Mohon tunggu...
Dicki Andrea
Dicki Andrea Mohon Tunggu... Freelancer - A Full Stack Developer | Learner

Nothing to lose for to be gratefull

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tak Usah Mencari, Cukup Memantaskan

5 Maret 2019   18:30 Diperbarui: 5 Maret 2019   18:42 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Judul di atas sepertinya cukup layak sebagai tanggapan dari maraknya kasus perceraian yang terjadi di Indonesia. Sekaligus tanggapan bagi kalangan muda yang banyak bernafsu untuk segera menikah namun tidak menyadari kesiapan dirinya dalam pernikahan yang ia harapkan. 

Tren nikah muda yang saat ini sedang berkembang memang diharapkan dapat meminimalisir terjadinya tindak kejahatan seksual ataupun perzinahan. Namun perlu diperhatikan pula mengenai kesiapan dan lainnya, jangan sampai tren nikah muda justru akan terus berbanding lurus dengan jumlah perceraian di Indonesia. Oleh karena itu, tanggapan terhadap fenomena ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru sekaligus memberi manfaat positif bagi para pembaca.

Pernikahan adalah peristiwa sangat sacral. Pernikahan bukan hanya sekedar mengatakan ikrar setia kepada pasangan karena cinta atau saling menyukai melainkan pula perjanjian atas niat baik kepada Allah SWT sebagai bentuk ketaatan karena dalam islam pernikahan adalah bagian dari sepertiga ibadah. 

Pernikahan adalah proses ibadah yang terpanjang karena batasnya adalah kematian. Pasangan yang mampu menghadirkan sakinah dan mawadah dalam keluarganya bisa menjadi pahala investasi buatnya namun dapat pula berujung dosa investasi apabila justru dirinya gagal memegang amanah itu.

Merujuk pada data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung, Tingkat perceraian keluarga Indonesia dari waktu ke waktu memang semakin meningkat. Data tahun 2016 misalnya, angka perceraian mencapai 19,9 % dari 1,8 juta peristiwa. Sementara data 2017, angkanya mencapai 18,8 % dari 1,9 peristiwa. 

Kenaikan ini sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 2010 dan apabila dilihat dari angka kenaikannya pada kurun waktu tahun 2010 - 2015 angka perceraian naik sekitar 15-20 persen. Pada tahun 2010 ada 285,184 gugatan cerai sedangkan pada tahun 2015 ada 347,256 gugatan cerai. 

Jumlah itu tidak bisa terbilang sedikit apalagi melihat dari data yang disampaikan mayoritas gugatan cerai terjadi di pasangan suami-istri dengan umur pernikahan kurang dari 5 tahun dan pasangan berusia dibawah 35 tahun.

Menanggapi hal itu Menteri Agama Lukman Hakin Saifudin mengaku prihatin dengan data-data tersebut. Menurutnya, sudah terjadi pergeseran luar biasa terkait substansi dan kesakralan perkawinan yang dianut semua agama. Ia menduga, sebagian generasi saat ini menganggap perceraian itu bukan semata karena ketidakcocokan antara suami istri tetapi karena sesuatu yang bisa direncanakan.

"Karena mereka sebelum nikah sudah saling bersepakat, antara pasangan laki-laki dan perempuan, kalau kita nikah dua tahun saja, atau tiga tahun saja, setelah itu kita cerai," kata Lukman di Palu, Sulteng (Dikutip dari portal berita era.id dengan judul "Fakta di Balik Tingginya Angka Perceraian di Indonesia" edisi 18 September 2018)

Penyebab Perceraian

Dalam aturan yang berlaku di Indonesia, gugatan perceraian dapat diajukan dengan alasan-alasan yang kuat menurut hukum setelah pengadilan negeri atau pengadilan agama berupaya mendamaikan pasangan suami istri, tetapi tidak berhasil. Alasan-alasan ini diatur Pasal 39-41 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 74.
Mengutip dari Pasal 19 PP Pelaksaan UU Perkawinan. Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut :

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembunyikan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Adapun tambahan bagi pasanagan suami istri yang beragama Islam yakni suami melanggar taklik-talak (ikrar/perjanjian talak yang digantungkan keadaan tertentu setelah pernikahan) dan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadi ketidakrukunan dalam berumah tangga.

Persepsi yang salah mengenai pernikahan

Meskipun angka perceraian lebih banyak disebabkan oleh ketidakharmonisan dan permasalahan ekonomi seperti pendapat yang disampaikan oleh Venny Octarini Sirigar berdasarkan data LBH APIK, kekerasan rumah tangga tak hanya berbentuk kekerasan fisik, tetapi termasuk psikis, seksual dan ekonomi. Itu sebabnya banyak dari pihak perempuan/istri yang berani mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama.

Pendapat lainnya disampaikan oleh Menteri Agama, Lukman Hakim Saifudin. Menurutnya tingginya kasus perceraian di kalangan pasangan dengan umur pernikahan dibawah 5 tahun itu terjadi berbanding lurus dengan angka kenaikan pernikahan muda di Indonesia. 

Maraknya perceraian terjadi dikalangan tersebut pun akibat kurangnya wawasan yang baik mengenai pernikahan serta peran orang tua (ayah dan ibu) sebagai perubahan status setelah menikah. 

"Setelah generasi muda kita menjadi ayah dan ibu nantinya, mereka harus diberikan wawasan yang baik, agar angka perceraian dan kekerasan rumah tangga tidak semakin meningkat," tutup Lukman.

Merujuk pada data di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa maraknya kasus perceraian di Indonesia berbanding lurus dengan tren kenaikan nikah muda dikalangan milenial. Pengajaran yang mendorong sisi kebaikan dari nikah muda seperti tentang poin-poin kebagiaan ternyata tidak cukup efektif mengatasi permasalahan (perzinahan, pelecehan seksual dan pergaulan bebas) yang terjadi di Indonesia. 

Upaya tersebut justru menimbulkan permasalahan baru yang tak lain adalah meningkatnya kasus perceraian di kalangan muda dengan umur pernikahan yang relatif masih muda yaitu kurang dari 5 tahun.

Keinginan menikah di usia muda sebenarnya tidak ada yang salah. Yang salah adalah ketika keinginan tersebut hanya didasar karena nafsu dan cinta belaka sebab pernikahan sekali lagi bukan hanya tentang cinta melainkan sesuatu yang lebih dari itu. Alangkah elok apabila kalangan muda saat ini menyadari akan kesiapan dirinya untuk menempuh hidup baru itu. 

Berfikir realistis dengan jernih dan penuh ketelitian. Terlebih jangan sampai khawatir tidak akan mendapat jodoh karena jodoh Allah SWT sudah mengaturnya untuk masing-masing individu. Oleh karena itu, sekali lagi "Tak usah mencari, Cukup memantaskan". Dan yakinlah Allah SWT akan mendekatkan kita dengan jodoh kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun