Dua dosen asal Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yaitu David Efendi dan Suswanta pekan ini mengadakan penelitian di Universitas Muhammadiyah Kupang, NTT. Penelitian dengan tema kehidupan multikulturalisme di Perguruan Tinggi Muhammadiyah ini diselenggerakan dengan metode Focus Group Discussion (FGD) dan metode wawancara mendalam. FGD yang dilaksanakan pada 29-30 Maret 2016 ini dengan dua klaster peserta yaitu klaster pertama dari kalangan mahasiswa, dan klaster kedua terdiri dari komponen dosen dan pegawai. Salah satu target penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses perencanaan penyusunan program pendidikan multikultural di UM Kupang dan bagaimana keterlibatan stakeholders dalam perencanaan tersebut. Selain itu, penelitian inimelihat tantangan apa yang dihadapi dalam implementasi program pendidikan multikultural di Unmuh Kupang dan bagaimana cara mengatasinya.
Kota Kupang disebut Mantan ketua Umum PP Muhammadiyah, Professor Dien Syamsuddin, sebagai “miniatur Indonesia” memang tepat mengingat keragaman ethnik dan agama ada di kota ini, ada juga di Universitas Muhamamdiyah Kupang sejak berdirinya yaitu tahun 1987. Terdapat pendiri yang non-Muslim, juga ada ketua jurusan antropologi yang juga pemeluk agama Katolik. Dari aspek mahasiswanya, bisa dikatakan dari 4000an mahasiswa 70%nya adalah non-muslim. Namun demikian, belum pernah ada konflik selama ini. Bahkan, mahasiswa non-muslim mengikuti dua mata kuliah wajib yaitu bahasa arab dan Islam & ke-Muhamamadiyah-an. Ini dianggap sebagai praktik kehidupan dan menjaga harmoni sesame yang sangat baik (best practice).
Seorang peserta FGD, Drs Ipi de Rosari, mengatakan bahwa ciri khas NTT adalah budaya harmoni—masyarakat lebih mengutakaman damai untuk banyak hal sehingga tidak mudah terprovokasi oleh keadaan. Praktik yang demikian sangat gampang terlihat di dalam kampus. Salah satu dosen UMk beraga Ngonggoek, yang beragama Protestan mengakui bahwa ada rasa kenyamanan bekerja di lembaga Muhammadiyah karena ada penghargaan atas perbedaan. “ini saya rasakan sejak saya ngajar dari tahun 1987 silam, “ ujar Wellem.
David Efendi, sebagai peneliti, menjelaskan bahwa penelitian multikulturalisme ini dimaksudkan untuk melihat praktik terbaik bagaimana keragaman (kemajemukan) dikelola oleh lembaga (universitas), stakeholder, dan oleh individu serta juga dukungan pemerintah setempat. Keadaan ini perlu diteliti untuk mendapatkan gambaran yang lebih obyektif termasuk kepentingan praktis pengambilan kebijakan misalnya untuk ‘mengurangi’ resiko potensi konflik SARA yang masih mengancam banyak tempat di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H