Mohon tunggu...
David Efendi
David Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah

seorang warga biasa-biasa saja. Ingin berbagi sebagai bagian upaya memberikan arti hidup small act of Kindness. Pegiat Perpustakaan Jalanan Rumah Baca Komunitas yang memberikan akses bacaan, pinjaman buku tanpa syarat dan batas waktu. Belajar apa saja sebagai kontributor di www.rumahbacakomunitas.org

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mitigasi Bencana Hotel

8 Maret 2016   13:53 Diperbarui: 8 Maret 2016   14:01 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

David Efendi
Pegiat Rumah Baca Komunitas

"Tampaknya memang ada kesulitan yang tak tertanggulangi untuk mempertahankan sumpah 'melindungi penduduk pribumi Dari pemerasan Dan tirani.'
Multatuli, Max Havelaar

Satu upaya kontributif pegiat literasi di Rumah Baca Komunitas adalah turut membangun wacana kesadaran warga untuk mencintai kampong halamannya, mencintai orang-orang baik di sekitarnya, dan tentu saja mendamba masa depan yang tidak diliputi prahara ekologi dan sosial. Lalu ‘project’ ini kita sebut sebagai melek perkotaan atau bahasa ‘keren’nya #urbanLiteracyCampaign untuk turut mengapresiasi berbagai aksi-aksi amal kebaikan oleh warga berdaya yang telah tumbuh sejak para pegiat #gerakanjogjaasat #jogjaoradidol bersuara (voicing the voiceless) yang diawali dengan ditangkapnya aktifis graffiti lantaran mural Jogja ora didol-nya.

[caption caption="designed by dary"][/caption]
Mitigasi dalam oxford dictionary English diartikan sebagai “the action of reducing the severity, seriousness, or painfulness of something”—kegiatan untuk mengurangi kesusahan, kesakitan, dari keadaan emergensi tertentu. Sebagai contohnya adalah kegiatan mengidentifikasi polusi udara, polusi air dan identifikasi kerentanan sosial-ekonomi akibat kejadian bencana tertentu. Sementara FEMA, lembaga penanganan bencana Amerika Serikat, menjelaskan lebih detail definisi mitigasi yang identik dengan kebencanaan sebagai berikut:[i]

“Mitigation is the effort to reduce loss of life and property by lessening the impact of disasters. In order for mitigation to be effective we need to take action now—before the next disaster—to reduce human and financial consequences later (analyzing risk, reducing risk, and insuring against risk). It is important to know that disasters can happen at anytime and anyplace and if we are not prepared, consequences can be fatal.”

FEMA memberikan tahapan penanaganan bukan hanya pada saat bencana terjadi tetapi juga mencegah dampak ikutannya seperti properti, harta, keuangan masyarakat yang sangat rentan mengikuti krisis akibat bencana. Bencana dalam tulisan ini bukan hanya merujuk pada bencana alam (natural disaster) tetapi juga bencana yang diakibatkan oleh kecerobohan manusia (human-made disaster) atau kegagalan tekhnologi (misalnya: pembangkit nuklir, atau limba semen). 

Olengnya rezim tekhnokrasi menghadapi siasat jitu para pengembang atau pebisnis hotel, mall, dan swalayan berjejaring juga mengisyaratkan matinya adat istiadat, punahnya ungah ungguh jawa: ngono yo ngono tapi ojo ngono dalam perebuatan sumber kesejahteraan.
Dalam konteks Yogyakarta yang ditumbuhi bangunan megah bermerk hotel dan supermall ini oleh beberpa kalangan telah disebut sebagai “bencana” dalam ragam ekpresi misalnya: jogja darurat hotel, Jogja berhenti nyaman, sampai ada label yang satire “Sultan HaMALLkubuwuno”, dan juga ditandai dengan beragam kasus hotel vis a vis warga.

Kekuatan Individu

Sejumlah aktivis, yang selama ini aktif memprotes maraknya pembangunan hotel di Kota Yogyakarta, berencana melakukan kampanye penyadaran ke warga di kampung-kampung. Salah satu dari penggagas kampanye itu, Elanto Wijoyono mengatakan aksi itu berupa edukasi ke warga kampung-kampung di Kota Yogyakarta dan sekitarnya tentang cara menyikapi rencana pembangunan hotel atau mall di dekat permukiman mereka. Kerja Elanto dan teman-teman ini mempunyai sasaran kami semua kampung di DIY sebagai bentuk pendidikan mitigasi bencana bagi masyarakat. Pilihan kata Mitigasi bencana yang digagas Elanto ini merupakan pilihan kata yang cerdas agar masyarakat gumbregah, bangkit kesadaran, bangkit kebudayaannya untuk bersama-sama menyelamatkan Yogyakarta dari proses bunuh dirinya.

Kata mitigasi bencana ini merujuk pada status darurat kota yang mengundang lebih banyak kekuatan orang baik untuk berdiri dan melakukan sesuatu demi ‘kota harapan’ yang telah banyak memberikan citra positif dari masa lalu dan untuk masa depan.
Selain Elanto, ada juga Dadok Putera Bangsa, aktifis jogja asat yang sangat popular karena keberhasilannya menutup Fave Hotel di kampungnya. Tindakan perlawanan kecil yang cemerlang dan sukses. Hal ini layak direplika untuk beragam tindakan penolakan atau oposisi rakyat di kampong lainnya. Bagaimana cerita kesuksesannya?

Banyak pihak menyadari, munculnya puluhan hotel maupun mall di Yogyakarta lebih banyak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Di kampong Dadok di Miliran ia klaim dengan keras bahwa warga sekitar terdampak kekeringan sejak pendirian Fave Hotel. Kekeringan ini menurutnya tidak pernah terjadi seumur hidupnya. Ia pun dengan gagah berani bersama warga melakukan protes ke manajemen hotel. Ketika tak mendapatkan respon memuasakn, mereka bersama juga mendatangi pemerintah kota Yogyakarta untuk melakukan pengawasan penggunaan sumur dalam hotel yang ada. Awalnya, pemerintah kota melalui BLH malah berargumen membenarkan operasional hotel karena dinilai sudah tepat mengambil sumber air dalam yang tidak akan menggganggu sumber air dangkal masyarakat.

Dukungan film documenter wacthdoc turut berkontribusi suksesnya gerakan ini hingga fave hotel ditutup. Dadok mengajak kepada seluruh masayarakat dan juga kaum muda untuk bersama-sama memperjuangkan kepentingan rakyat yang telah kehilangan kebutuhan dasar yakni air. Salah satunya dengan melakukan riset terkait amdal pembangunan hotel dan juga IMB mall di Yogyakarta. suatu ajakan yang sangat penting untuk kita semua.
Jogja darurat hotel?

Kalau ada pertanyaan, sebenarnya siapa yang ngebet membangun hotel sebegitu banyak hingga tak satu pun orang jogja tahu persis nama dan jumlah hotel serta ketersediaan kamarnya? Hal ini jelas, bukan kebutuhan warga Yogyakarta untuk membabi buta membangun fasilitas untuk keperluan yang tidak jelas dukungannya bagi kesejahteraan warga namun sangat pasti kerusakan yang dihasilkannya. Hotel yang dibangun oleh investor, tentu saja akan hanya menguntungkan investor antah brantah.[ii]

Seolah warga tak mendapatkan dukungan yang selayaknya dari pihak otoritas atau akademisi. Beberapa sumber memperkuata bukti bahwa kebanyakan usaha pembangunan bangunan-bangunan komersil tetap berjalan karena adanya dukungan dari aparat kepolisian. Bahkan tidak jarang mendapat dukungan ilmiah dari kalangan akademisi yang luput dari fokus pembangunan yang berkeadilan. Kesan buruk sekali bahwa hari ini, pengusaha, negara, dan kaum intelektual bekerjasama menyengsarakan rakyat. Jadi kita ingat kasus semen di rembang yang mendapat justifikasi ilmiah dari akademisi di UGM.

Namun demikian, ada juga beberapa kaum intelektual yang berani berstatemen agak keras mengenai bencana hotel dan mall ini. Francis Wahono, Direktur Center for Integrated Development and Rural Studies menilai maraknya pembangunan hotel dan mall telah merusak keistimewaan Yogyakarta. menurutnya, dengan menjamurnya bangunan-bangunan itu menggusur warga kampung menyebabkan kerusakan lingkungan sekitarnya. Keangkuhan Mall-mall dan superblock menjadi tontonan tak elok di tengah rakyat yang setia mengawal keistimewaan penguasa. Dengan keadaan hari ini, misalnya praktik ekonomi tidak mengidentifikasi keistimewaan apa pun yang dimiliki oleh DI Yogyakarta.

Emha AInun Najib juga mengajarkan nalar kritis kepada kita dan juga pemerintah mengenai kesalahanpahaman memaknai rakyat dan tujuan pembangunan. Cak Nun menuliskan keseleo pikiran penguasa itu dengan nada sedikit jengkel:


“…pejabat sering salah sangka terhadap rakyat dan dirinya sendiri. Mereka menyangka bahwa mereka adalah atasan rakyat, sementara rakyat adalah bawahan…mereka merasah sah dan tidak berdosa jika memaksakan kehendak atas rakyat. Mereka merasa berhak untuk mengatur, dan rakyat berkewajiban menaati aturan. Inilah tatanan dunia yang dibolak-balik. Bukankah ha katas segala aturan berada di tangan rakyat? Maka menjadi aneh jika rakyat terus menerus diwajibkan berpartisipasi dalam pembangunan karena rakyatlah pemilik pembangunan.” [iii]

Kutipan panjang itu juga membangunkan kesadaran kita bahwa kita bukanlah bangsa bebek yang mengekor apa maunya nafsu kekuasaan. Hotel itu bukanlah janji masa depan, adalah neraka yang dihadirkan dalam kehidupan. dalam konsepsi pembangunan manusiawi, apa yang terjadi di kota Jogja dan apa yang diisyaratkan Cak Nun, kondisi hari ini masih jauh dari pembangunan yang memanusiakan manusia. Manusia yang dimanusiakan artinya manusia diakui sebagai “subyek yang otonom” (Driyarkara, dalam buku Humanisme karya Y.B Mangunwijaya)

Mendidik untuk Melawan

Sebagaimana kata Wiji Thukul ketika melihat perihnya hidup di bawa tirani, hanya ada satu kata LAWAN. Namun, dalam kampanye literasi untuk warga kota tentu ada cara melawan yang tidak kontraporduktif. Radikalisasi kaum muda tidak hanya dengan kekuatan revolusi fisik namun juga dapat dilakukan dengan revolusi harapan yaitu dengan membangun kesadaran dan aksi-aksi nyata walau kecil dalam kehidupan sehari-hari misalnya menanam lahan kosong, mempertahankan ruang publik, menjaga situs kebudayaan tertentu,

 dan melek regulasi dan kemampuan advokasi yang dilandasi dengan pengetahuan yang valid mengenai isu-isu perkotaan seperti RTH, UU, Perda, dan juga kemampuan menggalang sekutu untuk menyuarakan kebaikan. Problem kita bukan kekurangan SDM untuk menyediakan jalan alternatif pembangunan, tapi soal upaya sebagaimana ungkapan Multatuli, "Semua orang ingin melakukannya, tapi tak ada yang berani mengupayakannya."[iv]

Jadi, tak mungkin kekuatan politically correct dan business as usual kita hadapi hanya dengan keinginan untuk mengubah tanpa ada upaya nyata, pengetahuan dan militansi. Bahkan militansi dan pengetahuan itu pun perlu dibarengi dengan daya tahan, ketegaran, kecerdikan untuk menyembunyikan maksud sebenarnya. Ajaran agung perlawanan-perlawanan kecil (small acts of resistance) yang ditulis oleh Steve Crawshaw dan John Jackson (2015) dan kebaikan-kebaikan kecil keseharian (small acts of kindess) itu adalah nafas yang sudah ada dalam infratstruktur ebudayaan yang hidup di masyarakat jawa. Saatnya membuktikan daya ubah dari kebudayaan lokal kita.

[i] Diakses dari https://www.fema.gov/what-mitigatio...
[ii] Aktivis lingkungan, RM. Aji Kusumo menilai bahwa pembangunan hotel maupun mall tidak banyak memberikan nilai positif bagai masyarakat sekitar. Namun justru lebih banyak memunculkan dampak negatif . Pembangunan hotel dan mall dengan modal investor tidak menguntungkan warga karena keuntungan hanya masuk ke kantong mereka. Diakses dari http://www.rumahbacakomunitas.org/2...
[iii] dikutip dari buku Emha Ainun Nadjib, Gelandangan di Kampung sendiri (bentang, 2015).
[iv] Multatuli dalam bukunya Max Havelaar yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Qanita (2014).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun