Mohon tunggu...
David Efendi
David Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah

seorang warga biasa-biasa saja. Ingin berbagi sebagai bagian upaya memberikan arti hidup small act of Kindness. Pegiat Perpustakaan Jalanan Rumah Baca Komunitas yang memberikan akses bacaan, pinjaman buku tanpa syarat dan batas waktu. Belajar apa saja sebagai kontributor di www.rumahbacakomunitas.org

Selanjutnya

Tutup

Politik

Joint, Bukan Barisan Sakit Hati!

21 Maret 2016   16:39 Diperbarui: 21 Maret 2016   19:22 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kalau ada calon independen dilabeli deparpolisasi, itu nalar akademiknya sama sekali nggak ada. Deparpolisasi itu kalau dipandang dari nalar faktual disebabkan Parpol membiarkan kadernya korup" (Busyro Muqodas).[caption caption="gerakan Jogja independent (poster public)"][/caption]

Seperti dugaan sebelumnya, kelahiran gerakan jogja independent (joint) dengan penanda deklarasi yang berlangsung di bantaran kalicode akan melahirkan reaksi dari publik. Dalam banyak literatur sosialogi gerakan sosial, kelahiran aksi-aksi kreatif atau populis menelan banyak korban--di era demokrasi, gerakan untuk transformasi sosial kerap justru mendapat perlawanan dari kelompok sipil (tetangga sendiri). Ini suatu fenomena kekalahan gerakan sipil. Sementara the real dictator seperti penguasa militer dan pemodal, mereka dengan asik memperkuat berisannya untuk menjadikan dunia semakin erat berada di genggamannya.  

Mozaik politik di Yogyakarta sejatinya belum pernah menjadi hasanah berpolitik yang 'gembira' dan 'asik'. keunggulan kebudayaan adiluhung Yogyakarta belum mewarnai kultur politik yang 'keras' menjadi lentur dan gembira.  Kehadiran joint sesungguhnya adalah respon masyarakat yang tak perlu berlebihan. Saya tidak tahu mengapa politis begitu reaktif atas deklarasi joint sehingga nalar akademiknya luntur pada politisi berpendidikan tinggi. Hal ini yang disampaikan komentar dari Busyro Muqodas sebagaimana dikutip di bagian pembuka tulisan ini. Tidaklah mungkin, joint yang disokong oleh banyak top level academician dari hampir seluruh PTN dan PTS di Yogyakarta dibilang orang-orang sakit hati. Ada juga yang menjawab, "...saya sdh tanya Prof Edy suandy hamid ,DR Kasiharno ,DR Bambang Cipto, dan Pak Busyro sdh menjawab ,mereka tidak sakit hati." Jadi, istilah sakit hati ini ibarat 'balsem' politik, apa-apa yang terasa sakit dibalsem, bahkan yang tidak gatal kena balsem. 

Kalau orang-orang yang marah bisa jadi. Marah karena kinerja partai politik yang tak sanggup menghasilkan kepemimpinan yang pro-rakyat. Ada tanggungjawab partai yang mengalami disfungsi, ada difable dalam otak politisi yang mengarah pada difable yang merusak moral bangsa: transaksi politik, korups, tidak berpihak kepada publik, dan bertekuk lutuh pada kapitalisme yang merusak akal sehat dan meminggirkan rakyat dari akses kesejahteraan. 

Salah satu hal yang mutlak dihindari dari gerakan rakyat bermerk dagang "joi8nt" ini adalah menjauhkan diri dari kekuatan interventif kelompok 'barisan sakit hati (beneran)', kelompok pialang politik, petualang politik, dan utusan kaum kapitalist yang menjelma jadi kekuatan berbasis 'kebudayaan'. Sudah muncul sinisme publik terkait kehadiran seseorang yang dilabeli sebagai 'freeport artist' di beberapa laman facebook. Kekuatan infiltrasi kaum-kaum perusak dan pembajak gerakan rakyat ini sangatlah menyulitkan kekuatan 'baik' karena adanya struktur dilematis dalam kesempatan politik. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk mendapatkan seluas-luasanya dukungan publik sehingga gerakan perlu menjadi gerakan yang inklusive untuk memenangkan kompetisi demokratis ini. Di sisi lain, banyaknya kekuatan yang akan mengalami fusi tak sempurna akan membawa perpecahan, bahkan sebgelum konvensi kandidat dan bisa juga mengalami delegitimasi internasl gerakan. Hal paling menyakitkan tentu saja adalah adalah gerakan pembelotan baik pra dan pasca kemenangan. 

Para pembajak ini harus diamankan secepatnya sehingga butuh lebih banya orang baik yang bergabung dari pada mem,buka selebar-lebarnya dengan situasi dilematis di masa yang akan datang. Konon publik sudah tak begitu yakin akan model gerakan rakyat 'independent'. Semua dianggap ada sponsor yang siap nagih janji kalau sudah terpilih. Banyak hal di politisasi dan trauma atas praktik politik buruk di masa lalu begitu kuat terpatri.

Bagi kalangan tertentu, politik lebih banyak dipandangs sebagai arena memperjuangkan kepentingan sesaat dan golongan. KOta Yogyakarta itu ibarat rumah kaca kecil. Siapa saja dapat melihat dengan benar apa yang dilakukan orang lain. Tidak semua negatif, ada juga pandangan bahwa gerakan independent seharusnya menjadi kritik dan koreksi ke parpol untuk introspeksi. Gerakan independen dipahamai bukan proses deparpolisasi, tapi hanya sbg refleksi kritis ketika hak independen itu hilang ketika semau lini terjadi parpolisasi. Tesis, anti tesis, sintesis kata teori dalam buku.

Menghindari elitisme

Dua hal yang penting di sini adalah bahwa gerakan independent haruslah (1) Fokus pada 'kegembiraan' dan (2) membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya. Dengan kemampuan menciptakan suasana gembira jelang pilkada walikota, maka publik akan bersimpati pada gerakan ini. Jika, proses dan metodologinya sama dengan partai tentu publik tak punya harapan jauh ke depan. Kegembiraan akan mempertemukan banyak hal. Hadapi pilkada kota dengan hati senang dengan kegiatan yang unik, kreatif, asik, cair, tidak tegang adalah syarat wajib dari gerakan ini. Tanpa itu kelam sudah gerakan ini sebagai sebuah alternatif. 

kedua, menghindari elitisme dengan membuka ruang partisipasi sangat penting. Calon yang dijaring dari rakyat, testimoni orang biasa, testimoni lintas pekerjaan, apakah mereka perlu walikota independent atau walikota seperti apa yang rakyat kehendaki. Jangan sampai mirip kasus, keistimewaan dengan penetapan gubernur diklaim sebagai kehendak rakyat sementara tak pernah ada situasi dimana rakyat menyampaikan keinginan dari status keistimewaan ini. Di era demokrasi, koalisi dengan rakyat adalah jalan utama untuk menyampaikan agenda perubahan.  

Salah satu status Fb mantan anggota DPRD DIY berbunyi demikian:  "Join opo ijon. Kalau join harusnya melakukan penjaringan tokoh masyarakat di 45 kelurahan atau 14 kecamatan utk dinominasikan. Kalau ijon, artinya sudah ada calon lalu dideklarasikan. (Podo wae karo partai, kucing dalam karung).."

Secara kasat mata, masih dominannya elite di gerakan ini menunjukkan ada rekaya sosial yang perlu disampaikan kepada publik. Perlu pemantik, leader, isu yang bisa mempertemukan gerakan populisme dengan elitisme dalam proses menghadapi pilkada. Dengan banyaknya testimoni tokoh itu sudah, dapat ditafsirkan, sebagai pananda ada tembok yang membatasi antara kekuatan rakyat dengan kekuatan elit. Walau demikian, ada banyak gerakan yang memang diinisiasi elit terdidik yang berhasil menjahit dan membangun solidaritas luas se antero negeri seperti gerakan Anna Hazare melawan korupsi (moral). PIlkada sama sekali tak bisa diidentikkan/sulit disepadankan dengan gerakan moral yang keuntungannya abstract tetapi ini menjadi 'persetujuan publik' misalnya menolak korupsi. 

in general, pemilihan walikota adalah proses pertempuran politik elit yang melibatkan pemilik suara sah dalam suatu area yang terbatas. Kemampuan mengubah paradigma dari mindset pilwalkot sebagai domain kepentingan politik yang nyuwun sewu, kotor dan tak beretika' menjadi domain sosial-budaya dan keluhuran etika adalah suatu yang hanya gampang diungkapkan. Agenda elit tak mudah dimengerti publik. Sering juga, publik dibuat kecewa. 

Gagasan saja walau cukup bagus, sebaiknya penjarigan dulu lewat kelurahan kecamatan dibuat semacam festival mencari walikota melibatkan banyak manusia. Hal ini karena tak semua masyarakat jogja tahu dg personil-personial penggagas JOINT tersebut dan memang banyak spekulasi tumbuh siapa dibalik siapa. Ada usulan bahwa penjaringan tidak hanya ketokohan namun juga harus yg berani meluruskan aturan per-UU-an yang kadang harus melawan (tanpa ewuh pekewuh) atas sebuah hegemoni kekuasaan yg amat kuat di DIY ini. Sikap dominasi yg sering memaksakan kehendak sehingga benar dikatakan 'setiap dominasi itu tersimpan kesewenang-wenangan dan itu adalah penindasan. 

Program baru orang

ini juga hal penting yang perlu diupayakan dengan kerja keras. Selain penjelasan berjibagu mengapa joint lahir adalah penting juga (mendesak) untuk menyiapkan agenda apa yang akan diusung untuk memperbaiki berbagai PR kompleks untuk mengembalikan jogja ramah manusia, berbudaya, tidak macet, tidak kelebihan hotel yang merusak lingkungan dan tata ruang. Gagasan program ternyata kalah dengan "orang" sehingga joint mengeluarkan nama-nama tertentu yang terlanjur disalahpahami publik bahwa dianggap JOINT sudah punya nama jadi disamakan pula dengan parpol yang proses kandidasinya bisa sangat sangat misterius: di bawah genggaman pemilik partai politik. Sykurlah, pihak joint sudah menyebarkan informasi bahwa proses rekruitmen masih terbuka untuk umum dan seluas-luasnya. Ini bagus sekali sehingga publik tak dibuat galau tanpa harapan. Sialnya, mati tanpa kegembiraaan. Partai boleh mati, akal sehat dan nafas perubahan serta keberpihakan kepada masyarakat tak boleh mati.  

Jika mau berbeda dengan partai, maka proses haruslah 'merakyat' dan sangat transparan tata kelola. Hal ini yang akan mendatangkan dukungan massif dari pemilik suara. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun