Yuval Noah Harari tidak berbicara dengan nada berlebihan. Peringatan yang ia sampaikan seperti lonceng gereja yang berdentang keras, memanggil siapa pun yang mau mendengarkan. Dunia ini bukan lagi seperti ladang subur tempat informasi tumbuh dengan damai. Kini, ia adalah medan perang narasi, di mana fakta dan kebohongan bertarung memperebutkan ruang dalam pikiran manusia.
Dengan hadirnya kecerdasan buatan (AI), medan perang ini menjadi semakin kompleks. Harari menyebut AI sebagai katalis yang mempercepat penyebaran "racun informasi." Racun ini tidak hanya mempengaruhi individu, tetapi juga meruntuhkan institusi dan mengancam stabilitas demokrasi. AI bisa menjadi alat revolusi yang positif, tapi di tangan yang salah, ia juga bisa menjadi pisau yang mengiris dalam.
Narasi telah menjadi kekuatan yang mendominasi sejarah manusia. Revolusi Perancis, Deklarasi Kemerdekaan Amerika, hingga perang dunia semuanya dimulai dari narasi kuat yang dipercaya massa. Dalam era AI, narasi ini tidak lagi murni berasal dari manusia. Mesin-mesin pintar kini bisa menciptakan cerita yang begitu meyakinkan, hingga sulit dibedakan dari kenyataan.
Bahaya terbesar, menurut Harari, adalah kemampuan AI untuk memanipulasi opini publik melalui narasi-narasi yang dibuat khusus untuk melemahkan daya kritis. Dengan algoritma yang dirancang untuk memahami psikologi massa, AI mampu menciptakan ilusi kolektif yang lebih efektif daripada propaganda tradisional. "Bom nuklir menghancurkan fisik," kata Harari. "Tapi narasi palsu menghancurkan pikiran."
Ketika Harari berbicara tentang krisis kepercayaan, ia menyinggung sesuatu yang lebih besar daripada sekadar ketidakpercayaan kepada media atau politisi. Institusi seperti pengadilan, jurnalisme, dan akademisi---yang selama ini menjadi benteng terakhir kebenaran---tengah menghadapi ancaman dari dua arah. Di satu sisi, algoritma media sosial seperti Facebook dan YouTube mengutamakan klik daripada fakta. Di sisi lain, publik semakin skeptis terhadap institusi ini, menganggap mereka tidak lagi netral.
Teknologi informasi telah mengubah wajah demokrasi sejak awal. Dari surat kabar hingga televisi, dan sekarang media sosial, setiap era membawa tantangan baru. Namun, menurut Harari, dampak AI terhadap demokrasi jauh lebih dalam. "Yang memiliki kontrol atas informasi," katanya, "memiliki kontrol atas dunia."
AI kini mampu memengaruhi opini politik dengan cara yang sulit dilacak. Dari iklan mikro-target hingga berita palsu yang disamarkan sebagai fakta, teknologi ini mempersulit demokrasi untuk menjalankan fungsinya sebagai sistem yang transparan. Harari menekankan perlunya regulasi ketat untuk memastikan AI tidak menjadi alat bagi pemimpin otoriter untuk memperkuat kekuasaannya.
Salah satu kekhawatiran terbesar Harari adalah potensi AI untuk menciptakan dunia ilusi. Dunia di mana manusia kehilangan kontak dengan kenyataan karena tenggelam dalam narasi yang dirancang mesin. Tapi Harari juga mengakui bahwa AI memiliki sisi positif. Sebagai contoh, AI bisa membantu manusia memahami emosi mereka lebih baik, seperti seorang terapis yang tidak pernah lelah. Namun, pertanyaan besarnya tetap sama: bagaimana kita memastikan bahwa AI tetap berada di bawah kendali manusia?
Harari tidak hanya berbicara tentang ancaman; ia juga menawarkan solusi. Regulasi global yang ketat adalah langkah pertama. Tapi lebih dari itu, masyarakat harus meningkatkan literasi digitalnya. Harari percaya, setiap orang harus belajar bagaimana memilih informasi yang benar dan relevan.
Ia juga mendorong institusi untuk beradaptasi. Institusi yang lambat menanggapi perubahan teknologi akan tenggelam di bawah arus digitalisasi. Namun, dengan kepemimpinan yang visioner, institusi ini bisa menjadi benteng pertahanan melawan manipulasi informasi.
Harari tidak ingin dunia menyerah pada pesimisme. Masa depan, katanya, masih berada di tangan kita. Tapi itu membutuhkan keberanian untuk menghadapi teknologi dengan kepala dingin dan hati yang jernih. Jika manusia mampu mengendalikan AI, bukan sebaliknya, Harari yakin kita bisa menciptakan dunia di mana teknologi tidak hanya menjadi alat, tetapi juga sekutu bagi kemanusiaan.