan keluarga yang dibagi ke dalam tujuh komponen sesuai dengan syarat penerima atau faktor kondisi anggota keluarga. Â
Namun setiap KPM tidak akan dimasukkan ke dalam seluruh komponen tersebut, melainkan setiap KPM hanya bisa dimasukkan ke dalam empat komponen saja. Adapun perhitungan dana PKH untuk tiap KPM adalah tiap KPM akan menerima bansos tetap senilai Rp550 ribu, ditambah dengan faktor kondisi anggota keluarga. KPM yang terdiri dari ibu hamil, balita, penyandang disabilitas, dan lansia, masing-masingnya kan mendapatkan tambahn Rp 2,4 juta.
Jika ada anak SD, akan mendapatkan tambahan Rp 900 ribu, SMP Rp 1,5 juta, sedangkan SMA sederajat Rp 2 juta. Jika KPM tinggal di daerah yang sulit, maka ada tambahan bansos senilai Rp 1 juta. Dengan perhitungan tersebut diharapkan KPM bisa lebih mengontrol penggunaan dana bansos sesuai dengan tujuan utamanya.Â
Selain itu kehadiran 39.700 pendamping KPM benar-benar dituntut untuk membantu KPM mengatur pengunaan bansos sesuai alokasi yang ditetapkan pemerintah. Tugas pendamping juga melakukan verifikasi dan validasi KPM sehingga PHK tepat sasaran. Penyerahan bansos dalam bentuk nontunai juga mampu meningkatkan inklusi ekonomi, sehingga KPM jadi lebih melek dengan produk-produk perbankan yang bisa membantu KPM membangun usaha kreatif sehingga kemandirian ekonomi yang digadang-gadang benar-benar terwujud dalam jumlah besar sesuai dengan jumlah KPM PKH.
Meski selama ini PKH menunjukkan banyak kinerja positif tapi masih banyak hal yang harus dioptimalkan. Sesuai dengan namanya PKH haruslah menciptakan keluraga yang bisa menjadi harapan bangsa untuk keluar dari kemiskinan, dengan masih sedikitnya jumlah KPM yang bisa lulus PKH atau mencapai keluarga sejahtera menjadi indikasi belum optimalnya program tersebut.Â
Selain pemberian bansos yang tepat sasaran, PKH haruslah membuat KPM menjadi keluarga mandiri secara ekonomi. Sayangnya, masih banyak ditemui mental-mental manja KPM yang nyaman dengan statusnya sebagai KPM, sehingga tidak terjadi pertumbuhan ekonomi seperti yang diharapkan.
Minimnya minat para KPM untuk melek perencanaan keuangan juga menjadi pemicu kecilnya penurunan tingkat kemiskinan dari tahun ke tahun. Jika pemerintah tidak peka dan responsif dengan kondisi tersebut, target pemerintah untuk menurunkan tingkat kemiskinan hingga 8% hanya mimpi di siang bolong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H