Bagaimana Nabi yang mulia begitu pertama kali datang ke Madinah langsung mengeluarkan lima perintah harian; hanya satu pada perintah itu berbicara ibadah spiritual, empat sisanya berbicara tentang ibadah sosial; "(sebarkan keselamatan, memberi makan kepada yang miskin, melembutkan perkataan, sambung shilaturrahim, dan shalat malam)". Banyak juga ibadah spiritual bisa diganti dengan ibadah sosial, misalnya adanya konsep kaffarat.
Disiplin adalah dampak turunan dari seluruh ajaran Islam, shalat, puasa, zakat dan lainnya. Bahwa kemudian ada penganut agama yang tidak disiplin atau melakukan tindak pidana korupsi, zina dan lainnya bukan menunjukkan bahwa ajaran agama Islam secara doktrinal tidak mengajarkannya. Idealnya siapapun yang beragama seperti yang disebutkan A. Comte hidup lebih teratur. Tetapi jika tidak, sesuatu hal yang terpisah antara ajaran agama dan penganutnya. Dalam bahasa Prof. Harun Nasution Islam kita terjebak pada Islam formalistik tidak substantif, sehingga kita di Indonesia mengklaim mayoritas beragama Islam tetapi korupsinya---pada pandangan Polical and Economic Risc Consultancy Hongkong---masih menempatkan kita menjadi negara terkorup di Asia, bukan salah agama. Prof. Jalaluddin Rakhmat sebagaimana saya sebutkan di atas harus dibedakan antara Islam aktual dan Islam konseptual.
Sekali lagi Islam tidak hanya fokus pada persoalan ibadah shalat, puasa, haji. Tetapi juga membahas ibadah maliyah, akhlaq (dalam keluarga dan sosial), juga muamalah, etos kerja, harta dan jabatan dalam Islam serta lainnya. Bahkan Prof. Harun Nasution menyebutkan jumlah ayat-ayat yang berbicara ibadah spiritual jauh lebih sedikit berbanding dengan ibadah sosial.
Dichotomi Ilmu Agama dan Umum, Betulkah?
Saya ingin menambahkan pada tulisan ini supaya melengkapi pandangan tentang Islam yang holistic dan selalu sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam konteks ilmu misalnya seperti juga disampaikan oleh Prof. Emil Salim ilmu dan berilmu itu ujung akhirnya adalah teosentris bukan antroposentris.
Untuk kepentingan analisis, tanda-tanda Tuhan dapat kita jadikan menjadi tiga, yaitu jagat raya, manusia dan wahyu. Dari ketiga obyek ini kita akan melihat ilmu-ilmu yang berbeda-beda tetapi tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya.
Manusia hendak menyingkap rahasia Allah melalui tandanya berupa jagat raya menggunakan perangkat berupa ilmu-ilmu fisik, seperti ilmu fisika, kimia, geografi, geologi, astronomi dan falak. Dengan kesadaran yang telah dijelaskan oleh Prof. Nurchalis Madjid di atas, manusia yang mendalami ilmu-ilmu tersebut akan mampu menyingkap rahasia tabir Allah .
Manusia yang hendak menyingkap rahasia Allah melalui tanda-Nya berupa manusia akan memunculkan berbagai ilmu. Dari segi fisik pendalaman terhadap struktur tubuh manusia melahirkan ilmu biologi dan kedokteran. edangkan aspek psikis manusia memunculkan ilmu psikologi. Apabila secara kolektif atau kelompok kajian terhadap manusia melahirkan sosiologi, ilmu lingkungan, komunikasi, hukum, dan sejarah.
Ketika manusia berusaha menyingkap rahasia Allah melalui tandanya berupa wahyu, muncul ilmu keagamaan seperti ulum al-Quran, ulum al-Hadits, tafsir, fikih, ilmu kalam, dan tasawuf. Dengan demikian, jalur manapun yang digunakan manusia dalam rangka menyingkap tabir kekuasaanNya akan melahirkan  manusia yang semakin dekat dengan Tuhan .
Paradigma ini sekaligus merupakan jawaban terhadap dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama. Pada dasarnya ilmu agama dan non agama hanya dapat dibedakan hanya untuk kepentingan analisis, bukan untuk dipisahkan apalagi dipertentangkan. Dalam sejarah tercatat ulama yang mendalami agama menjadi filosof dan dokter, seperti Ibnu Sina, atau lainnya.
Â