Oleh: Masduki Duryat*)
Diskursus politik selalu menarik untuk diperbincangkan, sampai-sampai Aristoteles menyebutnya sebagai master of science. Bagi Aristoteles, dimensi politik dalam eksistensi manusia merupakan dimensi yang paling urgen, sebab bisa mempengaruhi lingkungan lain dalam kehidupan manusia. Salah satu isu menarik dalam konteks politik pemilihan Presiden, kepala daerah misalnya menyangkut politik dinasti---sampai-sampai Majalah Gatra ketika itu menyebutnya, jika bukan karena daerah Solo, Medan dan Tangsel---Pilkada beberapa waktu lalu tidak terlalu disorot. Pertanyaannya, mungkinkah politik dinasti juga akan terjadi di tahun 2024?
Beberapa tahun lalu terma politik dinasti menjadi kajian dan berita sentral di Majalah Tempo dan Gatra. Walau definisi dinasti dalam konteks demokrasi masih menjadi debatable, tetapi tetap menjadi isu menarik---terutama untuk menciptakan konflik---yang pada bahasa Paul Conn menganggap konflik sebagai esensi politik. Thomas Hobbes menyebutnya watak dasar manusia itu mementingkan dirinya sendiri dan bersifat rasional. Sehingga secara alamiah manusia cenderung berkonflik dengan sesamanya.
Dinasti dalam Politik Kekuasaan
Robson sebagaimana diungkapkan oleh Ramlan Surbakti adalah tokoh yang mengembangkan tentang kekuasaan. Pada pandangannya ilmu politik merupakan ilmu yang titik tekannya pada perjuangan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, mempengaruhi pihak lain, ataupun menentang pelaksanaan kekuasaan.
Tentu yang menjadi pertanyaan adalah apa yang dimaksud dengan kekuasaan? Pada pespektif ini kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi. Kekuasaan dipandang sebagai interaksi antara pihak yang mempengaruhi dengan yang dipengaruhi, atau dengan kata lain yang satu mempengaruhi yang lain mematuhi. Maka dengan memperhatikan definisi ini tidak ada perbedaan makna antara kekuasaan dan kepemimpinan karena dimensi keduanya adalah sama-sama kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Sebab definisi kepemimpinan yang disebut oleh para pakar pasti menyangkut persoalan kemampuan mempengaruhi.
Salah satu alat kekuasaan adalah dengan menggunakan politik dinasti, walau kemudian terma dinasti ini kalau merujuk pada KBBI bermakna keturunan raja-raja yang memerintah semuanya berasal dari satu keluarga. Lalu terma dinasti ini misalnya  masihkan relevan ketika dikaitkan dengan sistem demokrasi? Yang sejatinya tentu yang menentukan pilihan pimpinan ada di tangan rakyat, bukan secara turun-temurun dalam pemerintahan.
Tetapi inilah realitas yang tak terhindarkan penggunaan terma dinasti untuk menyebut hubungan darah dalam pemilihan presiden, kepala daerah, anggota legislatif---bahkan hal ini pernah terjadi---dalam pemilihan anggota legislatif pada Pemilu 1987 PPP masa H. J. Naro, demikian juga yang terjadi di Partai Golkar dan PDI yang memunculkan pencalonan anak-anak Bung Karno. Bahkan sekarang munculnya kandidat Presiden yang sedikit 'dipaksakan' hanya karena ingin melanggengkan kekuasaan 'politik dinasti' walau elektabilitasnya cenderung tidak terdongkrak.
Pada konteks seperti ini, dengan meminjam bahasa Ridwan, regenerasi 'karbitan' tidak akan sehat. Sebab, regenerasinya disandarkan pada reproduksi biologis, bukan hasil dari sebuah kompetisi kompetensi.
Kalau kita tilik secara hukum, memang tidak ada yang salah dengan politik dinasti. Undang-Undang Pemilihan Umum tidak melarang seorang kerabat pejabat negara mencalonkan diri sebagai  kandidat presiden, gubemur, bupati, atau wali kota. Mahkamah Konstitusi juga telah menegaskan bahwa larangan bagi kerabat elite politik untuk maju dalam pemilihan kepala daerah bertentangan dengan konstitusi.
Yang dilanggar dalam praktik politik dinasti adalah etika publik. Dengan akses terhadap kekuasaan, seorang kerabat pejabat memiliki privilese untuk dapat memenangi pemilihan dibandingkan dengan kandidat lain. Sang pejabat, misalnya, dapat membuat program untuk memenangkan kerabatnya. Seorang pejabat dapat pula memobilisasi aparatur negara di bawahnya guna membantu pemenangan anggota keluarga yang berlaga.
Politik Dinasti; Kasus Jokowi
Pada tahun 2020 yang lalu Pemilihan kepala daerah di Indonesia juga menarik untuk dicermati sebagaimana diberitakan Majalah Tempo dan Gatra. Presiden Jokowi dianggap hendak membangun dinasti politik melalui pencalonan anak dan menantunya dalam pemilihan kepala daerah. Bobby Nasution, menantunya, waktu itu diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam
pilkada di Medan sebagai calon wali kota. Bobby dipasangkan dengan Aulia Rachman. Sementara itu, di Solo, Jawa Tengah, putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, berkontestasi dalam pemilihan wali kota. Gibran berpasangan dengan Teguh Prakosa sebagai calon wakil wali kota.
Membiarkan anak, menantu, dan kerabatnya maju dalam pilkada, para pejabat sesungguhnya tengah membiarkan pertarungan berpotensi tidak adil. Tentu sang pejabat bisa membantah tudingan bahwa ia telah menggunakan kekuasaan untuk  membela kerabat yang bertarung. Jikapun benar ia tidak melakukannya, tak ada yang bisa menjamin aparatur negara di bawah pejabat tersebut bisa bersikap adil. Tengoklah yang terjadi di Solo dan Medan---seperti yang disinyalir Majalah Tempo---walau belum ada bukti Jokowi
memerintahkan anak buahnya untuk memenangkan kedua kandidat. Tapi, di lapangan, banyak aparatur negara bergerak.
Di Solo, staf Jokowi dikabarkan turut membantu Gibran. Sedangkan di Medan, ada oknum lurah yang mengarahkan warganya
untuk memilih Bobby. Lurah itu bergerak karena diperintahkan camat dan personel kepolisian daerah. Oknum Polisi juga diduga menggalang dukungan dari sejumlah kelompok masyarakat untuk mendukung Bobby. Peraturan yang mengharuskan aparat netral bukan tidak ada. Tapi simbiosis aparat dengan para politikus membuat aturan yang terang-benderang tersebut menjadi macan kertas. Para politikus terus memelihara budaya patrimonial ala Orde Baru: mengkooptasi aparatur untuk memenangi pemilihan kepala daerah.
Kondisi ini diperburuk oleh budaya 'asal bapak senang'. Aparatur kerap menyediakan dirinya untuk dimanfaatkan elite politik karena menganggap hal tersebut akan menguntungkan kariemya. Dua sisi hubungan politikus dan aparat inilah yang mendorong demokrasi masuk jurang.
Memang tidak hanya di Solo dan Medan, di Tangerang Selatan misalnya dengan munculnya kemenangan bagi Benyamin-Pilar juga semakin menegaskan bahwa hegemoni dinasti politik keluarga Ratu Atut Chosiyah masih sangat jumawa di Banten---apalagi ibu Pilar Saga, Ratu Tatu Chasanah juga menang sebagai bupati Serang dalam Pilkada ini juga.
Dampak Politik Dinasti
Sejumlah studi menunjukkan dampak buruk politik kekerabatan ini. Di Indonesia, seperti temuan Setyaningrum dan Saragih (2019), politik dinasti berdampak pada buruknya kinerja pemerintah---termasuk daerah. Politik dinasti cenderung menghasilkan kebijakan yang menguntungkan segelintir orang. Di Filipina dan Jepang, politik kekerabatan menyebabkan kemiskinan meningkat dan ketidakadilan.
Sementara keadilan merupakan hal yang esensial bagi pemenuhan kecenderungan alamiah manusia. Ini yang kemudian bagi Socrates disebutnya sebagai justice merupakan tujuan politik yang layak. Baginya keadilan adalah melaksanakan apa yang menjadi fungsi atau pekerjaan sendiri dengan sebaik-baiknya tanpa mencampuri fungsi atau pekerjaan orang lain (the practice of minding one's own business).Â
Wallahu a'lam bi al-shawab
Â
*)Penulis adalah dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H