Mohon tunggu...
David Efendi
David Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah

seorang warga biasa-biasa saja. Ingin berbagi sebagai bagian upaya memberikan arti hidup small act of Kindness. Pegiat Perpustakaan Jalanan Rumah Baca Komunitas yang memberikan akses bacaan, pinjaman buku tanpa syarat dan batas waktu. Belajar apa saja sebagai kontributor di www.rumahbacakomunitas.org

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kehidupan Multikulturalisme di Universitas Muhammadiyah Kupang

31 Maret 2016   09:09 Diperbarui: 31 Maret 2016   09:28 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dua dosen asal Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yaitu David Efendi dan Suswanta pekan ini mengadakan penelitian di Universitas Muhammadiyah Kupang, NTT. Penelitian dengan tema kehidupan multikulturalisme di Perguruan Tinggi Muhammadiyah ini diselenggerakan dengan metode Focus Group Discussion (FGD) dan metode wawancara mendalam. FGD yang dilaksanakan pada 29-30 Maret 2016 ini dengan dua klaster peserta yaitu klaster pertama dari kalangan mahasiswa, dan klaster kedua terdiri dari komponen  dosen dan pegawai. Salah satu target penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses perencanaan penyusunan program pendidikan multikultural di UM Kupang dan bagaimana keterlibatan stakeholders dalam perencanaan tersebut. Selain itu, penelitian inimelihat tantangan apa yang dihadapi dalam implementasi program pendidikan multikultural di Unmuh Kupang dan bagaimana cara mengatasinya. 

Kota Kupang disebut Mantan ketua Umum PP Muhammadiyah, Professor Dien Syamsuddin, sebagai “miniatur Indonesia” memang tepat mengingat keragaman ethnik dan agama ada di kota ini, ada juga di Universitas Muhamamdiyah Kupang sejak berdirinya yaitu tahun 1987. Terdapat pendiri yang non-Muslim, juga ada ketua jurusan antropologi yang juga pemeluk agama Katolik. Dari aspek mahasiswanya, bisa dikatakan dari 4000an mahasiswa 70%nya adalah non-muslim. Namun demikian, belum pernah ada konflik selama ini. Bahkan, mahasiswa non-muslim mengikuti dua mata kuliah wajib yaitu bahasa arab dan Islam & ke-Muhamamadiyah-an. Ini dianggap sebagai praktik kehidupan dan menjaga harmoni sesame yang sangat baik (best practice). 

Seorang peserta FGD, Drs Ipi de Rosari, mengatakan bahwa ciri khas NTT adalah budaya harmoni—masyarakat lebih mengutakaman damai untuk banyak hal sehingga tidak mudah terprovokasi oleh keadaan. Praktik yang demikian sangat gampang terlihat di dalam kampus. Salah satu dosen UMk beraga Ngonggoek, yang beragama Protestan mengakui bahwa ada rasa kenyamanan bekerja di lembaga Muhammadiyah karena ada penghargaan atas perbedaan. “ini saya rasakan sejak saya ngajar dari tahun 1987 silam, “ ujar Wellem. 

David Efendi, sebagai peneliti, menjelaskan bahwa penelitian multikulturalisme ini dimaksudkan untuk melihat praktik terbaik bagaimana keragaman (kemajemukan) dikelola oleh lembaga (universitas), stakeholder, dan oleh individu  serta juga dukungan pemerintah setempat. Keadaan ini perlu diteliti untuk mendapatkan gambaran yang lebih obyektif termasuk kepentingan praktis pengambilan kebijakan misalnya untuk ‘mengurangi’ resiko potensi konflik SARA yang masih mengancam banyak tempat di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun