Bayangkan seorang rekan kerja yang merasa iri karena koleganya mendapat promosi. Iri ini memengaruhi perilakunya; ia mulai menyebarkan desas-desus untuk menjatuhkan rekannya. Dari sudut pandang neurosains, perilaku ini mungkin mencerminkan ketidakseimbangan neurotransmitter seperti dopamin, yang memengaruhi perasaan penghargaan dan kepuasan. Dalam konteks psikologi, tindakan ini adalah pelarian dari rasa rendah diri, sementara dalam perspektif Islam, hal ini melibatkan ketidakmampuan untuk menerima takdir Allah dengan ikhlas.
Sebaliknya, seorang yang sombong sering terlihat mendominasi percakapan, menyombongkan pencapaiannya, dan meremehkan orang lain. Ini mungkin cara untuk menutupi perasaan tidak aman yang dalam. Namun, perilaku ini memperburuk hubungan sosial dan dapat berujung pada isolasi emosional.
Iri, dengki, dan sombong tidak hanya merusak hubungan manusia, tetapi juga memiliki konsekuensi serius terhadap kesehatan mental dan fisik. Pendekatan holistik yang menggabungkan neurosains, psikologi, dan spiritualitas dapat membantu memahami akar masalah ini dan mencari solusi. Dengan memperkuat kontrol diri, bersyukur, dan meningkatkan kesadaran akan hubungan manusia dengan Tuhan, kita dapat mengatasi sifat-sifat ini dan menciptakan kehidupan yang lebih damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H