Mohon tunggu...
David Efendi
David Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Kader Hijau Muhammadiyah

seorang warga biasa-biasa saja. Ingin berbagi sebagai bagian upaya memberikan arti hidup small act of Kindness. Pegiat Perpustakaan Jalanan Rumah Baca Komunitas yang memberikan akses bacaan, pinjaman buku tanpa syarat dan batas waktu. Belajar apa saja sebagai kontributor di www.rumahbacakomunitas.org

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Matinya Kota

8 Maret 2016   12:37 Diperbarui: 8 Maret 2016   15:51 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Kedua adalah paradigma ekonomi-politik. Paradigma ini sangat dominan sejak dulu dimana beragam proyek tekhnokratis dihasratkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Hal ini kerap kali menggelincirkan situasi tata kelola kota sebagai politics as bussiness as usual—yang menerabas beragam etika dan kedaulatan ekologis. Dari posisi ini sebenarnya, muncul beragam kritik atas hukum besi perencanaan pembangunan tekhnokratik. Hukum besi yang tidak ramah kepada manusia—terutama kelompok rentan: kaum miskin kota, perempuan, dan anak-anak.

Matinya kota?

Kota yang oleh Khaldun disebut sebagai “locus of civilization” artinya kota hari ini bukanlah gejala modernitas. Peradaban selalu melahirkan kota dari ribuan tahun silam. Kota yang beradab akan memungkinkan penduduknya memperoleh keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan. Ketiga hal ini semakin sulit digapai dalam kota yang padat, panas, kemacetan, ruang publik yang sempit, banyak kemiskinan di berbagaisudut kota dan pendidikan yang tak mengembangkan kebudayaan. Kota seperti mengalami involusi. Hal-hal yang ideal mengenai ‘tomorrow of city’ atau the city of hope sebagiamana yang dibayangkan warganya tak gampang ditemui. Justru stress dan frustasi yang melanda.

Dalam sejarah manusia, ada beberapa contoh kota yang punah yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun seperti kota yang airnya membusuk/tidak mengalir yang kemudian bertransformasi menjadi wabah penyakit di Maroko, juga ada beberapa kota yang musnah karena perang sipil tak berkesudahan. Air, terutama dan paling utama, adalah harta paling berharga yang menjadikan kota akan tetap hidup dan tumbuh. [caption caption="kontribusitemandiinstagram"]

[/caption]

Jika salah urus air, misalnya dengan privatisasi membabi buta, maka ada ancaman serius kota ini akan punah—setidaknya punah manusianya dan hanya kelas tertentu yang memenangkan pertempuran kota. Yugoslavia dan bosnia adalah contoh kota yang hilang, bagdad menyusul. Dalam konteks yang lebih spesifik, ada juga kota yang mulai ditinggalkan manusia seperti Jakarta. Ke jakarta hanya mencari uang, hidup lebih menjanjikan ditempat lain.

Untuk mencegah kota mati terlalu cepat dibutuhkan kerjasama yang sangat erat antara kelompok pemerintah, masyarakat sipil, dan pelaku dunia bisnis. Di sektor pemerintah diperlukan pemerintahan yang inklusif, membuka ruang partisipasi, mewujudkan nilai-nilai keadilan, menyediakan pelayanan publik yang bagus, mengimplementasikan model-model smart city yang relevan seperti connectifity, tekhnologi infrormasi, dan di saat yang sama tetap mengapresiasi beragam nilai-nilai kebudayaan yang selama ini masih dirawat dan dihargai oleh masyarakat kota. Menjadi modern dan smart, tak selalu identik dengan proses negasi terhadap keberadaan infrastruktur kebudayaan dan kearifan lokal.

Ambisi modernitas tak boleh melanggar nilai-nilai yang menjadi keyakinan dasar manusia yang menghuninya. Di jawa, misalnya, ada nilai-nilai keguyuban, nilai-nilai tepo seliro (toleran), simbol-simbol arsitek dan sebagainya. Ini tak bisa dilanggar sebagai konsekuensi dari kebudayaan. Kecuali memang seluruh isi kota bersepakat untuk meninggalkan kebudayaan lamanya.

David Efendi, Salah seorang pendiri Rumah Baca Komunitas (gerakan literasi). Pegiat Urban Literacy Campaign untuk komunitas. Belum lama ini membuat “huru hara” di Yogja dengan hastag #gerakanmembunuhjogja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun