Mohon tunggu...
David Efendi
David Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah

seorang warga biasa-biasa saja. Ingin berbagi sebagai bagian upaya memberikan arti hidup small act of Kindness. Pegiat Perpustakaan Jalanan Rumah Baca Komunitas yang memberikan akses bacaan, pinjaman buku tanpa syarat dan batas waktu. Belajar apa saja sebagai kontributor di www.rumahbacakomunitas.org

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Agenda Mendesak Menghijaukan Al Maun

12 Desember 2022   17:13 Diperbarui: 12 Desember 2022   17:50 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tentu saja ini problematik di saat begitu banyak kenyataan yang tidak ideal bahkan anti demokrasi yang dipamerkan oleh rezim kekuasaan. Saking kerasnya, Prof Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah pernah mengatakan:  

"Sekuat apa pun jihad konstitusi hasilnya akan hambar ketika berhadapan oligarki kekuasaan dan politik yang kering kesadaran cit-cita luhur."

Netizen di twiter pun merespon sangat antusias akan kegerahan ketum Muhammadiyah di atas. Salahs satunya menuliskan: "Sekuat apapun oligarki, muhammadiyah tidak boleh berhenti berjihad konstitusi karena itu memang ladang dakwah yang wajib bagi Muhammadiyah. Masyarakat dan jamaah sangat berharap pada Muhammadiyah." Muhammadiyah memang seringkali menimbulkan politik herapan ketimbang menebarkan politik ketakutan. Itu kekuatan sosial reformatif yang sangat pas dan sesuia zamannya.

Apa pasal, jika Muhammadiyah terlalu agresif di dalam mengatasi isu-isu publik maka Muhammadiyah dicap sebagai gerakan LSM sebagaimana pernyataan-pernyataan tidak beradab yang pernah didengungkan Muchtar Ngabalin sebagai bagian dari kekuasaan terhadap statemen Busyro Muqoddas yang membidangi hukum HAM dan politik ketika mengkritisi dan mengoreksi pengelola negara. Busyro disarankan Ngabalin aktif di LSM ketimbang di Muhammadiyah. Hal ini menunjukkan bahwa Muhamamdiyah dilarang punya karakter masyarakat sipil. Mencerabut karakter itu sama dengan menghendaki Muhammadiyah tak pernah ada di ruang politik.

Kedua, mencegat upaya depolitisasi terhadap [warga] Muhammadiyah. Hal ini  sangat terkait dengan problem yang pertama yang saya sampaikan di atas tadi yaitu bahwa slowly but sure ada semacam kekuatan yang hendak mengupayakan 'depolitisasi' terhadap keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah yang tentu saja tidak terpisahkan dari ruang-ruang politik, ekosistem sosial-budaya dan juga isu-isu strategis berbangsa dan bernegara.

Hal ini dapat dilacak dari panduan Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan memang sudah sangat clear ditegaskan dalam berbagai macam risalah Muhammadiyah seperti PHIWM (panduan hidup islami keluarga warga Muhammadiyah), juga sada di dalam khitah organisasi yang dihasilkan dari permusyawaratan tinggi di Muhammadiyah. 

Menurut saya, mencoba mengupayakan depolitisasi Muhammadiyah seperti halnya orde baru yang kemudian menganggap Muhammadiyah sebagai masyarakat profesional masyarakat, pelayan masyarakat, wali agama,atau dipandang sebagai gerombolan warga negara yang konsen dalam isu-isu non politik seperti halnya juga pemerintah kolonial Belanda memperlakukan Muhamamdiyah saya kira hari ini sangatlah tidak relevan dan out of date.

Faktanya, di dalam persoalan demokratisasi yang semakin meluas, maraknya persoalan agresi oligarki yang begitu masif maka Muhammadiyah sejatinya adalah mengambil bagian dalam bentuk satu karakter politik yang bercirikan 'politik kewargaan' karena kalau politik kepartaian jelas tidak lazim di Muhammadiyah walaupun ada jalinan-jalinan itu yang menyejarah seperti halnya Amien Rais membentuk partai Amanat Nasional yang didukung oleh warga atau anggota Muhammadiyah, begitu juga Masyumi, PMB, dan partai Ummat. 

Di jalun moderasi, kita lihat bagaimana Syafii Maarif mempengaruhi karakter dalam relasinya dengan kelompok kelompok ormas Islam misalnya ormas keagamaan secara umum, maka sejatinya upaya dipolitisasi terhadap kekuatan Muhammadiyah sebagai kekuatan politik sebagaimana gagasan Kuntowijoyo Islam adalah tindakan yang ahistoris dan konyol.

Kekuatan politik Muhammadiyah itu bersifat organik lantaran Muhammadiyah punya aspirasi politik, punya ruang dakwah di bidang politik, punya keberpihakan pada nilai keadilan dan kebenaran, dan sebagainya maka dipolitisasi itu tertolak di Muhammadiyah. Gerakan Muhamamdiyah, tidak sekedar organisasi atau system admnistrasi, tidak bisa dijadikan sebuah proyek "silent majority" secara sistematik sehingga suara-suara kritis itu tetap akan muncul dan harus dimunculkan sebagai bagian dari tanggung jawab moral-intelektual, moral ekologi, dan moral ekonomi.

Memang sungguh disayangkan ada beberapa actor politik yang berbasis afiliasi Muhamamdiyah yang berusaha menjaga harmoni Muhammadiyah dan kekuasaan negara yang bermasalah itu. Saat ramai RUU Ciptakerja atau omnibuslaw yang kontroversial di sata rakyat sibuk bertahan dari wabah kita lihat seperti ada media afiliasi Muhammadiyah yang ketuanya juga menjadi bagian dari pemerintah sehingga seringkali hanya memberitakan hal-hal yang berguna untuk menjaga kepentingan politisnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun