Mohon tunggu...
David Efendi
David Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah

seorang warga biasa-biasa saja. Ingin berbagi sebagai bagian upaya memberikan arti hidup small act of Kindness. Pegiat Perpustakaan Jalanan Rumah Baca Komunitas yang memberikan akses bacaan, pinjaman buku tanpa syarat dan batas waktu. Belajar apa saja sebagai kontributor di www.rumahbacakomunitas.org

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjadikan RUU Perbukuan Bermakna

6 April 2016   16:18 Diperbarui: 6 April 2016   16:34 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut saya, RUU ini nampaknya belum mengatur dan membincang persoalan terkait (1) Kesejahteraan penulis; (2) subsidi harga buku di luar buku sekolahan; (3) pembajakan buku perlu direspon dgn subsidi Harga buku; dan (4) Spirit literasinya tak muncul, hanya sebatas tata kelola perbukuan, dewanisasi atau badanisasi (institusionalisasi).

Kita akan mendiskusikan beberapa hal di atas begini jalan ceritanya.

Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Irma Permanasari juga andil mengkritisi RUU ini karena dianggap nya hanya berpihak pada buku-buku proyek pemerintah. Menurutnya, RUU Perbukuan justru tak memberi tempat bagi penulis buku umum.

Saya sendiri setuju dengan bu Irma bahwa RUU Perbukuan ini punya empat persoalan, pertama, belum memfasilitasi penulis buku. Kedua, Orientasinya lebih kepada buku-buku proyek yang dibuat pemerintah.

Ketiga, RUU Perbukuan ini tidak mengadvokasi nasib kesejahteraan penulis sehingga jika lolos dan disahkan menjadi undang-undang, maka kondisi riil perbukuan dan penulis buku di tanah air tak akan mengalami perbaikan. Sebab, selama ini penulis buku dalam kondisi sulit.

Setahu saya, pajak yang ditagih dua kali kepada penulis setiap naskahnya  akan diterbitkan ITU sangat tidak manusiawi. Pertama saat naskah disetujui untuk diterbitkan, yang kedua ketika sudah jadi buku.

Terakhir, RUU perbukuan minus spirit gerakan literasi.

RUU Perbukuan sama sekali tidak ada memuat regulasi yang mendorong munculnya kedai-kedai buku di kawasan pemukiman. Sehingga buku tidak lagi menjadi barang mewah yang terpajang di toko-toko mewah.

Mestinya negara harus mendorong agar buku mendapat tempat yang sama dengan produk-produk lain kebutuhan masyarakat. Toko buku hendaknya juga harus ada di desa desa sehingga buku tidak lagi menjadi barang mewah. Pintar dan membaca buku harus diberikan akses seluas luasnya bagi siapa saja. Inilah makna UU Perbukuan yang dikehendaki rakyat Indonesia.

Inil pula menjadikan sumber makna dan praksis gerakan mencerdaskan bangsa sebagaimana amanat konstitusi kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun