Tuhanlah Pembuat Makar yang Baik
Ahok harus berterima kasih kepada FPI cs. Karena kemenangan dalam Pilkada DKI yang sebentar lagi diraihnya tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh FPI dari saat sebelum pencalonannya sampailah ke hari tenang. Saya jadi agak curiga, jangan-jangan FPI diperalat oleh SBY untuk tujuan memenangkan Ahok.
Jika tidak ada unsur kesengajaan, berarti SBY dan Prabowo yang sedang memanfaatkan isu pemimpin muslim terjerat dalam jebakan maut yang ditebar oleh FPI. Karena di mata pemilih Jakarta, FPI yang senang menggoreng isu agama nyata-nyata bermain dua kaki: AHY dan Anis. Mungkin tujuannya benar, tetapi dalam hitungan strategi politik hal itu salah besar.
Karena dalam politik yang menjadi indikator kemenangan adalah perolehan dukungan dalam bentuk suara pemilih. One man one vote, tidak peduli darimana datangnya dan siapa orangnya. Yang dipentingkan adalah suara pemilih yang sah. Untuk pemilihan gubernur DKI, pastilah yang memiliki hak untuk memberikan suara adalah warga DKI, bukan anggota atau pempinan FPI yang tinggal di luar DKI.
Kita tidak menafikan bahwa, FPI cs memang nyata ada di Jakarta dan mempunyai hak memilih Cagub Jakarta. Tetapi sesungguhnya yang bisa diharapkan dari FPI hanyalah teriakannya, bukan suaranya. Untuk memekikkan takbir di jalanan ibukota, FPI lah rajanya. Tetapi untuk memberi suara dalam kesenyapan, boleh dikata, tidak akan memberi arti apa-apa.
Terbukti, untuk urusan mendemo Cagub petahana saja, FPI membutuhkan kelompok Islam politik dari seluruh penjuru tanah air. Artinya jumlah anggota FPI yang ada di Jakarta tidaklah seberapa, untuk tidak mengatakan sangat sedikit. Dan kalaupun ditambah dengan simpatisannya, yang tidak lain adalah para kader dari partai Islam politik, masih tetap kalah banyak dengan yang tidak bersimpati.
SBY yang mencalonkan tentara bekas dan Prabowo yang mencalonkan menteri bekas, sepertinya kurang jeli membaca kelompok silent mayority. Nyata-nyata keduanya -SBY dan Prabowo- lebih bangga menang dalam teriakan di jalanan, padahal akan menderita kekalahan di saat suasana dalam kesenyapan. Karena dalam Pemilu, suara yang dihitung oleh KPU adalah suara dalam bilik senyap yang tidak seorangpun mengetahui, bukan suara pekikan orang ramai di jalan.
Sampai batas yang sebenarnya sangat mengkhawatirkan, suara teriakan di jalanan yang dilakukan oleh FPI cs, telah menyebabkan antipati kelompok silent mayority. Karena bagi kelompok silent mayority, kehadiran simpatisan FPI yang tidak punya hak memilih di Jakarta tetapi seringkali memenuhi jalanan Jakarta, telah menyebabkan aktifitas  mereka terganggu. Secara otomatis pula, silent mayority ini semakin menjauhi Cagup yang didukung oleh FPI cs: AHY dan Anis.
Keadaan itu semakin diperparah dengan terpaksa keduanya -AHY dan Anis- saling "berebut" suara FPI cs. Sudahlah suara FPI cs dan yang bersimpati kepadanya hanya sedikit, terpaksa pula dibagi dua, maka yang tinggal hanya sangat sedikit sekali.
Di sisi lain Ahok terus berkibar dan semakin sulit tertandingi. Karena mereka yang antipati dengan kelompok Islam politik (FPI cs) yang dianggap sering membuat kehebohan yang tidak perlu di Jakarta, mahu tidak mahu semakin mendekat dan secara otomatis akan memberikan suaranya.
Puncak kesalahan yang fatal di mata pemilih Jakarta adalah saat Cagub AHY dan Anis bergandeng tangan menghadiri hajatan FPI untuk sembahyang politik di mesjid Istiqlal. Mesjidnya tidak salah, sembahyangnya sudah benar, hanya niat yang hadir di sana yang keliru. Maka Tuhan pun mempertontonkan kesalahan niat mereka ke seluruh dunia, khususnya kepada para pemilih di Jakarta.
Tak ayal lagi, kelompok yang tidak setuju dengan cara-cara FPI mulai bersuara kepada sesama mereka: "Memilih AHY atau Anis sama saja toh, karena keduanya sama-sama didukung oleh FPI yang sering membuat suasana ibukota kurang nyaman. Selalu buat keributan pada hari kerja."
Ada juga yang bergumam begini: "Untuk memenangkan jagoannya saja FPI cs sudah menggunakan cara-cara memaksa pemilik otoritas agar memenuhi keinginan politiknya, apatah lagi jika calon yang diusungnya memenangkan Pilkada. Mahu dijadikan apa Jakarta di tangan AHY atau Anis?"
Tinggal menghitung hari, kita akan menyaksikan AHY dan Anis bertanding di kubu yang sama untuk mendapatkan suara. Menang atau kalah di kubu Islam politik ini, tetap saja tidak memiliki arti apa-apa. Sementara Ahok di kubu sebelah tidak perlu bertanding, karena tidak ada lawan yang ikut bermain di sana.
Begitu indahnya jalan politik yang Tuhan skenariokan untuk ibukota negara. Dan Tuhan lebih mengetahui siapa yang berbuat ulah, lalu dalam sekejap, dibalikkan hasilnya. Karena Tuhan pembuat makar terbaik.
Banyak pelajaran berharga yang dapat dipetik dari peristiwa Pilgub DKI ini. Dan orang beriman haruslah yakin bahwa, setiap diri akan mendapatkan bagiannya dan tidak akan pernah tertukar. Islam politik atau FPI cs akan mendapatkan balasan karena niat dan perbuatannya sendiri, begitu juga AHY dan Anis juga akan dibalas sesuai dengan niat dan perbuatannya. Di sisi lain Ahok juga akan dibalas oleh Tuhan dengan mendapatkan kembali haknya sebagai gubernur DKI. Begitu juga para pendukungnya, semua mendapat balasan yang sepadan.
Lapangan permainan pun sudah ditutup. Saatnya semua kembali ke profesi masing-masing; mengabdi untuk kemanusian dengan cara berkontribusi positip kepada bangsa, negara dan agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H