Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rebutan Kulit, Lupa Isi

25 Desember 2016   02:11 Diperbarui: 25 Desember 2016   03:07 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah "Alam" (: semesta) digunakan manusia (:Indonesia) untuk menunjuk kepada semua yang diciptakan. Kata "alam" terserap menjadi bahasa Indonesia dari kosa kata bahasa Arab "علم" yang artinya dasarnya kenal atau tahu.

Dalam bahasa aslinya, "علم" dapat berubah bentuk mengikut makna yang dikehendaki dengan tetap mengacu kepada makna dasar. Contoh: kata عالم ('alim) yang berarti orang berilmu; bentuk jamaknya علماء ('ulama) yang sudah sangat populer di Indonesia, meskipun ada pergeseran makna. Dalam bahasa aslinya ulama dimaknai plural, sedangkan di Indonesia dimaknai singgular.

Alamat (علامة) yang sudah menjadi bahasa Indonesia juga berasal dari kata dasar علم dengan sedikit pergeseran makna. Dalam bahasa aslinya berarti "tanda", sedangkan dalam bahasa Indonesia "tempat tinggal". Tetapi kedua makna itu masih berakar kepada makna yang sama: kenal atau tahu, karena baik "tanda" atau "alamat" berfungsi untuk dikenal atau diketahui.

Begitu juga dengan kata "alam (: semesta)" yang sudah menjadi bahasa Indonesia, juga memiliki arti dasar yang sama dengan علم. Karena "alam" semesta ini diciptakan untuk menjadi tanda bagi makhluknya, khususnya manusia, agar Sang Pencipta dikenal. Seperti disebutkan dalam sebuah hadist qudsi (makna langsung dari Allah, redaksi bahasa dari Nabi): ”Aku adalah perbandaharaan tersembunyi. Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk.”

Di awal penciptaan manusia, Sang Pencipta lebih dahulu mempersaksikan keberadaan diriNya dihadapan makhluk baru yang akan diciptakan. Seperti disebutkan dengan jelas dalam alQuran 7:172

Artinya: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".

Melalui "persaksian" langsung diawal proses kejadian itulah Sang Pencipta menanamkan kesadaran akan keberadaan diriNya yang ingin dikenal di dalam setiap diri manusia. Dengan demikian keinginan untuk mengenal Sang Pencipta merupakan fitrah. Kondisi fitrah itu diperkuat dengan kenyataan bahwa ruh manusia adalah dari ruh sang Pencipta yang ditiupkan: emanasi (pancaran). Seperti disebutkan dalam alQuran 32:9.

Artinya: "Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur."

Dengan demikian, percaya kepada sang Pencipta adalah azali atau fitrah kejadian. Sang Pencipta menciptakan karena ingin dikenal, sedangkan makhluk (:manusia) dibekali kekuatan potensial di dalam dirinya untuk mengenali Penciptanya.

Dorongan dalam diri manusia untuk mengenal sang Pencipta itu dikenal dengan agama. Dalam islam secara tegas disebutkan bahwa: اول الدين معرفة الله, "awal dari agama itu adalah mengenal Allah".

Setelah mengenalNya, terlahirlah ritual pengabdian kepadaNya, dan beberapa kewajiban untuk menyeleraskan diri dengan Sang Pencipta.

Sang Pencipta itu hanya satu, dan semua ciptaannya (: makhluk) yang beragam hanyalah emanasi (pancaran) dari diriNya. Persaksian (: Syahadat) islam secara jelas mengajarkan hal itu: "Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah". Dalam bahasa arab ditulis "لااله الا الله".  

‎لا: linafyi aljins, yang bermakna meniadakan apapun اله, yang diciptakan, selain الله, sang Pencipta. Jika kita kembalikan kepada hadist qudsi tentang keinginan sang Pencipta untuk dikenal, maka syahadat (persaksian) itu harus dimaknai: "tidak ada apapun, selain Pencipta". Dan begitulah hakikat keberadaan yang diciptakan"di hadapan sang Pencipta.

Makhluk (ciptaan) sangat banyak dan sangat beragam, tetapi hakikatnya satu. Karena yang ada ini pastilah dari Yang Ada juga, tidak mungkin dari yang tiada. Ilmuan alam mengatakan perubahan wujud (silakan baca: hukum kekekalan energi, juga teori/hukum fisika modern tentang quantum).

Dalam alQuran secara tersirat juga dapat dipahami bahwa semua makhluk hanyalah emanasi dari Penciptanya. "Aku Tiupkan..."

Pemahaman seperti di atas mendapat pembenaran secara langsung dari firman di dalam alQuran 50:16. Artinya: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya."

Melalui ayat di atas, Sang pencipta sendiri yang memberitahu manusia bahwa Dia lebih dekat dari urat leher yang diciptakan. Tegasnya, Sang Pencipta dengan yang diciptakan tidak berjarak sedikitpun, seperti manusia dan urat lehernya.

Dalam sejarah umat manusia, Sang Pencipta yang satu itu dikenal dengan banyak sebutan. Agama islam, melalui hadist Nabi saw mengajarkan bahwa Sang Pencipta memiliki seratus nama. Dan umat islam boleh menyebut atau memanggilNya dengan salah satu dari yang seratus nama itu ketika berharap agar permintaan yang diucapkan terkabul.

Adapun agama dan kepercayaan selain islam menyebut atau memangginya Sang Pencipta dengan istilah yang beragam. Agama yahudi menyebutnya Yahweh (YWH), agama kristen menyebutnya Tuhan Bapa (yang mewujud dalam Yesus melalui Ruh Qudus), agama jawa menyebutnya Hyang (sampai sekarang masih digunakan untuk shalat, yakni sembahyang: menyembah Sang Pencipta, Hyang), dlsb...

Adapun islam yang diturunkan di negeri Arab, menyebut Sang Pencipta dengan sebutan atau istilah yang sudah lama digunakan masyarakat Arab, yakni الله (Allah). Secara bahasa kata الله adalah bentuk isim ma'rifah (kata benda tertentu) dari اله. Kata اللهً sudah digunakan oleh masyarakat Arab untuk menyebut atau memanggil Sang Pencipta sebelum kedatangan islam.

AlQuran 29:61 menginformasikan hal itu dengan jelas: "Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah", maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)."

Sebutan Allah untuk Sang Pencipta itu sampai sekarang masih menjadi milik masyarakat Arab atau yang terarabkan. Walaupun tidak semua orang Arab dan yang terarabkan itu beragama islam, namun mereka tetap juga menggunakan kata Allah untuk menyebut Sang Pencipta.

Di sisi lain, agama islam yang sejak awal perkembangannya dibonceng oleh pemilik budaya Arab; beberapa ritual wajib menggunakan bahasa Arab; kitab suci juga berbahasa Arab, maka umatnya secara otomatis juga menggunakan kata Allah untuk menyebut Sang pencipta. Meskipun ada beberapa istilah yang luput terarabkan dan tetap mengambil bentuk lokal seperti istilah sembahyang untuk mengatakan menyembah Sang Pencipta.

Selama berabad-abad, tidak pernah ada yang meributkan soal istilah untuk menyebut Sang Pencipta ini. Dan hanya dalam pelaksanaan ritual agama, khususnya islam, yang mewajibkan penyebutan Allah secara khusus. Sedangkan di luar ibadah, istilah itu tidak pernah ada pembatasan.

Karena istilah, apapun sebtannya, sesungguhnya hanya simbol bahasa yang digunakan manusia untuk mengkomunikasikan ide. Dan agar ide yang disampaikan kepada publik dapat dipahami dengan baik, tentulah manusia akan memilih istilah atau kosa kata yang sudah dikenal oleh publik: sasaran komunikasi.

Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama islam telah lama menyerap kosa kata arab Allah untuk menyebut Sang Pencipta. Sepertinya tidak ada yang salah, apalagi dirugikan. Malahan, menurut saya, sudah seharusnya kosa kata bahasa Arab (baca: Allah) itu digunakan juga oleh umat agama lain yang ada di Indonesia. Karena hanya dengan cara itulH ide tentang Sang Pencipta yang sedang dikomunikasikan kepada publik dapat dipahami denganbaik dan benar.

Mengapa dianggap salah dan dilarang?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun