Dalam banyak hal Muhammadiyah telah berhasil membuktikan dirinya sebagai gerakan social-keagamaan
yang bertransformasi menjadi gerakan kesejahteraan (welfare movement) baik dalam aspek material maupun immaterial, jasmani dan rohani. La raiba fiihi sehingga wajar juga Prof Roberth Hefner menggelari Muhammadiyah sebagai organisasi social paling behasil di dunia. Dalam kontek amal usaha, barangkali Muhamamdiyah tak tertandingi di dunia.Â
Hal ini dapat dilacak dari berbagai macam artikel ilmiah yang mendiskusikan bagaimana Muhammadiyah memiliki karakter-karakter unggul dan berkembang di dalam bidang sosial, reformasi keagamaan, pendidikan islam, Â di dalam bidang kesehatan di dalam bidang pendidikan tinggi dan respon-respon yang dinamis menyangkut persoalan krisis misalnya kebencanaan dan pandemi.
Dalam hal-hal yang urgensi dan fundamental Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang sangat besar bahwa hasil pemikiran keagamaan itu harus dinamis meminjam istilah Majelis tarjih telah berhasil mengupayakan pendekatan bayani, burhani, dan Irfani  sehingga Muhammadiyah senantiasa meletakkan dirinya sebagai sebuah gerakan ilmu berdiri untuk tegas mana wilayah yang harus dimurnikan (dipurifikasi) dan mana yang dinamis (didinamisasi).
Dalam melawan rezim 'covidiot', kita ditunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan harus dipercaya dan dikoreksi sehingga nilai-nilainya memberikan maslahat bagi kehidupan, bagi keselamatan kemanusiaan, dan peradaban positif.
Dalam tulisan Ini saya hendak menyampaikan beberapa agenda penting, setidaknya menurut penulis, yang harus menjadi prioritas Muhammadiyah di abad kedua terutama berkaitan dengan problem politik partispatif yaitu serangkaian problem kekuatan-kekuatan partisipasi politik adiluhung, dan  sebagai gerakan sosial advokatif serta terakhir dalam perwacanaan isu yang saya anggap sangat mendesak untuk mendapatkan respon progresif dari dari gerakan Muhammadiyah: krisis ekologi global. Krisis yang bukan hanya bersumber pada teknologi dan globalisasi atau perubahan iklim, tetapi dapat pula dialamatkan sebagai ekspresi krisis spiritualitas kaum agamawan.
Muhammadiyah punya tanggung jawab moral intelektual dan moral keagamaan dalam bebagai persoalan sehingga kehadirannya dituntut oleh keadaan, oleh ummat atau warganya. Banyak pihak berharap karena nalar kritis dan independensinya yang mendekati tipe ideal gerakan sosial atau kelompok civil society di dlaam menghadapi beragam goncangan sosial politik dan ekologi di Indonesia. Tentu saja, Muhammadiyah bukannya tanpa kelemahan dan membutuhkan kontribusi dari banyak agensi di internal maupun dari lingkungan external.
Tiga Agenda, Banyak Persoalan
Tulisan ini akan membahas tiga hal penting yang saya coba jelaskan dan sembari memberikan penawaran sudut pandang (insight). Pertama, Muhammadiyahs sebagai kekuatan politik. Di dalam gerakan mobilisasi kekuatan sosial-advokasi yang ada di Muhammadiyah dalam lima tahun terakhir ini saya melihat ada problem serius dalam 'internal' Muhammadiyah yaitu bagaimana dialog tentang batas-batas gerakan advokasi Muhammadiyah itu tidak menjadi wacana mainstream baik di level pimpinan pusat maupun di level grass root---terlebih karena adanya irisan jarak yang berbeda dengan kekuatan politik oligarki di kalangan aktifis Muhammadiyah.Â
Dari pengamatan pendek saya,  sebagian orang-orang tertentu yang memang ada atau yang berada di dalam rezim kekuasaan ada yang di dalam, menjaga jarak ada pula yang memang betul-betul dengan kesadaran organisatoris atau khitoh membangun garis demarkasi yang tegas antara rezim kekuasaan. Rezim hari ini banyak dinilai  penuh dengan problem baik itu problem bawaan rezim pasar maupun problem-problem jebakan politik transaksional yang diidap oleh kekuasaan yang memang berangkat dari kekuatan non oligarkis.Â
Di periode pertama kita melihat kepemimpinan Jokowi dianggap representasi non-oligarkis yaitu kekuatan yang kita anggap sebagai kekuatan koalisi yang dimotori oleh PDIP dengan kata lain kepresidenan Jokowi sehingga memunculkan banyak harapan bahwa agenda reformasi dapat dikawal. Batas-batas advokasi yang diupayakan Muhammadiyah ini dalam berbagai macam teori gerakan sosial memang harus dijaga namun demikian ada ketakutan di beberapa kalangan 'kelas elite pemuda' terpelajar di Muhammadiyah yang menghendaki 'politik harmoni'.Â