Oleh :Â
Dede Hidayat, M.Si
( Pemerhati Kebijakan Publik )
Batalnya Indonesia menjadi tuan rumah pada gelaran Piala dunia U 20 yang semestinya akan diselenggarakan di Indonesia pada tahun 2023 ini, menjadi keprihatinan publik karena banyak kerugian yang akan diterima, diantaranya adalah Timnas Indonesia U-20 gagal bermain di Piala Dunia, Terancam Sanksi FIFA, Persiapan yang sia-sia, dikucilkan dari pentas olahraga Internasional, dan kerugian pada sektor UMKM.Â
Jelas saja hal tersebut mengundang reaksi publik untuk melampiaskan kemarahannya kepada pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab atas batalnya gelaran Piala Dunia tersebut.
Diberbagai platform media sosial, baik itu twitter, FB, Instagram, Youtube dan Tiktok tidak sedikit masyarakat maya yang memberikan komentar pedas kepada Pejabat Publik, Parpol, dan kelompok masyarakat yang sebelumnya membuat pernyataan sikap atas penolakan timnas Israel yang berimbas pada batalnya Piala Dunia U-20 di Indonesia.
Komentar pedas itu disampaikan oleh publik baik itu di postingan sendiri, atau komentar ke akun media mainstream, bahkan tidak sedikit yang langsung menghujani akun pribadi para Pejabat Publik yang terkait.Â
Yang ingin saya tekankan di sini bukan pada persoalan batalnya gelaran Piala Dunia di Indonesia, tapi pada menguatnya komunikasi dua arah di ruang publik digital, dan transformasi ruang publik ke ranah digital melahirkan peradaban sosial politik yang baru.Â
Di dunia digital, ruang publik memperoleh bentuk-bentuk baru yang jauh lebih kompleks. Media sosial telah mendorong perubahan komunikasi politik (karena berlangsung cepat, langsung, luas, dan liberal) dan melahirkan sebuah komunitas virtual/maya berupa masyarakat digital. Komunitas ini berbasis akun yang maya, alih-alih berbasis latar belakang tertentu dari dunia nyata. Interaksi tidak lagi berbasis satu orang per satu orang, melainkan banyak orang ke banyak orang (many to many). Menurutnya, hal ini menimbulkan dampak yang positif terhadap pergerakan sosial masyarakat, namun tetap harus diwaspadai oleh karena potensi eksploitasi yang dimiliki imbas perkembangan teknologi.
Ruang publik digital dapat menciptakan klaster-klaster politik yang terbentuk karena kesamaan nasib dan gagasan.
Jika dulu, Pejabat Publik melakukan kesalahan maka publik tidak bisa secara cepat dan tepat menyampaikan pendapatnya terkait hal tersebut, namun hari ini banyak persoalan yang akan sangat cepat disuarakan oleh publik.Â
Selain kasus gagalnya gelaran Piala Dunia di Indonesia, ada kejadian besar juga yang menarik keprihatinan publik yaitu kasus terbunuhnya Brigadir J oleh atasannya sendiri seorang Jendral bintang dua yang berstatus sebagai Kadiv Propam Polri.Â
Kasus terbunuhnya Brigadir J menjadi klimaks dari ketidakpuasan publik terhadap pelayanan Polri yang berimbas pada Citra Polri yang menurun drastis.Â
Kekuatan ruang publik digital tidak bisa dianggap sepele karena nyatanya bisa mengantarkan seorang Jendral yang disegani dan telah membuat berbagai skenario bohong pada ahirnya terjerat pada hukuman mati karena publik terus mengawal kasus tersebut.
Namun, ruang publik digital juga menjadi sarana yang ampuh bagi para Pejabat Publik dalam membranding dirinya untuk memberi kesan dekat dengan rakyat, solutif, tegas, dan ceria walaupun harus dibumbui dengan gimick gimick politik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI