Ayat alQuran yang juga menjadi sumber atau dalil hukum islam tentang jilbab adalah surat Al-Nur (24): 31;
"Katakanlah, kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang tampak darinya. Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya, ..."
Tim penterjemah alQuran Departemen Agama, menafsirkan kata pengecualian itu dengan "kecuali yang (biasa) tampak darinya."
============
Ulama tafsir alQuran berbeda pendapat ketika menjelaskan arti “kebiasaan” dalam ayat tersebut. Perbedaan pendapat itu didasari satu persoalan sederhana, yaitu: Apakah kebiasaan itu berkaitan dengan kebiasaan wanita Arab pada masa turunnya ayat, atau berkaitan dengan kebiasaan wanita di setiap masyarakat Muslim dalam masa yang berbeda-beda?
Di antara ulama tafsir yang memahami "kebiasaan" dimaksud adalah kebiasaan wanita Arab pada masa turunnya Al-Quran adalah AlQurthubi. Berdasarkan pendapat itu, maka muncullah produk hukum yang secara tegas mengatakan bahwa rambut perempuan harus ditutup, karena rambut perempuan adalah aurat. Baik ketika sembahyang, maupun di luar sembahyang.
Sedangkan yang berpendapat sebaliknya antaranya Muhammad Thahir bin Asyur. Pendapatnya dalam Maqashid Al-Syari’ah sebagai berikut: "Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh -dalam kedudukannya sebagai adat– untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu."
Dan produk hukum dari bin Asyur, seperti yang beliau contohkan dari surat Al-Ahzab (33): 59, yang memerintahkan kaum Mukminah mengulurkan jilbabnya.
Menurutnya, ayat: "Wahai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita Mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, ...", tersebut adalah ajaran yang mempertimbangkan kebiasaan wanita Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak berlaku bagi mereka ketentuan ini.
===========
Al-Qurtubi dan Thahir bin Asyur, keduanya adalah ulama besar yang diakui otoritasnya dalam bidang ilmu agama. Sampai saat ini tidak ada yang meragukan keilmuannya. Ketika keduanya berbeda pendapat, tidak semestinya umat menghakimi dengan cara menyalahkan salah satu dari keduanya berdasarkan perasaan suka atau tidak suka.