Mohon tunggu...
Dicki Andrea
Dicki Andrea Mohon Tunggu... Freelancer - A Full Stack Developer | Learner

Nothing to lose for to be gratefull

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

3 Maret 1924, Mengenang Runtuhnya Khalifah Utsmaniyah

3 Maret 2019   15:52 Diperbarui: 3 Juli 2021   00:16 12631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengenang Runtuhnya Khalifah Utsmaniyah (unsplash/abdullah-oguk)

Pada tanggal 3 Maret 1924 Khilafah Utsmaniyah atau juga dikenal dengan Kesultanan Turki Ustmani (Ottoman) runtuh. Kejayaan islam yang sudah tegak berdiri sejak 13 abad yang lalu dan menguasai 2/3 wilayah dunia tersebut saat ini hanya bisa menjadi fakta sejarah yang tak bisa dilupakan oleh umat manapun.

Umat islam yang dahulu bersatu dibawah penerapan syariat Islam secara penuh dengan Al-Quran sebagai dasar negara hancur tercerai-berai menjadi lebih dari 50 negara. Umat islam yang dahulu disegani dan dihormati saat ini tak lebih jadi bahan fitnah dan target kebencian umat-umat lain. Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah menjadi awal penderitaan umat islam saat ini.

Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah sendiri terjadi begitu kompleks dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama hingga akhirnya benar-benar runtuh dengan ditandainya deklarasi perubahan system pemerintahan menjadi Republik oleh Mustafa Kemal Attaturk. Alur sejarah tersebut dapat kita telusuri dari berbagai sumber yang secara garis besar akan sama, bahwa Khilafah terlibat Perang Dunia I di Blok Poros melawan Blok Sekutu.

Baca juga : Palestina, Khilafah, dan Upaya Mewujudkan Perdamaian

Dalam perang itu Blok Poros akhirnya menjadi pihak yang kalah dan sebagai konsekuensinyaa mereka dipaksa untuk menerima syarat-syarat perdamaian yang kemudian memicu runtuhnya Khilafah Utsmaniyah.

Mengutip pemaparan sejarah dari Eugene Rogan dalam bukunya berjudul "The Fall Of The Khilafah". Setelah kekalahannya di Perang Dunia I, khilafah dituntun untuk melakukan pembagian wilayahnya ke tangan sekutu. 

Mereka harus melepaskan seluruh wilayah Arab, kemudian wilayah Anatolia Timur yang dihuni bangsa Armenia, lalu wilayah Anatolia Barat yang terletak di Eropa, serta beberapa kota penting untuk berada di bawah kendali sekutu secara de facto. Pembagian wilayah tersebut praktis menjadikan Khilafah sebagai negeri yang jauh lebih kecil.

Akibat dari adanya perundingan tersebut, memicu munculnya gerakan penolakan dari beberapa kalangan salah satunya adalah mereka yang mengatasnamakan dirinya sebagai Gerakan Nasional Turki. Mereka bisa menerima syarat seperti hilangnya provinsi-provinsi Arab, namun mereka tidak bisa menerima dipecahnya wilayah yang "dihuni oleh mayoritas muslim Utsmaniyah, yang bersatu dalam agama, ras dan tujuan yang sama".

Mereka menghendaki batas-batas yang kelak akan menjadi territorial negara Turki modern. Bagi mereka batas itu harus diperjuangkan meskipun dengan konfrontasi. Gerakan seperti ini kemudian ditanggapi oleh Khalifah dengan menganggap mereka sebagai ancaman yang akan memecah belah Khilafah.

Baca juga : Kedepankan Kemanusiaan Hilangkan Isu Khilafah

Tokoh utama mereka yaitu Mustama Kemal akhirnya dijatuhi hukuman mati namun tidak berhasil terlaksana karena banyak penentangan yang menolak hukuman tersebut. Hal tersebut karena saat itu Mustapa Kemal dianggap pahlawan karena berhasil memenangi pertempuran penting di Gallipoli. Sejarah kemudian membuktikan bahwa keputusan Utsmaniyah keliru. Kedaulatan wilayah Turki tidak bisa dipertahankan dengan perundingan damai.

Mustafa Kemal justru berhasil mengambil kembali wilayah di Kaukasus, di Anatolia Barat melalui pertempuran sengit. Tak pelak kemenangan ini menghadirkan simpati warga atas Gerakan Nasional Turki. Ketika pemungutan suara 1 November 1922 dilakukan Majlis Nasional Agung Turki, Khilafah Utsmaniyah dihapuskan selama-lamanya.

Meski begitu, system khilafah (syariat Islam) dibeberapa bidang masih diberlakukan hal ini sama seperti yang terjadi pada tahun 1908 meski terjadi pemungutan suara hingga akhirnya terbentuk dewan parlemen baru yang diketuai Ahmad Riza dari perkumpulan Persatuan dan Kemajuan (salah satu gerakan yang menjadi musuh politik Khalifah Abdul Hamid II) syariat islam sebagai bagian dari Sistem Kekhilafahan masih berlaku.

Puncak dari dimulaikan penderitaan umat islam adalah peristiwa yang terjadi pada tanggal 3 Maret 1924 yakni dihapuskannya system pemerintahan Islam yakni Khilafah oleh Mustafa Kemal Attaturk yang kemudian diganti dengan system pemerintahan Republik. 

Namun tidak hanya itu, Mustafa Kemal pun melakukan pemenuhan beberapa syarat lain yang diajukan oleh Inggris untuk mengakui kekuasaannya yaitu mengasingkan keluarga Utsmaniyah di luar perbatasan, memproklamirkan berdirinya negara secular dan membekukan hak milik dan harta milik keluarga utsmaniyah.

Sejak saat itu pula Mustafa Kemal mulai mengaburkan pemahaman Islam pada umat islam saat itu, Bahasa Arab dihapuskan dan diganti dengan penggunaan Bahasa Turki sebagai Bahasa resmi, pelarangan penggunaan topi merah karena dianggap sebagai assesoris pakaian khas Kekhilafahan Utsmani, pelafalan adzan dengan Bahasa Turki bukan Bahasa Arab dan lain sebagainya.

Baca juga : Khilafah Islam, Khilafah Cinta dan Kasih Sayang, Bukan Khilafah Kebencian

Hingga saat ini, 95 tahun silam umat islam tidak hidup dalam lingkup Khilafah Islamiyah membuat umat islam terus terpuruk dengan kemunduran yang memprihatinkan. 

Menurut Syeik Ismail Raji Al Faruqi kemunduran umat Islam saat ini dalam berbagai bidang kehidupan telah menempatkan umat Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah. 

Bahkan bukan hanya itu tetapi kaum muslimin telah dikalahkan, dibantai, dirampas negerinya dan kekayaannya. Umat islam difitnah dan dijelek-jelekkan dihadapan seluruh bangsa-bangsa.

Umat islam dituduh agresif deskruktif, mengingkari hokum positif, teroris, biadab, fanatic, fundamentalis, kuno dan menentang zaman, sehingga umat islam menjadi sasaran kebencian bagi orang non muslim. Dalam kondisi seperti ini masyarakat muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. 

Hal ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan westernisasi. Namun ternyata, jalan yang ditempuh melalui jalan westernisasi telah menghancurkan umat Islam sendiri dari ajaran al-Quran dan hadis. Sebab berbagai pandangan Barat, diterima umat Islam tanpa dibarengi dengan adanya Filter.

Sehingga menurutnya masalah yang terjadi pada umat Islam saat ini adalah karena kesalahan umat Islam itu sendiri. Pertama, banyak umat Islam yang tidak bangga akan keislamannya. 

Dan kedua, banyak umat Islam yang hanya pintar karena ia hafal apa yang ia hafalkan bukan karena ia mengerti sehingga kepintarannya tidak mendorongnya untuk menciptakan perubahan bagi kondisi umat Islam saat ini. Baginya, hal tersebut disebabkan karena dunia Islam tidak memiliki ruh wawasan vertical yaitu wawasan Islam.

Oleh karena itu saat ini menjadi momen yang luar biasa bagi umat Islam untuk kembali berintropeksi diri terkhusus bagi tiap-tiap individu, sudahkan bangga atas keislaman yang ada dalam diri kita? Sudahkan berlaku adil dan memberi penuh manfaat atas ilmu yang dimiliki? 

Janganlah menjadi ingkar atas apa yang telah dikabarkan oleh Allah SWT bahwa sesungguhnya umat islam adalah umat yang terbaik yang melakukan amar ma'ruf nahi mungkar. Sebagai individu kita harus mampu menghadirkan Islam rahmatan lil alamin benar-benar terwujud dalam kehidupan bermasyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun