Agak serem keliatannya, dan terlihat radikal kalau melihat judul tulisan ini. Tetapi itulah kenyataan yang ada dari dahulu hingga saat ini. Tidak jarang kita lihat kelompok yang menggiring supaya benci dan dendam ke orde lama, ketika orde baru berkuasa dan saat ini ada juga yang menanamkan bagaimana supaya membenci orde baru dengan berbagai macam alat propagandanya. Saat ini pun kita disuguhi perang di media sosial akibat dendam pilkada pemilihan Gubernur Provinsi DKI Jakarta saat Basuki Purnama atau Ahok dikalahkan Anies Baswedan, yang merembet juga ke Pemilihan Presiden tahun 2019 antara Jokowi dan Prabowo. Apapun yang dilakukan Anies Baswedan bagi mereka yang masih menyimpan dendam maka akan selalu disalahkan demikian juga sebaliknya, bahkan kadang cenderung sarkasme.Â
Jauh sebelum itu pun kita sudah diwariskan dendam masa lalu, mulai dari skala nasional maupun lokal. Bagaimana peristiwa terbunuhnya Dyah Pitaloka putri kerajaan Pajajaran tahun 1357 dalam perang Bubat antara Majapahit dan Pajajaran yang dianggap ada keculasan Gajah Mada dalam perang tersebut menyebabkan dendam secara turun temurun dan seakan-akan haram ada nama Gajah Mada dan Hayam Wuruk di tatar Pasundan hingga saat ini, di era milenial ratusan tahun sesudah tahun kejadian. Maka kita hampir tidak pernah akan mendapati kedua nama tersebut yaitu Gajah Mada dan Hayam Wuruk menjadi nama jalan di tatar Pasundan.
Sekarang bagaimana kita memutus mata rantai dan rasa dendam itu tidak akan menurun lagi ke generasi berikutnya, hanya kitalah yang bisa menjawab. Celakanya kalau kita melihat status-status dan komentar-komentar di media sosial keliatannya dendam itu masih akan dipelihara agar abadi, masih banyak kita lihat komentar-komentar atau status-status yang menyiratkan rasa dendam yang membara, atau mungkin diantara kita juga pelakunya. Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H