Mohon tunggu...
David Efendi
David Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah

seorang warga biasa-biasa saja. Ingin berbagi sebagai bagian upaya memberikan arti hidup small act of Kindness. Pegiat Perpustakaan Jalanan Rumah Baca Komunitas yang memberikan akses bacaan, pinjaman buku tanpa syarat dan batas waktu. Belajar apa saja sebagai kontributor di www.rumahbacakomunitas.org

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kami menolak Dijajah Pasar Modern

12 Maret 2016   16:59 Diperbarui: 13 Maret 2016   20:06 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="#belanjadiwarungtetanggaAJA"][/caption]Salah satu butir rekomendasi Musyawarah Wilayah Muhammadiyah DIY yang dilaksanakan pada akhir tahun 2015 adalah pentingnya respon persyarikatan Muhammadiyah di dalam menghadapi ekspansi toko modern berjejaring nasional yang melakukan ekspansi kuat di daerah, bahkan ke desa-desa. Jika ekspansi toko modern jejaring dibiarkan, tidak menutup kemungkinan banyak produsen dan warung-warung rakyat akan gulung tikar. Bertitik tolak dari hasil Muswil inilah, PWM DIY khususnya Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) beriktikad untuk terus menggelorakan wacana dan juga gerakan praktis mengenai penataan toko modern berjejaring. Sebulan lalu, LHKP mengadukan praktik kecurangan pelaku bisnis waralaba berjejaring di DI Yogyakarta kepada Lembaga Ombudsman DIY sebagai bagian dari upaya advokasi atas keberadaan pasar rakyat.

Tuntutan atas penataan toko modern berjejaring ini sebenarnya sudah menjadi isu publik yang cukup lama . Data Kementerian Perdagangan Tahun 2014 menunjukkan bahwa toko modern di Indonesia berjumlah 23.258 gerai dalam bentuk ritel, rumah makan, apotek, minimarket, dan waralaba. Dari hasil kajian riset dan realitas yang terjadi, pertumbuhan toko modern berjejaring yang tidak terkendali memberikan dampak negatif bagi warung-warung rakyat dan produsen lokal. Tantangan ke depan juga ada di depan mata. Implementasi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akan memberikan peluang bagi perkembangan ekspansi toko-toko modern asal negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. 

Regulasi-regulasi penataan toko modern juga banyak dikeluarkan oleh pemerintah. Misalnya di level pusat ada Peraturan Presiden Nomer 112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, Permendag Nomer 70/M-Dag/Per/12/2013 Tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern dan Permendag nomer 56/M-Dag/Per/9/2014 Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Peraturan Menteri Perdagangan Nomer 70/M-Dag/Per/12/2013 Tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar . 

Di DIY setiap daerah juga sudah memiliki peraturan-peraturan mengenai toko modern ini misalnya Perbup Bantul Nomer 35 Tahun 2013 tentang penyelenggaraan ijin usaha toko modern, Perda Sleman nomer 18 Tahun 2012 Tentang Perijinan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, Perda Gunungkidul nomer 16 tahun 2012 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan toko modern, Perda Kulonprogo nomer 11 Tahun 2011 mengenai Perlindungan dan Pemberdayaan Pasar Tradisional serta Penataan Pusat Perbelanjaan dan toko modern dan Perwali Kota Yogyakata nomer 79 Tahun 2010 tentang Pembatasan Usaha Waralaba Minimarket. 

Meskipun telah banyak regulasi akan tetapi jika dicermati ada beberapa kelemahaan baik dari sisi substansi dan implementasi regulasi tersebut. Dari sisi substansi, banyak kelemahan-kelemahan yang muncul dalam berbagai peraturan daerah tersebut misalnya terkait dengan proses dan persyaratan-persyaratan perijinan usaha toko modern yang cenderung terlalu longgar dan memberikan celah bagi siasat pemilik kapital, kurangnya penekanan dimensi sosial dalam pembangunan toko modern, jarak antara toko modern dengan warung rakyat dengan toko modern lainnya dan aspek kemitraan antara toko modern dengan sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). 

Celah-celah kelemahan dari sisi regualasi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para pemilik toko modern berjejaring untuk mensiasasti berbagai bentuk proses perijinan yang ada. Dari kasus di lapangan banyak ditemukan pembangunan toko modern ini seringkali mendahului legalitas ijin usaha yang dimiliki, banyak toko modern yang berjarak kurang 1 kilometer dari pasar tradisional. Bahkan seiring gencarnya penertiban yang dilakukan pemerintah daerah banyak toko-toko modern berjejaring nasional yang kemudian mengganti namanya dengan brand nama-nama lokal. 

Akibatnya banyak muncul toko-toko “siluman”. Ironisnya pemerintah daerah seringkali tidak kuasa menahan berbagai strategi yang dilakukan para pemilik kapital di dalam mengembangkan ekspansi usahanya. Di sisi lain, masyarakat dan para pelaku warung rakyat seringkali tidak memiliki keberanian di dalam mengadvokasi nasib mereka. Mereka seringkali takut kalau ada ancaman ataupun intimidasi terhadap mereka. 

Bertitik tolak dari kondisi tersebut maka upaya penertiban toko modern memang perlu dilakukan secara kontinyu. Verifikasi perijinan yang lebih ketat dan pemantauan yang rutin diharapkan dapat dilakukan oleh pemerintah daerah. Gerakan-gerakan moral untuk tidak membeli produk di toko-toko modern yang bermasalah dalam perijinan mungkin dapat menjadi sebuah alternatif. Kapasitas pengawasan terhadap toko modern juga perlu lebih melibatkan pemerintah kecamatan maupun pemerintah desa karena mereka yang lebih dekat dengan lokasi. 

Kemudahan di dalam permodalan dan pengembangan usaha serta pelatihan sumber daya manusia diharapkan dapat menjadi alternatif kebijakan pemerintah untuk meningkatkan daya saing waralaba-waralaba lokal tersebut. Pengembangan waralaba lokal ini diharapkan juga dapat dipandang sebagai bagian mengembangkan UMKM dari hulu ke hilir. Oleh karena itu, waralaba lokal harus menampung produk-produk lokal yang dihasilkan para pelaku UMKM. Indonesia tidak boleh malu belajar dari Malaysia maupun Thailand misalnya. Di Malaysia perhatian pemerintah cukup intens di dalan menggarap waralaba lokal. Demikian juga di Thailand yang mengembangkan pusat pasar dalam memfasilitasi proses penjualan waralaba dari usaha Black Canyon Coffe. 

Untuk mendorong peran pemerintah dapat hadir di dalam melindungi kepentingan warung rakyat maka dukungan dari berbagai stakeholders sangat dibutuhkan dan bersinergi satu sama lain. Dalam konteks inilah LHKP PWM DIY berikhtiar untuk terus dapat memberikan dorongan dan melakukan gerakan-gerakan moral agar ekspansi toko modern semakin tidak meminggirkan keberadaan pasar tradisional dan juga warung-warung rakyat.

 Agar perjuangan penataan dan penolakan atas toko modern ini dapat lebih berhasil maka sinergi antara kekuatan Muhammadiyah dan berbagai aktor lainnya adalah suatu keniscayaan. Dengan demikian diharapkan perjuangan ini akan lebih komprehensif dan terintegrasi menjadi satu kesatuan sehingga memiliki posisi tawar politik yang kuat di dalam melakukan advokasi kebijakan di DI Yogyakarta.

Dr. Hempri Suyatna, Anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP, Dosen Fisipol UGM) PWM DIY; David Efendi, Wakil Ketua LHKP DIY, Dosen Ilmu Pemerintahan UMY sumber: radar Jogja 12 Maret 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun