Mohon tunggu...
Masduki Duryat
Masduki Duryat Mohon Tunggu... Dosen - Dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya seorang praktisi pendidikan, berkepribadian menarik, terbuka dan berwawasan ke depan. Pendidikan menjadi concern saya, di samping tentang keagamaan dan politik kebijakan--khususnya di bidang pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Penguatan Etika dan Logika Politik, Menepis Mental Hipokrit

27 Oktober 2022   10:09 Diperbarui: 27 Oktober 2022   15:00 1289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara teori menurut Adlan Da'i, seorang tokoh NU sekaligus analis politik; Sistem demokrasi adalah sistem politik terbaik untuk jalan peradaban. 

Sistem yang kemudian Francis Fukuyama dalam "The end of history" diandaikan mampu merekrut kepemimpinan terbaik, mempersempit ruang korupsi, mengupgrade profesionalitas birokrat, pemerintahan menjadi "public service" efektif, melayani dengan 'hati' dan lainnya.

Janji tinggal janji, realitas terabaikan. Ketika pemimpin politik mengikatkan diri pada sejumlah janji kampanye pada proses demokrasi pemilihan misalnya menurut M. Alfan Alfian (2018) adalah lazim saja. Kalau Rene Descartes beradagium cogito ergo sum---aku perpikir, maka aku ada---pemimpin politik; aku berjanji maka aku ada. 

Politisi selalu berdalih, janji kampanye itu satu hal, memerintah adalah hal lain. Ini mirip sindiran mantan PM Uni Soviet Nikita Khrushchev (1958-1964), politisi itu semuanya sama; mereka janji membangun jembatan, meskipun tidak ada sungai.

Janji untuk membangun, bukan penguasa tapi pemimpin, mensejahterakan rakyat, menghilangkan kebodohan, memberantas kemiskinan, nafas rakyat adalah jiwaku, pendidikan harus dimartabatkan melalui kesejahteraan gurunya, kesehatan gratis dan lain-lain adalah jargon-jargon yang sering dijanjikan pada kampanye dalam proses demokrasi.

Kenyataannya hanya lip service, yang terjadi demokrasi hanya memperluas pelaku korupsi. Menghasilkan 'artis' pura-pura pemimpin. Birokrat menjadi mainan politik. 

Hanya perubahan warna cat gedung, jembatan, jilbab dari satu warna ke warna lainnya yang penuh kamuflase. Birokrat kompeten tidak tampak. 

Itu semua kalah sama barisan puja-puji, menjilat dan phobi terhadap kritik serta lena dalam hegemoni yang mengekang kreasi untuk terus berjuang bagi kesejahteraan masyarakat dan rakyatnya.  

Demokrasi dan Korupsi

Demokrasi telah mengalahkan segalanya, bahkan sampai menabrak-nabrak konstitusi dengan mengatasnamakan rakyat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun