Keberanian Bertindak
Siapa pun tahu bahwa keberanian yang didasari karakter otonom adalah suatu keniscayaan bagi sosok penyeru perlawanan. Dalam konteks kota sebagai arena pertempuran kuasa (politik )dan kapital (ekonomi) maka daerah ini daerah yang syarat dengan kemenangan, pestapora, kejayaan dan di sisi lain akan bergelimpangan nestapa. Kekuatan politik dan uang selalu berdekat erat dengan premanisme dalam segala variasinya. Maka. Menolak pembangunan hotel,eksploitasi, dan brandalisme jalanan bukanlah perbuatan tanpa resiko. Resiko disadari dan jalan taktik ditempuh. Jika mau berhasil, keberanian haruslah dipadukan dengan penalaran yang baik agar tidak mati dalam keadaan konyol. Mati dalam keadaan ide gagasan brilian belum sempat merasuk dalam alam kesadaran netizen & citizen (rakyat). Ya, karena mental berani inilah sosok Dodok Putra Bangsa berhasil menjadikan Hotel Fave ditutup, juga sosok Elanto mengubah brutalnya pengendara moge dan praktik penyuapan polisi semakin tidak sembrono. Ini adalah suatu upaya mulia untuk terus meneriakkan kebaikan.
Kreatifitas Perlawanan
“A creator is not someone who works for pleasure. A creator only does what he or she absolutely needs to do.” Gilles Deleuze (1925-1995)
Seperti tindakan kretaif Elanto, sebenarnya ada banyak kisah inspiratif seputar penggunaan metode perlawanan yang kreatif di muka bumi ini. Ada buku Jakcson dan Crawshaw, ada website menarik seperti ini, yang dapat menjadi petunjuk dan pengetahuan akan perlunya kreatif di dalam upaya mengubah suatu keadaan atau menolak suatu keadaan baru yang mengancam. Elanto dan Dodo mirip seolah mereka percaya bahwa gagasan yang diviralkan akan melahirkan kekuatan dukungan sentipetal dan sentrifugal secara simultan dan ini sebuah jalan yang tidak ‘mahal’ untuk memulai suatu agenda aksi. Kisah kekuatan viral juga pernah terjadi di Korea atas tindakan asik seorang mahasiswa bernama Ju Hyun-Woo yang membuat poster bertuliskan “I am not fine” berwarna kuning seperti warna identitas #gerakanmembunuhjogja. Poster dari kampus ini menjadi viral lantaran terlampau banyak kasus yang membuat orang tidak gembira dan tidak baik-baik saja seperti korupsi, pemilu yang tak jujur, pembangunan PLTN, dan sebagainya. Banyak orang mengaimini tindakan Hyun-Woo ini seperti orang mengamini tindakan Dodok dan Elanto. Kedua makhluk tuhan ini sangat kompak untuk mengedukasi publik agarmenjadi warga berdaya—warga yang terus berkarya tak berharap pada negara dalam brandingnya #JogjaOraDidol dan juga kampanye serta advokasi untuk mewujudkan Kota Untuk Manusia (ini juga menjadi nama group facebook).
Biar bagaimanapun, perlawanan itu adalah adalah seni kemungkinan. Bagaimana cara membuat suatu yang tak mungkin menjadi mungkin dengan trial and error tanpa merasa stress dan frustasi. Perlawanan yang dapat dibuat asik, dagelan, fresh, dan unik tentu saja akan memberikan nafas lebih panjang. Contohnya, perlawanan yang cukup kompak saat memperjuangkan keistimewaan DIY dalam format legal-formal. Ada sound of revolution-nya dari hip hop. Di Kota Yogyakarta ada lagu Jogja Ora Didol dan gangnam Ramasalah Har, dan sebagainya. Ini pertanda bahwa cara perlawanan kita sudah sampai pada tindakan tindakan kreatif. Kreatifitas juga punya korelasi dengan daya tahan serta ketagaran. Selain itu juga ledakan karya seni bernada perlawanan dalam beragam desain di social media, poster, graffiti jalanan, banner, leaflet, broadcast, dan fotografi.
Kekuatan daya tahan
Bentuk perlawanan yang paling mematikan adalah perlawanan yang berdaya tahan. Sederhananya, satu orang saja melakukan perlawanan seperti tuntutan kamisan di depan istana Negara tentu ini adalah suatu kegoncangan moral dan harga diri luar biasa bagi pelaku kejahatan yang disowani setiap hari. Jenis perlawanan yang tidak bisa dihadang dengan tank karena hanya satu atau tiga orang, bentuk perlawanan yang sulit dilumpuhkan lantaran meraka tak melakukan kekerasan apapun, dan juga tidak bisa ditembak karena semua orang tahu aksi berpayung hitam adalah seperti orang sedang takziah. Begitu juga Elanto menghadang Moge dan meneriakkan beragam kasus kemungkaran di ruang publik seperti mempetisikan perusak Kawasan Cagar Budaya (KCB), konvoi kampanye pemilu, dan teriak melalui foto-foto kekacauan trotoar jalan untuk membela hak “difable” (different ability). Aksi-aksi berdaya tahan dan individual ini selain akan mendatankan simpati, berbiaya murah, dan tak gampang dihantam terlebih karena ‘adzan’nya ditunggu jamaah di sosial media. Apa hal baru postingan di facebook dan tweeter gerakkannya ini selalu ada yang sabar menunggu. Saya pribadi terasa betul, bahwa gerakan Elanto dan Dodok ini memaksa kita melakukan apa yang bisa kita lakukan. Terlebih, setelah menonton film di belakang hotel, semen-samin, kala benoa, dst karya Watcdoc itu rasanya kita adalah bagian dari jamaah yang diadzani setiap saat.
Daya tahan itu adalah kekuatan yang dipelihara dengan berjejaring, dengan melakukan tindakan, melanjutkan apa yang sudah berjalan, berteman dengan siapa saja, beriteraksi, menjawab wawancara, mennyatakan pendepat di media, menuliskan cerita pendek, menguatkan diri dengan membaca, belajar hal baru, mau berbagi dan bertanya satu lain hal. Inilah kekuatan yang tak gampang ditumpas. Peluang melakukan seruan dan perlawanan semakin terbuka. Keyakinan inilah yang saya saksikan dari sosok manusia merdeka bernama akun twetter @joeyokarto ini.
Jalan non-Kekerasan
Dunia kontemporer yang kita dapat jadikan pelajaran adalah bagaimana berminggu-minggu kelompok oposisi di Mesir menduduki (sit-ins) tempat umum di masa transisi mendukung Mohamad Morsi. Mereka mereplikasi taktik para demonstran yang pernah aksi protes kepada komunisme dengan menduduki Tiananmen di China, pendudukan damai di Epifanio de los Santos Avenue untuk membebaskan Presiden Ferdinand Marcos dari tuntutan, aksi pendudukan the United States’ National Mall to memaksa menghentikan perang Vietnan, pendudukan gedung DPR-MPR tahun 1998 di Indonesia untuk melengserkan Suharto, dan masih banyak lagi.