Gerakan yang tak mampu memperbaharui dirinya adalah gerakan yang sedang menemui ajalnya. Ungkapan ini menandai banyak sejarah di dunia dan telah dicatat di sana bahwa banyak sekali gagasan-gagasan besar kemudian lapuk akibat ia atau pengagumnya gagal mengawetkannya. Bisa jadi ia berhasil memasukkan dalam katalog buku atau sudut ruang museum, tetapi tak lagi berdaya untuk menggerakkan perubahan—membawa dampak positif bagi kehidupan kontemporer. Inilah tantangan besar, bagi Komunitas kecil sekalipun.
Di akhir tahun ini, tulisna ini bermasuk ingin kembali menyegarkan suasana terutama bagi pegiat literasi yang sudah lelah. Tulisan ini ingin menyapa sekaligus mengajak pembaca untuk terus menerus memperbaharui keadaan fikiran lalu aksi dan juga refleksi. Tentu ini tidak akan banyak mengubah pembaca sebagai resep pesakitan, tetapi setidaknya penulis ingin mengatakan bahwa penulis mengurai kejenuhan dalam gerakan literasi hampir setiap saat setiap waktu: berperang melawan kemalasan, kebosanan, dan kelelahan. Kita harus tampil menjadi pemenang.
Dalam kesempatan ini, penulis terinspirasi oleh status BB seorang pegiat literasi yang sangat reflektif yaitu Fauzan Anwar Sandiah beberapa hari lalu yaitu gerakan 3M: membaca, menulis , dan menanam. Dia rupanya sangat dekat dengan pikiran filosof Fritjof Capra, penulis buku the web of life (2001) yang kemudian banyak direplikasi gagasannya di website ecoliteracy.com. Gagasan ekoliterasi ini kemudian menjadi penting bagi pegiat RBK khususnya untuk menyegarkan gerakan anak-anak muda dalam mentradisikan gerakan membaca. Apa yang mampu kita perbaharui dalam tradisi gerakan literasi akan didiskusikan dalam tiga bagian pembahasan berikut ini.
Membaca
Membaca sebagai kegiatan aktif-produktif serta kreatif merupakan pekerjaan yang menguras banyak energy kita. Namun demikian, membaca telah terbukti memberikan ide-ide gila bagi pembacanya dan telah terbukti kegiatan ini memproduksi banyak ilmu pengetahuan.
Aktifitas membaca sebagai pembuka pagi, walau tak semua orang sama memiliki kebiasaan. Tidak sedikit pula , mereka membuka pagi dengan menulis: menulis puisi, cerpen, artikel, buku, dan sebagainya. Aktifitas membaca yang mendahului kegiatan menulis akan memperkaya materi yang kita tulis dan menjadikan lebih bergizi. Sesuai saran Hernowo (2008), text yang kit baca adalah vitamin sempurna untuk terus bertahan dalam segala pancaroba zaman. Semakin banyak vitamin, semakin sehat tulisan kita. Tulisan yang baik akan mengerakkan pembacanya, memberikan inspirasi setidaknya.
Menulis
Taufiq Ismail pernah mengatakan bahwa “membaca dan menulis adalah kembar siam”. Artinya, dua aktifitas ini tak terpisahkan. Penulis yang hebat merupakan pembaca yang militant dan juga sebaliknya ( walau kurang kuat di sisi sebaliknya). Faktanya, banyak pembaca ideologis dan super militant, tetapi tidak banyak memproduksi tulisan namun lebih pada penyajian secara verbal. Potensi orang memang beragam, jika tak rajin menulis tentu diskusi menjadi solusi terbaik untuk mengawetkan ingatan dan pengetahuan.
Menulis adalah kegiatan mengabadikan pengalaman empirik untuk dijadikan pengetahuan bagi pembaca atau untuk menginspirasi pembaca termasuk juga bagaimana penulis menawarkan hal baru, gagasan baru untuk mendekonstruksi meanstream pemahaman yang sudah melekat. Sebagaimana ‘mantra’ Pramudya yang sangat popular bahwa “menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Tanpa kebudayaan tulis, rasanya sangat berat membawa bangsa ini mengenyam kemajuan dan penerangan peradaban. Jadi, tak ada tawar menawar bahwa bangsa ini harus menulis agar dapat menentukan masa depannya sendiri. Bukan bangsa lain yang mendikte bagaimana hari depan harus dilakoni oleh anak-anak negeri ini.
“Menulislah sejak SD, apapun yang ditulis sejak SD pasti jadi”, kata Pramudya Ananta Tour, seorang sastrawan humanis yang sangat keras pendirianya mengenai kemandirian dan kebebasan manusia. Beberapa warisan pemikiranya saya kira cukup mendongkrak motivasi kalangan penulis muda salah satunya adalah tiga hal yang paling berharga yaitu (1) usia muda yang kreatif; (2) kebebasan; dan (3) harga diri sebagai manusia. Ketiga hal ini yang harus terus menerus diperjuangkan tanpa henti dan tidak kenal lelah. Pegiat literasi tak boleh menyerah dengan kelelahan!.
Menanam
Gerakan literasi, seharusnya, bukan melulu urusan perbukuan tetapi jugadilengkapi dengan aktifitas lain yang membumi seperti mengembangkan kebudayaan, menagpresiasi seni, sampai pada kegiatan berkebu. Membaca dan menanam punya orientasi masa depan. Membaca itu menanam pengetahuan untuk masa depan sementara menanam juga upaya advokasi terhadap lingkungan untuk melindungi bumi agar tetap sehat dan menyehatkan.
Tak terbayangkan, jika pembaca tak peduli pada alam maka membaca itu terasa mencabut kesadaran akan pentingnya realitas. Realitas yang kita pahami sebagai persoalan kontemporer lingkungan. Bumi panas, oksigen kurang adalah satu persoalan sederhana yang akan bisa ditolong dengan menanam. Upaya lainnya adalah pendayagunaan barang barang yang masih bermanfaat tetapi disepelekan dengan reduce dan reuse. Inilah yang dilabeli “ekoliterasi” dalam madzab RBK Kalibedog (Gerakan literasi #5).
Pesan agung dari gerakan ekoliterasi adalah kehidupan yang lebih harmoni, ramah longkungan, dan berkelanjutan. Gerakan literasi tidak boleh berhenti pada kemampuan masyarakat menyerap bacaan text dan beragam wacana kontemporer tetapi juga dituntut aksi nyatanya untuk mengurangi persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat misalnya hilangnya ruang terbuka hijau di kota dan degradasi fungsi tanah sebagai penyedia kehidupan (oksigen) dan juga ketidakpedulian manusia akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem—jaring-jaring kehidupan (meminjam Capra). Membaca harus diaktifasi dengan kegiatan menanam sebagai manifestasi keberihakan pegiatnya pada masa depan bumi.
Salah satu problem besar masyarakat modern adalah masalah pengelolaan sampah. Jumlah sampah setiap hari berlari seperti deret ukur, sementara tata kelola sampah sangat lamban seperti deret hitung. Jadi semakin sesaklah bumi manusia dengan sampah bahkan manusianya dapat tertimbun sampah. Di Jakarta, laporan majalah Tempo edisi Desember 2014 menuliskan bahwa masyarakat Jakarta menghasilkan sampah seberat 2000 gajah dewasa/per harinya.
Jika tak mampu dikelola, maka akan menjadi bencana sewaktu-waktu. Apa yang bisa dilakukan? Sampah bisa saja menjadi komoditas ekonomi agar manusia tidak ceroboh memindahkan sampah hanya karena egoism sesaat—menjauhkan sampah dari matanya tetapi mendekatkan kepada mata banyak orang dengan membuang secara sembrono di tempat yang menjadikan sampah itu mengganggu padahal sampah itu bisa tidak mengaggu bahkan menguntungkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H