Oleh: Masduki Duryat*)
Saya termasuk yang tidak tahu persis tentang Banyuwangi; budaya, etnis, bahasa, maupun destinasi wisatanya. Yang pasti bahwa Banyuwangi adalah etalase Nusantara dengan berbagai kemajemukannya.
Ketika disepakati kita akan refreshing dan pilihannya adalah Alas Purwo—di tengah penyelesaian tugas-tugas penelitian—diwanti-wanti untuk berhati-hati, jangan bicara sembarangan dan sombong. Dalam hati apakah masih berlaku asumsi seperti ini di era modern dengan teori-teori Alfin Toffler, atau bahkan juga seorang sosiolog kontemporer A. Comte yang membagi tiga stadia pemikiran manusia dan sekarang kita sedang memasuki stadia ilmu pengetahuan, tetapi kehawatiran ini masih tetap ada sampai menuju lokasi.
Goa Istana: Petilasan Bung Karno
Kami bersemangat, perjalanan yang cukup jauh dari Kemiren (Desa Budaya), homebase kami. Begitu memasuki wilayah Alas Purwo, kami disuguhi pemandangan hutan yang masih terawat indah dengan pepohonan yang jauh dari peristiwa yang dalam bahasa Prof. Amin Rais disebutnya sebagai kasus paling skandalus di abad modern ini—seperti di Kalimantan misalnya—karena penebangan hutan oleh pemegang HPH yang frontal dan pemulihannya memerlukan 2-3 generasi.
Begitu masuk wilayah Alas Purwo, saya ke mushalla terlebih dahulu untuk shalat dhuhur dengan teman-teman yang lain, lalu kami sepakat untuk menuju salah satu goa—goa Istana—petilasan Bung Karno.
Beberapa kilometer kami tempuh dengan berjalan kaki dan ahirnya sampai dengan nafas yang agak tersengal, duduk sebentar dengan menikmati goa yang indah ditemani kera-kera yang lincah sambil berburu makanan. Kami masuk, gelap dengan harap-harap cemas (H2C), agak kaget juga ketika ada dua orang di kegelapan goa yang konon sedang berkontemplasi.
Bahkan ada yang kami Tanya, jawabnya “saya ada di sini berdasarkan titah guru, sampai mendapatkan ‘sesuatu’.” Goa sangat gelap dan masih ada lorong kecil ke dalamnya.
Nuansa khas mistik dengan bau harum bunga dan aroma kemenyan begitu tersengat dan di dalam goa ada fasilitas untuk aktifitas ‘bertahannuts’. Setelah beberapa lama kami menikmati keindahan dan ketakjuban goa, kami sepakat kembali lagi.
Kami kembali sambil menikmati kanan-kiri pemandangan hutan dengan suara khas burung dan gemebyurnya ombak—karena ternyata juga lokasinya berdekatan dengan pantai yang sangat indah berpasirkan putih yang terhampar mempesona.
Sampai juga kami di tempat parkir, sambil melepas lelah menuju warung—banyak warung, ada penjual kopi, mie, nasi dan makanan ringan lainnya—saya memilih pesan mie rebus dengan es teh manis penghilang rasa lapar. Pada saat yang sama ada seorang anggota polisi yang berdinas di tempat ini, namanya Wahyudi—kebetulan saya tidak terlalu hapal pangkatnya—sambil menikmati mie rebus kami berdialog, ngobrol santai.
A. Comte dan Toffler
Dengan mencoba mengadaptasi pandangan seorang sosiolog kontemporer A. Comte yang menyatakan bahwa ada tiga stadia pemikiran manusia; pemikiran primitive, ketika manusia percaya kepada animisme dan dinamisme, kepercayaan kepada agama dan ilmu pengetahuan. Ini tidak berarti ketika orang percaya kepada agama sudah out of date.
Karena pada tulisannya yang lain tentang “altruism”, Comte menyatakan agama masih relevan dan fungsional. Ini sebuah stadia yang berkelindan satu sama lain, karena realitasnya kita yang hidup sekarang di era ilmu pengetahuan dan teknologi juga masih terjebak pada stadia ‘primitif’.
Demikian juga Alvin Toffler dalam The Third Wave-nya, juga mengatakan kita sekarang berada di ambang peradaban ketiga. Gelombang peradaban kedua mulai runtuh. “Kita sekarang melihat tidak hanya hancurnya techno-sphere, info-sphere, atau socio-sphere gelombang kedua, tapi juga rontoknya psycho-sphere”, kata Toffler.
Dengan demikian kita sedang memasuki era revolusi sains teknologi yang sedemikian cepat perubahannya. Tetapi juga kepercayaan kepada Jeffry R. Palmer, edgar Cayce, Jayabaya, Mark Twain, Vangelia Pandeva Dimitrova, Nostradamus atau mungkin Mbah Mijan dengan ‘ramalan-ramalannya’ masih saja melekat, atau ke tempat-tempat tertentu, mendatangi ‘orang pintar’ untuk sekedar melanggengkan kekuasaan, mendapatkan jabatan, kekayaan dan lainnya. Lalu inikah yang terjadi di Alas Purwo?
Misteri Alas Purwo
Ketika selesai saling berkenalan, sampailah pada pembicaraan tentang Alas Purwo dan Goa Istana yang telah kami kunjungi, lalu beliau bercerita mengalir dengan fasih. Menurut penuturannya, hutan ini masuk kategori taman nasional dan bersebelahan dengan milik Perhutani.
Alas ini masih menyimpan sejuta misteri dan keanehan, sekedar menyebut contoh, ia pernah bersama seorang temannya yang asli daerah tersebut,”ikuti saya, saya tahu persis daerah ini”, demikian katanya dengan percaya diri.
Apa yang terjadi, ia dan temannya tidak ketemu jalan, tersesat sampai menjelang maghrib. Ini karena disinyalir temannya terlalu ‘sombong’ dan membanggakan diri dengan keberpengetahuannya.
Lalu ketika beristirahat di satu tempat, dulu dengan HP jadul yang tak pernah ketinggalan dengan nada dering suara tokek, malam HP-nya bunyi—tentu dengan nada dering suara tokek—apa yang terjadi? Begitu melihat ke atas di langit-langit tempat istirahat, tokek sudah berkumpul mengelilingi langit-langit.
Kembali ke Goa Istana, Goa ini konon petilasan Bung Karno. Sebelum menentukan sikap, dan menentukan kebijakan tentang negeri ini, seringkali beliau berkontemplasi di tempat ini, tempat yang sunyi jauh dari keramaian.
Maka mantan Presiden, Menteri, tokoh politik, Pejabat sipil maupun militer dan mayoritas pejabat di Jawa seringkali datang ke tempat ini dengan berbagai motif dan tujuan—ada juga yang sekedar berdoa. Ada juga, misalnya di beberapa Goa yang lain untuk sekedar mencari ketenangan, mengamalkan ilmu tertentu, sampai ‘lari dari kejaran’ lilitan utang sampai bertahun-tahun.
Ada yang menarik menurut penuturan Wahyudi, ada orang yang terlilit utang, kemudian dia ingin utang-utangnya lunas. Lalu mendapat ‘wangsit’ untuk memetik pohon dan buah tertentu sampai di rumah dijual dan lunaslah utang-utangnya.
Tapi setelah sekian lama terpikir olehnya untuk balik lagi ke Alas Purwo dengan motif mencari pohon tersebut agar kaya raya, tetapi setelah sampai di tempat sekian lama mencari dia tidak mendapati pohon dan buah tersebut.
Ia datang dengan motif keserakahan, sama dengan yang terjadi juga pada seseorang yang kelaparan kemudian makan buah-buahan di Alas tersebut, tapi ketika buah itu dibekal untuk dibawa pulang—tidak sekedar untuk menghilangkan rasa lapar—ia berputar-putar di tempat itu dengan tanpa tahu arah pulang.
Wilayah Alas Purwo ini, akan menjadi tempat yang ramai ketika momentum 1 Suro, orang ramai berdatangan tetapi dengan ‘khusyu’, senyap tanpa kebisingan sibuk dengan kontemplasinya masing-masing sampai pagi menjelang.
Di tempat ini juga ada Pura—tempat beribadahnya orang Hindu—yang pada momentum tertentu banyak dari berbagai daerah yang datang tidak hanya dari Banyuwangi, tetapi juga Bali dan daerah lainnya.
Karena diyakini Pura ini setingkat lebih tinggi stratanya dibanding dengan tempat ibadah (Pura) lainnya. Ibarat ummat Islam yang berhaji di Haramain, maka ummat Hindu pergi ke India, dan Pura di area Alas Purwo itu setingkat lebih rendah dari itu bagi mereka yang memiliki kelebihan harta.
Selayang pandangan kami arahkan ke pantai, pantai nan indah dengan hamparan pasir putih dan deburan ombak yang seolah tanpa henti gemebyur sampai ke pantai.
Tapi di tengah keindahan itu, lagi-lagi menyimpan sejuta misteri, karena tertulis dengan jelas di pinggir pantai, “Dilarang berenang, berbahaya”, banyak pemancing yang kadang hilang ditelan samudera dan seringkali ada orang yang tenggelam di tempat lain ketemunya di pantai ini—entahlah apakah memang karena arus ombak dan anginnya yang menuju tempat ini atau karena ada faktor lain.
Kembali dan Motifnya
Kami menuju pulang, lalu mampir sebentar menikmati taman Savana Sadengan, ragam satwa di hamparan padang yang luas binatang dengan bebasnya—menikmati kemerdekaan—dari berbagai jenis, Macan Tutul, Burung Merak, Banteng, Elang Jawa dan lainnya. Dalam perjalanan pulang itu, masih terpikir dalam benak kami, akankah di antara kita yang kembali lagi ke tempat ini—Alas Purwo—dengan motif yang berbeda?
Sambil terus berpikir, benarkah misteri itu? Perlu ada cross-ceck lebih lanjut. Walhal—yang pasti—Banyuwangi kota yang indah dengan beragam budaya dan destinasi wisatanya, ada laut, gunung, air terjun, festival budaya, etnis, bahasa, dan lainnya, inilah miniaturnya Nusantara.
Wallahu a’lam bi al-shawab
*)Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Indramayu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H