Mohon tunggu...
SUMARDIONO
SUMARDIONO Mohon Tunggu... Penulis - Penyuluh Agama Islam Fungsional Kemenag Kabupaten Gresik

Sumardiono atau biasa dipanggil mas Dion mengabdi sebagai Penyuluh Agama Islam Fungsional di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Gresik. Bertugas di KUA Kebomas. Sarjana lulusan Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Magister Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya. Disamping melakukan kegiatan kepenyuluhan, ia juga menulis beberapa artikel dan buku. Sosok yang sederhana. Suka dengan ilmu dan membaginya. Kajian favoritnya berkaitan dengan studi agama, filsafat, tasawuf, sosial-budaya, pemberdayaan masyarakat, literasi zakat wakaf, kebijakan publik, sertifikat halal, perkembangan dunia islam dan isu-isu kontemporer. Mas Dion juga tertarik dengan perkembangan sains dan teknologi. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam didepan laptop dan membicarakan atau mendengar kajian masalah agama, masalah sosial budaya, isu politik, masalah filosofis. Tujuan besarnya adalah ingin memberi manfaat dan berbagi pada sesama tanpa membedakan suku, agama, ras dan budaya.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ketika Dunia Dikepung Narasi AI: Alarm dari Yoval Noah Harari

22 Desember 2024   11:13 Diperbarui: 22 Desember 2024   11:13 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.youtube.com/watch?v=thZUMaGEE-8&t=2624s

Yuval Noah Harari memukul gong peringatan. Dunia ini sudah penuh dengan kebohongan, ilusi, dan narasi yang dibelokkan. Sebelumnya perlu diketahui bahwa Yuval Noah Harari adalah seorang sejarawan, filsuf, dan penulis asal Israel yang lahir pada 24 Februari 1976 di Kiryat Ata, Israel. Ia memperoleh gelar doktor (Ph.D.) dalam sejarah dari Universitas Oxford pada tahun 2002. Harari adalah profesor di Departemen Sejarah Universitas Ibrani Yerusalem.

Penelitiannya berfokus pada sejarah dunia, evolusi manusia, dan hubungan antara teknologi, biologi, dan masyarakat. Tapi dengan Artificial Intelligence atau Kecerdasan Buatan (red-AI), ancaman itu bukan lagi gelombang, melainkan tsunami. Informasi yang salah, kata Harari, adalah racun. Racun yang bisa menghancurkan bahkan peradaban yang paling maju. Dan celakanya, AI justru mempercepat penyebaran racun itu.

Harari tidak anti-AI. Dia tahu, teknologi ini bisa jadi pisau bedah yang menyelamatkan, tetapi bisa juga jadi pisau dapur yang menusuk. Semua tergantung siapa yang memegangnya. Tapi di sinilah letak masalahnya. Saat ini, AI adalah alat tanpa pengawas, tanpa aturan main yang jelas.

Sejarah mencatat, bukan fakta, melainkan narasi yang menggerakkan manusia. Dari revolusi hingga perang dunia, manusia lebih percaya pada cerita daripada kebenaran. Dengan AI, kemampuan menciptakan cerita semakin tak terbatas. Harari melihat potensi bahaya di sini. AI bisa menjadi "penulis ulung" yang menciptakan narasi-narasi berbahaya, yang mampu memanipulasi opini publik secara masif. Ia khawatir, narasi palsu yang dirancang AI akan lebih berbahaya daripada senjata nuklir.

Harari juga menyoroti masalah yang tak kalah pelik: krisis kepercayaan pada institusi. Institusi seperti jurnalis, hakim, dan ilmuwan dulunya adalah benteng terakhir kebenaran. Tapi kini, algoritma media sosial merongrongnya. Algoritma itu, tanpa niat jahat sekalipun, lebih mementingkan engagement daripada keakuratan. Hasilnya? Informasi palsu menyebar lebih cepat dari apapun. Kasus di Myanmar menjadi contoh nyata. Kebencian terhadap Rohingya yang diperparah algoritma Facebook, menurut Harari, adalah bencana kemanusiaan yang seharusnya bisa dicegah.

Dalam demokrasi, kata Harari, informasi adalah pondasinya. Ketika teknologi informasi berubah, demokrasi ikut goyah. Siapa yang mengontrol informasi, dialah yang menentukan arah demokrasi. Di era algoritma, tantangan ini semakin nyata. Siapa yang memastikan AI tidak disalahgunakan untuk memutarbalikkan fakta atau memperkuat posisi pemimpin otoriter?

Harari tidak menyerah. Solusinya ada, katanya. Regulasi. Bukan aturan setengah hati, melainkan regulasi yang ketat. Ia percaya, institusi yang kuat adalah kunci. Tapi institusi itu harus cepat beradaptasi dengan era digital, atau mereka akan tenggelam.

Ada satu analogi menarik dari Harari: informasi itu seperti makanan. Dulu, informasi begitu langka, seperti makanan di masa paceklik. Kini, kita dibanjiri informasi seperti orang yang dimanjakan all-you-can-eat. Bedanya, banyak informasi itu seperti junk food---tidak sehat, penuh kebencian, penuh ketakutan. "Kalau Anda tidak hati-hati memilih informasi, pikiran Anda akan sakit," ujar Harari.

Ketakutan terbesar Harari adalah manusia kehilangan kontak dengan realitas. AI bisa menciptakan dunia maya yang terlihat begitu nyata, hingga kita lupa mana yang faktual dan mana yang fantasi. Tapi ironisnya, AI juga bisa menjadi alat untuk memahami diri kita lebih baik. Ia menyebut AI seperti dokter atau terapis, yang mampu membaca emosi kita lebih baik dari kita sendiri. Namun, tetap ada pertanyaan besar: bagaimana kita menjaga kendali?

Harari tidak hanya mengkritik; dia menawarkan solusi. Regulasi global yang transparan adalah langkah pertama. Ia juga menekankan pentingnya literasi digital. Masyarakat harus belajar memilih informasi yang sehat, sama seperti memilih makanan yang bergizi. Dan yang tak kalah penting, institusi harus tetap menjadi penjaga kebenaran, meski tekanan datang dari segala arah.

Yuval Noah Harari tidak berbicara dengan nada berlebihan. Peringatan yang ia sampaikan seperti lonceng gereja yang berdentang keras, memanggil siapa pun yang mau mendengarkan. Dunia ini bukan lagi seperti ladang subur tempat informasi tumbuh dengan damai. Kini, ia adalah medan perang narasi, di mana fakta dan kebohongan bertarung memperebutkan ruang dalam pikiran manusia.

Dengan hadirnya kecerdasan buatan (AI), medan perang ini menjadi semakin kompleks. Harari menyebut AI sebagai katalis yang mempercepat penyebaran "racun informasi." Racun ini tidak hanya mempengaruhi individu, tetapi juga meruntuhkan institusi dan mengancam stabilitas demokrasi. AI bisa menjadi alat revolusi yang positif, tapi di tangan yang salah, ia juga bisa menjadi pisau yang mengiris dalam.

Narasi telah menjadi kekuatan yang mendominasi sejarah manusia. Revolusi Perancis, Deklarasi Kemerdekaan Amerika, hingga perang dunia semuanya dimulai dari narasi kuat yang dipercaya massa. Dalam era AI, narasi ini tidak lagi murni berasal dari manusia. Mesin-mesin pintar kini bisa menciptakan cerita yang begitu meyakinkan, hingga sulit dibedakan dari kenyataan.

Bahaya terbesar, menurut Harari, adalah kemampuan AI untuk memanipulasi opini publik melalui narasi-narasi yang dibuat khusus untuk melemahkan daya kritis. Dengan algoritma yang dirancang untuk memahami psikologi massa, AI mampu menciptakan ilusi kolektif yang lebih efektif daripada propaganda tradisional. "Bom nuklir menghancurkan fisik," kata Harari. "Tapi narasi palsu menghancurkan pikiran."

Ketika Harari berbicara tentang krisis kepercayaan, ia menyinggung sesuatu yang lebih besar daripada sekadar ketidakpercayaan kepada media atau politisi. Institusi seperti pengadilan, jurnalisme, dan akademisi---yang selama ini menjadi benteng terakhir kebenaran---tengah menghadapi ancaman dari dua arah. Di satu sisi, algoritma media sosial seperti Facebook dan YouTube mengutamakan klik daripada fakta. Di sisi lain, publik semakin skeptis terhadap institusi ini, menganggap mereka tidak lagi netral.

Teknologi informasi telah mengubah wajah demokrasi sejak awal. Dari surat kabar hingga televisi, dan sekarang media sosial, setiap era membawa tantangan baru. Namun, menurut Harari, dampak AI terhadap demokrasi jauh lebih dalam. "Yang memiliki kontrol atas informasi," katanya, "memiliki kontrol atas dunia."

AI kini mampu memengaruhi opini politik dengan cara yang sulit dilacak. Dari iklan mikro-target hingga berita palsu yang disamarkan sebagai fakta, teknologi ini mempersulit demokrasi untuk menjalankan fungsinya sebagai sistem yang transparan. Harari menekankan perlunya regulasi ketat untuk memastikan AI tidak menjadi alat bagi pemimpin otoriter untuk memperkuat kekuasaannya.

Salah satu kekhawatiran terbesar Harari adalah potensi AI untuk menciptakan dunia ilusi. Dunia di mana manusia kehilangan kontak dengan kenyataan karena tenggelam dalam narasi yang dirancang mesin. Tapi Harari juga mengakui bahwa AI memiliki sisi positif. Sebagai contoh, AI bisa membantu manusia memahami emosi mereka lebih baik, seperti seorang terapis yang tidak pernah lelah. Namun, pertanyaan besarnya tetap sama: bagaimana kita memastikan bahwa AI tetap berada di bawah kendali manusia?

Harari tidak hanya berbicara tentang ancaman; ia juga menawarkan solusi. Regulasi global yang ketat adalah langkah pertama. Tapi lebih dari itu, masyarakat harus meningkatkan literasi digitalnya. Harari percaya, setiap orang harus belajar bagaimana memilih informasi yang benar dan relevan.

Ia juga mendorong institusi untuk beradaptasi. Institusi yang lambat menanggapi perubahan teknologi akan tenggelam di bawah arus digitalisasi. Namun, dengan kepemimpinan yang visioner, institusi ini bisa menjadi benteng pertahanan melawan manipulasi informasi.

Harari tidak ingin dunia menyerah pada pesimisme. Masa depan, katanya, masih berada di tangan kita. Tapi itu membutuhkan keberanian untuk menghadapi teknologi dengan kepala dingin dan hati yang jernih. Jika manusia mampu mengendalikan AI, bukan sebaliknya, Harari yakin kita bisa menciptakan dunia di mana teknologi tidak hanya menjadi alat, tetapi juga sekutu bagi kemanusiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun