RUU Sistem Perbukuan merupakan salah satu draft prolegnas 2016 yang berasal dari inisiatif DPR RI. RUU ini pada dasarnya ingin menjadikan sistem perbukuan nasional dikelola secara terpadu. Penyusunan RUU ini mempertimbangkan kendala-kendala yang dihadapi berkaitan dengan harga, mutu, jenis, ketersediaan, dan pemanfaatan buku.
Dalam draft yang beredar jelas bahwa, fokus RUU ini adalah buku pendidikan alias buku pemerintah atau buku ajar. Disebutkan ada urgensi perlunya suatu badan yang mengatur proyek perbukuan ini.
DPR melakukan studi banding ke London dan India dalam rangka penyusunan RUU tersebut. India punya gagasan Bagus soal hak cetak atau penggandaan buku terbitan luar negeri juga subsidi harga buku.
RUU Sistem Perbukuan ini memuat 94 pasal yang mengatur seluruh tahapan dalam sistem perbukuan. Mulai dari penulisan naskah dan pencetakan hingga penerbitan, distribusi, penggunaan dan pengadaan.
Dari pasal-pasal itu, setidaknya kanal hukumonline.com menyimpulkan ada lima masalah hukum yang perlu dicermati dalam RUU ini.
Pertama, perjanjian tertulis. RUU ini menegaskan pentingnya sebuah perjanjian antara penulis dan penerbit, malah perjanjian dijadikan sebagai syarat penerbitan buku. Pasal 58 ayat (1) menyebutkan buku diterbitkan setelah memenuhi persyaratan, antara lain, terdapat perjanjian tertulis antara penulis dan penerbit yang sekurang-kurangnya memuat hak dan kewajiban masing-masing. Dengan demikian, materi perjanjian selebihnya diserahkan kepada kedua belah pihak.
Berkaitan dengan perjanjian, penting juga dicermati Pasal 12 huruf d RUU, yang mengatur: penulis dilarang melakukan perjanjian ganda atas satu hak cipta yang telah dikerjasamakan.
Kedua, hak cipta. RUU ini mengakomodasi hak cipta penulis, penerjemah, penyadur, dan ilustrator. Selain mengakui hak cipta, RUU juga memuat hak masing-masing pihak menerima royalti atas karya ciptanya. Penulis berhak atas royalti atas lisensi penerbitan dari harga bruto atau honorarium atas penyerahan hak cipta hasil karangan atau tulisannya.
Ketiga, penerbitan oleh perusahaan asing. Keterikatan Indonesia pada kesepakatan-kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN semakin membuka peluang masuknya investor asing ke Indonesia. Pasal 60 RUU mengatur: ‘penerbitan buku oleh pihak asing yang berlokasi di Indonesia wajib dilakukan melalui kerjasama dengan penerbit nasional setelah memperoleh izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan dan menteri yang terkait’. Tidak ada penjelasan lebih lanjut siapa yang dimaksud pihak asing, dan kategori buku apa yang penerbitannya harus melalui kerjasama dengan penerbit nasional.
Keempat, nama samara penulis. Pada dasarnya RUU ini menekankan agar penulis menggunakan nama aslinya pada karangan atau tulisan. Kalaupun menggunakan nama samaran pada karangan, nama aslinya wajib dicantumkan dalam perjanjian dengan penerbit.
Kelima, sanksi pidana. RUU Sistem Perbukuan memuat tiga pasal ancaman pidana dengan sasaran yang berbeda. Pasal 88 mengancam pidana penjara dan/atau denda siapapun yang menggunakan kertas buku khusus untuk kepentingan lain selain untuk buku pendidikan. Detil kertas khusus ini masih harus diatur Menteri terkait. Pasal 89 memuat sanksi kepada barangsiapa yang menjual buku melebihi harga eceran tertinggi. Pasal 90 memuat sanksi bagi penerbit yang langsung mendistribusikan untuk penjualan buku teks ke satuan pendidikan dasar dan menengah.
Menurut saya, RUU ini nampaknya belum mengatur dan membincang persoalan terkait (1) Kesejahteraan penulis; (2) subsidi harga buku di luar buku sekolahan; (3) pembajakan buku perlu direspon dgn subsidi Harga buku; dan (4) Spirit literasinya tak muncul, hanya sebatas tata kelola perbukuan, dewanisasi atau badanisasi (institusionalisasi).
Kita akan mendiskusikan beberapa hal di atas begini jalan ceritanya.
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Irma Permanasari juga andil mengkritisi RUU ini karena dianggap nya hanya berpihak pada buku-buku proyek pemerintah. Menurutnya, RUU Perbukuan justru tak memberi tempat bagi penulis buku umum.
Saya sendiri setuju dengan bu Irma bahwa RUU Perbukuan ini punya empat persoalan, pertama, belum memfasilitasi penulis buku. Kedua, Orientasinya lebih kepada buku-buku proyek yang dibuat pemerintah.
Ketiga, RUU Perbukuan ini tidak mengadvokasi nasib kesejahteraan penulis sehingga jika lolos dan disahkan menjadi undang-undang, maka kondisi riil perbukuan dan penulis buku di tanah air tak akan mengalami perbaikan. Sebab, selama ini penulis buku dalam kondisi sulit.
Setahu saya, pajak yang ditagih dua kali kepada penulis setiap naskahnya  akan diterbitkan ITU sangat tidak manusiawi. Pertama saat naskah disetujui untuk diterbitkan, yang kedua ketika sudah jadi buku.
Terakhir, RUU perbukuan minus spirit gerakan literasi.
RUU Perbukuan sama sekali tidak ada memuat regulasi yang mendorong munculnya kedai-kedai buku di kawasan pemukiman. Sehingga buku tidak lagi menjadi barang mewah yang terpajang di toko-toko mewah.
Mestinya negara harus mendorong agar buku mendapat tempat yang sama dengan produk-produk lain kebutuhan masyarakat. Toko buku hendaknya juga harus ada di desa desa sehingga buku tidak lagi menjadi barang mewah. Pintar dan membaca buku harus diberikan akses seluas luasnya bagi siapa saja. Inilah makna UU Perbukuan yang dikehendaki rakyat Indonesia.
Inil pula menjadikan sumber makna dan praksis gerakan mencerdaskan bangsa sebagaimana amanat konstitusi kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H