"Kalau ada calon independen dilabeli deparpolisasi, itu nalar akademiknya sama sekali nggak ada. Deparpolisasi itu kalau dipandang dari nalar faktual disebabkan Parpol membiarkan kadernya korup" (Busyro Muqodas).[caption caption="gerakan Jogja independent (poster public)"][/caption]
Seperti dugaan sebelumnya, kelahiran gerakan jogja independent (joint) dengan penanda deklarasi yang berlangsung di bantaran kalicode akan melahirkan reaksi dari publik. Dalam banyak literatur sosialogi gerakan sosial, kelahiran aksi-aksi kreatif atau populis menelan banyak korban--di era demokrasi, gerakan untuk transformasi sosial kerap justru mendapat perlawanan dari kelompok sipil (tetangga sendiri). Ini suatu fenomena kekalahan gerakan sipil. Sementara the real dictator seperti penguasa militer dan pemodal, mereka dengan asik memperkuat berisannya untuk menjadikan dunia semakin erat berada di genggamannya. Â
Mozaik politik di Yogyakarta sejatinya belum pernah menjadi hasanah berpolitik yang 'gembira' dan 'asik'. keunggulan kebudayaan adiluhung Yogyakarta belum mewarnai kultur politik yang 'keras' menjadi lentur dan gembira. Â Kehadiran joint sesungguhnya adalah respon masyarakat yang tak perlu berlebihan. Saya tidak tahu mengapa politis begitu reaktif atas deklarasi joint sehingga nalar akademiknya luntur pada politisi berpendidikan tinggi. Hal ini yang disampaikan komentar dari Busyro Muqodas sebagaimana dikutip di bagian pembuka tulisan ini. Tidaklah mungkin, joint yang disokong oleh banyak top level academician dari hampir seluruh PTN dan PTS di Yogyakarta dibilang orang-orang sakit hati. Ada juga yang menjawab, "...saya sdh tanya Prof Edy suandy hamid ,DR Kasiharno ,DR Bambang Cipto, dan Pak Busyro sdh menjawab ,mereka tidak sakit hati." Jadi, istilah sakit hati ini ibarat 'balsem' politik, apa-apa yang terasa sakit dibalsem, bahkan yang tidak gatal kena balsem.Â
Kalau orang-orang yang marah bisa jadi. Marah karena kinerja partai politik yang tak sanggup menghasilkan kepemimpinan yang pro-rakyat. Ada tanggungjawab partai yang mengalami disfungsi, ada difable dalam otak politisi yang mengarah pada difable yang merusak moral bangsa: transaksi politik, korups, tidak berpihak kepada publik, dan bertekuk lutuh pada kapitalisme yang merusak akal sehat dan meminggirkan rakyat dari akses kesejahteraan.Â
Salah satu hal yang mutlak dihindari dari gerakan rakyat bermerk dagang "joi8nt" ini adalah menjauhkan diri dari kekuatan interventif kelompok 'barisan sakit hati (beneran)', kelompok pialang politik, petualang politik, dan utusan kaum kapitalist yang menjelma jadi kekuatan berbasis 'kebudayaan'. Sudah muncul sinisme publik terkait kehadiran seseorang yang dilabeli sebagai 'freeport artist' di beberapa laman facebook. Kekuatan infiltrasi kaum-kaum perusak dan pembajak gerakan rakyat ini sangatlah menyulitkan kekuatan 'baik' karena adanya struktur dilematis dalam kesempatan politik. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk mendapatkan seluas-luasanya dukungan publik sehingga gerakan perlu menjadi gerakan yang inklusive untuk memenangkan kompetisi demokratis ini. Di sisi lain, banyaknya kekuatan yang akan mengalami fusi tak sempurna akan membawa perpecahan, bahkan sebgelum konvensi kandidat dan bisa juga mengalami delegitimasi internasl gerakan. Hal paling menyakitkan tentu saja adalah adalah gerakan pembelotan baik pra dan pasca kemenangan.Â
Para pembajak ini harus diamankan secepatnya sehingga butuh lebih banya orang baik yang bergabung dari pada mem,buka selebar-lebarnya dengan situasi dilematis di masa yang akan datang. Konon publik sudah tak begitu yakin akan model gerakan rakyat 'independent'. Semua dianggap ada sponsor yang siap nagih janji kalau sudah terpilih. Banyak hal di politisasi dan trauma atas praktik politik buruk di masa lalu begitu kuat terpatri.
Bagi kalangan tertentu, politik lebih banyak dipandangs sebagai arena memperjuangkan kepentingan sesaat dan golongan. KOta Yogyakarta itu ibarat rumah kaca kecil. Siapa saja dapat melihat dengan benar apa yang dilakukan orang lain. Tidak semua negatif, ada juga pandangan bahwa gerakan independent seharusnya menjadi kritik dan koreksi ke parpol untuk introspeksi. Gerakan independen dipahamai bukan proses deparpolisasi, tapi hanya sbg refleksi kritis ketika hak independen itu hilang ketika semau lini terjadi parpolisasi. Tesis, anti tesis, sintesis kata teori dalam buku.
Menghindari elitisme
Dua hal yang penting di sini adalah bahwa gerakan independent haruslah (1) Fokus pada 'kegembiraan' dan (2) membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya. Dengan kemampuan menciptakan suasana gembira jelang pilkada walikota, maka publik akan bersimpati pada gerakan ini. Jika, proses dan metodologinya sama dengan partai tentu publik tak punya harapan jauh ke depan. Kegembiraan akan mempertemukan banyak hal. Hadapi pilkada kota dengan hati senang dengan kegiatan yang unik, kreatif, asik, cair, tidak tegang adalah syarat wajib dari gerakan ini. Tanpa itu kelam sudah gerakan ini sebagai sebuah alternatif.Â
kedua, menghindari elitisme dengan membuka ruang partisipasi sangat penting. Calon yang dijaring dari rakyat, testimoni orang biasa, testimoni lintas pekerjaan, apakah mereka perlu walikota independent atau walikota seperti apa yang rakyat kehendaki. Jangan sampai mirip kasus, keistimewaan dengan penetapan gubernur diklaim sebagai kehendak rakyat sementara tak pernah ada situasi dimana rakyat menyampaikan keinginan dari status keistimewaan ini. Di era demokrasi, koalisi dengan rakyat adalah jalan utama untuk menyampaikan agenda perubahan. Â
Salah satu status Fb mantan anggota DPRD DIY berbunyi demikian: Â "Join opo ijon. Kalau join harusnya melakukan penjaringan tokoh masyarakat di 45 kelurahan atau 14 kecamatan utk dinominasikan. Kalau ijon, artinya sudah ada calon lalu dideklarasikan. (Podo wae karo partai, kucing dalam karung).."