Mohon tunggu...
Mas Dosen
Mas Dosen Mohon Tunggu... -

Seorang pengajar lepas di salah satu perguruan tinggi di Indonesia. Kampus terbaik itu bernama Universitas Kehidupan. Hiduplah Indonesia Raya!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyibak Kebenaran, Sebuah Renungan Keadilan dan Kemanusiaan

17 Oktober 2018   02:39 Diperbarui: 17 Oktober 2018   14:14 1233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: merdeka.com

"Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum; dan hukum itu ada untuk membahagiakan manusia!"

Kita tentu sudah sama mahfum bahwa negara ini adalah negara hukum yang berdasarkan keadilan sosial, khususnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan hukum yang dimaksudkan adalah adanya pengakuan dan perlakuan yang seimbang, keharmonisan antara hak dan kewajiban. 

Berdasarkan sila kelima Pancasila, seluruh warga negara Indonesia berhak mendapatkan keadilan yang merata di mata hukum. Namun, bernarkah hukum sudah mampu bersikap adil?

Sejatinya, berbicara hukum tidak bisa dilepaskan tentang norma hukum itu sendiri. Dimana di dalamnya harus dapat mewujudkan rasa keadilan dan kesimbangan dengan norma-norma lain seperti budaya, etika, moral, serta tidak terlepas juga dari norma yang paling sakral dalam kehidupan seorang manusia, yaitu agama. Persis seperti yang tertuang dalam cita-cita hukum negara kita, yaitu Pancasila.

Mengutip pernyataan dari Guru Besar Hukum dan Masyarakat Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Esmi Warassih, S.H., M.S., bahwa tujuan kita sebagai masyarakat itu berhukum adalah bukan untuk mencari-cari kesalahan, namun untuk memunculkan kebenaran yang dapat menghasilkan rasa keadilan dan keseimbangan keadilan itu sendiri. Karena tujuan hakiki dari hukum adalah menciptakan kebahagiaan, kedamaian, kesejahteraan, dan kemanfaatan bagi manusia, bukan justru melanggengkan kesengsaraan!

"Ketika seorang penegak hukum hanya menggunakan keyakinan subyektif serta logika sempitnya bahwa suatu putusan dianggap memenuhi syarat secara tekstual-yuridis karena unsur-unsur penjeratan dan pemberatannya telah terpenuhi, maka sang penegak hukum tersebut hanya akan memunculkan diri sebagai 'tukang hukum' bukan lagi pencipta keadilan," Lanjut Prof Esmi seperti yang penulis kutip dari sini.

Bagi yang secara tidak sengaja membaca tulisan ini, mungkin bertanya-tanya kemana arah tujuan penulisan ini? Dan ditujukan kepada siapa? Atau dalam pertanyaan yang lebih sarkas, tulisan ini ingin membela siapa?

Pertama-tama, tulisan ini penulis tujukan bagi siapapun warga negara yang merasa mendapat perlakuan yang tidak adil dari sistem peradilan di Indonesia. Namun dalam hal ini, penulis ingin menyoroti satu studi kasus yang cukup kontroversial serta fenomenal, dan menarik untuk disimak karena memang menjadi sorotan publik pada masanya, bahkan sampai hari ini, yaitu terkait mantan Ketua DPD RI, Irman Gusman.

Tulisan ini bukan untuk membela yang bersangkutan, karena pengadilan Tipikor telah menjatuhkan hukuman penjara empat tahun enam bulan ditambah pencabutan hak politiknya selama tiga tahun (terhitung setelah menjalani masa pidana pokoknya). 

Penulis hanya ingin menghadirkan suatu sudut pandang melalui spektrum yang lebih luas, serta mengemukakan beberapa kajanggalan hukum yang informasinya penulis dapatkan melalui sebuah buku berjudul; Menyibak Kebenaran, Eksaminasi Terhadap Putusan Perkara Irman Gusman.

Dalam buku setebal hampir tiga ratus halaman tersebut, terdapat sejumlah anotasi terhadap putusan Pengadilan Tipikor terhadap sang mantan Ketua DPD RI. Para annotator-nya terdiri dari Guru Besar, Pakar, serta Praktisi Hukum Pidana yang namanya tentu sudah tidak asing di benak kita. Seperti Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H., yang kita tahu sebagai seorang pakar Hukum Pidana, serta salah seorang yang juga turut membidani lahirnya undang-undang antikorupsi di Indonesia.

Lalu juga terdapat nama-nama besar seperti Prof. Dr. Nyoman Putra Jaya, S.H., Prof Dr. Eman Suparman, S.H., Dr. Maqdir Ismail, S.H., Prof. Dr. Esmi Warassih, S.H., Dr. Yudi Kristiana, S.H., Prof. Dr. Suteki, S.H., dan masih banyak lagi sederet nama-nama Guru Besar Hukum Pidana serta Sosiologi Hukum yang turut menyumbang anotasi dari kacamata mereka masing-masing.

Kemudian menjadi menarik, ketika sederet pakar hukum tersebut ramai-ramai, tanpa ada paksaan, dan bahkan banyak diantara mereka tidak mengenal secara pribadi dengan Irman Gusman, lantas secara kolektif menghadiri sebuah focus group discussion (FGD) di Yogyakarta, dan memberikan eksaminasi terhadap putusan pengadilan guna menelaah aspek keseimbangan keadilan terhadap kasus hukum yang menimpa sang mantan Ketua DPD RI.

Kesimpulan yang dapat penulis ambil setelah membaca buku tersebut, adalah bahwa menurut bidang keilmuan masing-masing annotator itu, Irman Gusman tidak sepatutnya menerima hukuman seperti yang ia terima saat ini. Bahkan Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H. menyebutkan secara gamblang bahwa putusan pengadilan kala itu cacat secara ilmu Hukum Pidana.

Menurutnya, yang bersangkutan tidak bisa dituntut telah melakukan tindak pidana korupsi karena yang dilakukannya tidak berhubungan dengan fungsi dan jabatannya pada saat itu, serta tidak ada kerugian negara (APBN) yang ditimbulkan atas perbuatannya tersebut.

Kilas Balik Persoalan

Sekedar menyegarkan ingatan, Irman Gusman ditetapkan bersalah karena dianggap menerima suap sebesar seratus juta rupiah dari seorang pengusaha gula bernama Memi dan suaminya Xaveriandy Sutanto pada tanggal 17 September 2016 dini hari silam. 

Saat itu KPK menerobos masuk ke dalam rumah dinas yang terletak di bilangan Kuningan, Jakarta Pusat, tidak lama setelah barang bukti berupa uang tersebut diberikan kepada yang bersangkutan.

Yang menarik adalah pada saat itu KPK bersikeras bahwa uang tersebut merupakan bentuk penyuapan, karena KPK sudah lama menyadap telepon genggam yang bersangkutan dan si pemberi uang. Sedangkan dalam fakta persidangan, rekaman pembicaraan Memi beserta suaminya yang akan mendatangi kediaman yang bersangkutan pada saat itu terungkap bahwa Irman Gusman tidak mengetahui sama sekali bahwa akan diberi sejumlah uang oleh kedua pasangan suami istri.

Oleh karenanya, pihak Irman Gusman berpendapat bahwa uang tersebut lebih tepat jika dikategorikan sebagai gratifikasi. Dan menurut undang-undang, yang bersangkutan seharusnya diberi waktu maksimal selama tiga puluh hari untuk melaporkannya kepada KPK. Hal yang sangat umum, seperti dalam banyak kasus seorang pejabat tinggi negara mendapat hadiah dari seseorang lalu kemudian melaporkannya dan mengembalikan hadiah tersebut kepada negara.

Namun amat disayangkan, hak untuk melaporkan gratifikasi tersebut tidak dapat dijalankan karena hadiah berupa uang itu pun langsung dibawa menuju kantor KPK dalam sebuah atraksi yang diistilahkan sebagai Operasi Tangkap Tangan (OTT).

Yang luput dari perhatian kita, bahkan juga luput dari pemberitaan media massa adalah awal muasal kasus ini terjadi. Bermula dari semakin tingginya harga gula di provinsi Sumatera Barat menjelang lebaran, yang pada saat itu sudah mencapai harga Rp 16.000,- per kilogram. Dan jika tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin akan semakin melambung tinggi. Tidak dapat dibayangkan berapa banyak masyarakat, UMKM, serta sektor industri di Sumbar yang akan 'menjerit', terlebih gula merupakan bahan kebutuhan pokok sehari-hari.

Sebagai seorang senator yang berasal dari wilayah Sumatera Barat, rasanya sangat lumrah jika seorang Irman Gusman berupaya dengan segala cara untuk membela kepentingan masyarakat yang telah memilihnya serta menghantarkannya menduduki pucuk pimpinan tertinggi di DPD RI. Terlebih ketidakmampuan Bulog untuk melakukan operasi pasar guna menekan harga gula di Sumbar saat itu menjadi terbantu melalui peran yang bersangkutan.

Singkat cerita, Irman Gusman pun mengenalkan Dirut Bulog, Djarot Kusumayakti kepada Memi dan Xaveriandy Sutanto dari CV Semesta Berjaya yang berencana akan mendistribusi gula impor untuk wilayah Sumbar sebesar 1.000 ton. Solusi pun terjadi. 

Harga gula turun karena kelangkaan pasokan gula pada saat itu langsung segera teratasi. Dalam perspektif yang luas, tindakan yang dilakukan Irman Gusman kala itu merupakan sikap heroik seorang wakil rakyat terhadap konstituennya.

Ironinya, sikap tersebut justru mendatangkan petaka hukum!

Kekeliruan Dalam Pemeriksaan Kasus 

Menurut para Guru Besar Hukum Pidana dan Sosiologi Hukum yang memberikan anotasinya dalam buku yang penulis sebutkan sebelumnya, KPK serta Majelis Hakim telah melakukan sejumlah kekeliruan dalam pemeriksaan kasus ini. 

Sejumlah kekeliruan umum seperti mempertontonkan Irman Gusman melalui konperensi pers hingga mengakibatkan munculnya trial by press hingga menimbulkan presumption of punishment bahkan jauh sebelum ada putusan dari pengadilan yang menetapkannya sebagai pelanggar hukum.

Selanjutnya adalah menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka atas tuduhan menerima suatu imbalan dan memperdagangkan pengaruhnya kepada Bulog untuk mengalokasikan gula impor melalui kenalannya di Sumatera Barat. 

Padahal perdagangan pengaruh, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 United Nations Covention Against Corruption, meskipun sudah diratifikasi dengan Undang-undang No.7/2006, belum bisa dijadikan alat untuk menghukum seseorang, karena belum ada aturan dan pasal tentang sanksi apa yang bisa dijatuhkan kepada si pedagang pengaruh.

Penggunaan Pasal 12 huruf b KUHP oleh Majelis Hakim sebagai pasal yang dilanggar Irman Gusman juga dinilai tidak tepat oleh para annotator. Karena sebagai Ketua DPD RI, yang bersangkutan tidak memiliki kewenangan apapun untuk menentukan kuota gula impor, sementara tindakan merekomendasikan kenalan sebagai mitra Bulog untuk melakukan pendistribusian gula di wilayah Sumatera Barat merupakan kewajiban dan tanggung jawab sebagai wakil daerah yang harus memperhatikan keluhan serta aspirasi masyarakat yang diwakilinya.

Terlebih, aspek manfaat dari tindakan yang dilakukan oleh senator Irman Gusman dalam upaya menurunkan harga gula yang sudah melambung tinggi di Sumatera Barat sama sekali tidak menjadi bahan pertimbangan Majelis Hakim saat akan memutuskan vonis terhadap yang bersangkutan.

Belum lagi kondisi euphoria reformasi membuat tekanan publik menjadi sangat besar dalam mempengaruhi proses hukum. Dimana Majelis Hakim dituntut oleh publik untuk memberikan hukuman seberat-beratnya, dan seolah dengan memberi hukuman yang berat menjadi prestasi tersendiri bagi Majelis Hakim, tanpa mengindahkan rasa keadilan melalui hati nurani. Dalam kasus ini bahkan Majelis Hakim memutuskan hukuman diluar tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), terkait pencabutan hak politik, layaknya seorang musuh negara.

Hal tersebut membuat penulis bertanya, apakah sosok Irman Gusman memang merupakan musuh negara hingga hak politiknya harus dicabut sedemikian kejam? Ataukah ia hanya musuh bagi institusi yang pernah diwakilinya saja?

Satu hal lagi yang luput dari pengamatan kita akan kasus ini, yaitu adanya upaya manuver politik di DPD RI. Dimana sejumlah senator berusaha menjatuhkan posisi Irman Gusman dengan jalan memangkas masa jabatannya melalui perubahan tata tertib, dari yang sebelumnya masa jabatan Ketua DPD RI berlangsung selama 5 tahun menjadi 2,5 tahun. Dan hal itu pun terjadi beberapa saat menjelang yang bersangkutan terkena atraksi tangkap tangan oleh KPK.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun