Oleh : Didik Setiawan
Ketua Umum DKN Laskar Santri Nusantara
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jakarta
"Intoleransi" dalam Pilkada DKI 2017-2022
Toleransi secara signifikan dipengaruhi oleh ras, tingkat pendidikan formal, ideologi dan tingkat partisipasi politik, Serta penyebab intoleransi yang pertama adalah Absolutisme atau Kesombongan Intelektual, yang kedua eksklusivisme atau kesombongan social, Ketiga adalah Fanatisme adalah kesombongan emosional, keempat adalah ekstremisme adalah berlebih-lebihan dalam bersikap dan yang kelima adalah agresivisme yaitu berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik.
Mengutip dari tersebarnya pidato calon Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 yaitu calon Basuki Tjahya Purnama dimana calon tersebut memberikan pernyataan terkait Keyakinan umat Islam dalam mengimani Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 51 dengan mengatakan Umat Islam “dibodohi” dengan ayat itu. Serta tuntutan agar Ahok meminta maaf kepada seluruh umat muslim dengan keikhlasanya dan jika tidak mengakui maka Aparatur Hukum disarankan agar bekerja sebagaimana mestinya.
Dalam Hal ini menurut video tanggapan AA Gym sebagai reaksi atas apa yang disampaikan oleh Basuki Tjahya Purnama selaku cagub dan Gubernur Jakarta ini sangat melukai kepada kaum Muslim Indonesia yang Mengimani Al-Qur’an dan selalu mengkampanyekan sikap Toleransi dan saling menghargai serta boleh dibilang Mayoritas Muslim terbesar Dunia yang melaksanakan sikap Toleransi dan saling menghargai antar umat beragama yang memiliki kemajuan terbaik dan menjadi contoh Islam Toleran Dunia.
Perilaku Politik tidak santun dalam menyinggung Keimanan Agama
Meskipun kampanye pemilu masih belum resmi dimulai, sedikit intoleransi politik sudah dapat terdeteksi di Pilgub DKI 2017-2022 ini. Intoleransi politik pada dasarnya tidak hanya menjijikkan, tapi juga berbahaya ketika menjadi budaya dan dapat menyebabkan pemicu kekerasan. Sebuah budaya intoleransi politik yang tidak diinginkan dan biasanya politik ini terinspirasi atas kekerasan ucapan atau kekerasan dalam kebijakan. Menghindari bahaya ini adalah tugas seluruh spektrum politik dan tanggung jawab bersama. Oleh karena itu, pimpinan partai politik, masyarakat, Masjid, Gereja, otoritas tradisional dll. harus mengambil posisi tegas tentang masalah ini, yaitu bahwa "tidak ada bentuk kekerasan politik baik lisan maupun perilaku kebijakan yang harus ditoleransi”.
Peran Pimpinan Partai Politik dan Penegak Hukum
Para pemimpin politik adalah individu yang sangat berpengaruh di kalangan pendukung dan simpatisan mereka dan karena itu bangsa mengharapkan mereka untuk mempromosikan pemahaman dan toleransi dalam pandangan politik. kampanye pemilu di Indonesia bebas sudah bebas dari perjuangan bersenjata, tapi ramah wacana politik didasarkan atas persuasi ketika bersaing untuk dukungan rakyat dalam rangka untuk mendapatkan kekuasaan dan hak untuk memerintah. Konteks di mana partai-partai politik melakukan kampanye mereka ditandai dengan berbeda, etnis, garis ekonomi dan ideologi agama dan perbedaan lainnya. Oleh karena itu, peran utama mereka adalah untuk memberikan kesempatan bagi warga untuk berinteraksi dan bekerja sama.
Perkelahian politik seperti yang baru-baru ini berlangsung di Pilkada Serempak periode 2017-2022 itu sendiri manifestasi ketidakdewasaan politik yang selalu bisa membawa nama negara ke dalam kehinaan ditengah Demokrasi Indonesia yang sangat dikagumi oleh bangsa-bangsa lain galam kematangan Berdemokrasi. Dalam era teknologi informasi yang serba canggih ini serta jaringan sosial yang intensif, insiden politik seperti insiden yang diutarakan Calon Gubernur DKI periode 2017-2022 saudara Basuki Tjahya Purnamadengan mengganggu kebebasan Keimanan Kaum Muslimin bisa menimbulkan konfrontasi fisik, memang seharusnya tidak menjadi topik penting di di Indonesia saja, tetapi harus menjadi bagian dari wacana politik internasional yang lebih luas dan perdebatan.
Kematangan politik bangsa apapun berkorelasi langsung dengan Masalah Keimanan dalam Beragama. Oleh karena itu, fakta bahwa setelah 71 tahun kemerdekaan Indonesia, kekerasan politik masih terjadi menyajikan paradoks yang serius. Kita belum bisa menunjukkan tingkat tinggi kedewasaan politik, karena proses Demokrasi kita dinyatakan oleh banyak pengamat sebagai Demokrasi yang damai, bebas, adil dan teladan. Maka dari itu jangan jadikan Momen ini menjadi Kemunduran Negeri kita dalam Proses Demokrasi Politik dimata Dunia.
Toleransi dan Hak Minoritas yang dipolitisasi
Toleransi telah muncul sebagai jawaban tunggal untuk banyak pertanyaan dari abad kedua puluh satu, Cara mengatasi konflik etnis, bagaimana mengatasi ketidakstabilan di negara-negara demokrasi baru, dan cara mengatasi gesekan antara proyek duel sekularisme liberal dan kebangkitan agama . Jelas, bagaimanapun, adalah asal-usul kausal toleransi. Bagaimana lembaga yang mempromosikan hidup berdampingan secara damai muncul?
Apakah lembaga ini sama di dunia Muslim pasca-kolonial seperti di Barat? Setelah didirikan, apa yang menjelaskan variasi dalam praktik toleransi dari waktu ke waktu, oleh pelaku yang berbeda, dan ke arah minoritas?
Analisis multivariat menunjukkan bahwa secara ringkas toleransi secara signifikan dipengaruhi oleh ras, tingkat pendidikan formal, ideologi dan tingkat partisipasi politik. toleransi adalah produk dari pembelajaran formal (pendidikan), pembelajaran informal (partisipasi), pengalaman hidup (ras), dan sistem keyakinan individu (ideologi). Toleransi politik nyata dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, media berita utama, dan penggunaan internet.
Khususnya di Indonesia, Partisipasi kampanye Toleransi dan pembelaan hak minoritas sangat digaungkan terutama dilakukan oleh golongan mayoritas, baik golongan suku, Ras, Maupun Agama. Baik dalam dunia pendidikan maupun mimbar-mimbar Dakwah keagamaan. Bahkan menjadi perjuangan termashur dari Sosok tokoh Bangsa Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001terkait peradaban baru Toleransi di Indonesia.
Perjuangan Gus Dur ini dilanjutkan oleh para Pengagum sosok Gus Dur ataupun para kader-kader organisasi yang berafiliasi terhadap Organisasi yang dipimpin Gus Dur maupun diluar itu. Semisal apa yang dilakukan oleh Organisasi Laskar Santri Nusantara yang selalu hadir dan meliterasi tentang larangan SARA dan Intoleransi serta Kampanye Hitam dalam setiap Momen Politik yang tak ada hentinya Ketua Umum DKN Laskar Santri Nusantara Didik Setiawan yang sekaligus penulis Artikel ini yang selalu menyampaikan pesan itu.
Dalam momen Politik Toleransi dan Hak Minoritas terkadang dipolitisasi oleh kaum minoritas untuk sebuah kekuasaan dalam kontestasi Politik. Toleransi dan Hak Minoritas bukan menjadi Nilai perjuangan dalam berkehidupan dimasyarakat yang damai dan hidup sejahtera berdampingan, akan tetapi dipolitisasi dalam bersaing untuk dukungan rakyat dalam rangka untuk mendapatkan kekuasaan dan hak untuk memerintah.
Solusi Atas terciderainya Toleransi di Indonesia
Negara harus hadir dan Hukum harus ditegakkan, Semua partai politik di Indonesia, Para pemimpin semua partai politik harus terbuka melibatkan pendukung mereka dan memanggil mereka untuk menghindari kekerasan dalam jangka sampai ke tempat pemungutan suara 2017 nanti. Terutama di tingkat akar rumput, perlu mendengar dari para pemimpin mereka terkait hubungan perdamaian dan pembangunan, serta kesejahteraan masyarakat. Politik intoleransi dan kebencian yang kontraproduktif dan seharusnya tidak diperbolehkan untuk mencemari pikiran generasi muda
Para pemimpin semua partai politik harus merangkul tanggung jawab untuk mengutuk semua tindakan kekerasan yang dilakukan secara lisan maupun kebijakan yang tidak Memanusiakan Rakyat Miskin, tidak hanya oleh anggota partai politik yang bersaing, tetapi juga oleh anggota mereka sendiri menjelang pemilihan apapun. Demokrasi Damai yang berkelanjutan adalah fungsi dari pendidikan politik. Oleh karena itu, tanggung jawab partai politik untuk mendidik kader-kader mereka terhadap terlibat dalam kekerasan dan mempersiapkan mereka untuk menjadi warga negara teladan hidup bersama secara harmonis dan Humanis. Dengan demikian partai politik adalah lembaga yang tepat untuk demokrasi dan asosiasi pemersatu terlepas dari perbedaan-perbedaan mereka.
Para pemimpin politik harus, pada saat yang sama, menjadi strategi politik dengan visi jauh kedepan untuk mengantisipasi tindakan politik yang dapat memicu bentrokan antara pendukung dan pendukung partai politik lainnya atau bahkan yang memicu bentrok diluar partai sebagai akibat ketidakdewasaan dalam berpolitik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H